Pernyataan Luhut Binsar Panjaitan ini tentu angin segar yang semriwing bagi investor.
Kedua, seperti sudah dikemukakan sejak awal tulisan ini, “derita hulu migas” diantaranya adalah belum terbangunnya infrastruktur. Utamanya yang mampu “mengalirkan” migas dari lokasi-lokasi yang semakin nge-trend menjangkau ke arah Timur Indonesia menuju ke penyebaran yang merata. Kita yakin, Pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla memang selalu memprioritaskan pembangunan yang mulai dititikberatkan pada perbatasan terluar dan terpencil. Tetapi harapannya, fokus “Kerja Nyata” yang menjadi semboyan peringatan HUT RI ke-71 tahun ini, benar-benar dapat merembes pada pembangunan infrastruktur pada sektor upstream migas ini.
Tol laut? Bisa jadi salah satu keyword yang tidak boleh berhenti kita dukung untuk terus diterapkan, selain mematut lagi cara mengalirkan dengan pipa. Bukankah Indonesia ini Negara Martim, Negara Kepulauan? Masak sih “mengalirkan” migas melalui transportasi laut pun masih belum kunjung mumpuni?
Ketiga, mendesak segera dilaksanakannya kerjasama eksplorasi migas bersama TNI Angkatan Laut (AL) seperti disampaikan wacananya oleh Luhut Binsar Panjaitan. Mengapa ini penting? Ya, karena eksplorasi adalah tahapan penting aktivitas usaha hulu migas. Bagaimana mungkin menemukan cadangan migas baru tanpa eksplorasi, mulai dari studi geologi, geofisika, survei seismik, sampai pengeboran? Jelas, nonsense!
Kebayang toh, bagaimana kalau aktvitas eksplorasi belum menemukan cadangan migas baru. Uang sudah banyak keluar tapi pemasukan sama sekali nihil. Kebayang lagi, kalau pada tahap ini investor sudah dijejali tagihan ini-itu yang artinya sama dengan disinsentif.
Keempat, melakukan efisiensi penggunaan bahan bakar dan menerapkan diversifikasi bahan bakar. Mengapa? Begini. Berapapun cadangan migas dimiliki, pada kurun waktu tertentu akan habis. Pada 2015, cadangan minyak Indonesia 3,6 miliar barel dengan produksi 784 ribu barel per hari. Sedangkan jumlah lapangan (field) berjumlah 757 unit. Sementara gas bumi. Pada 2015 menujukkan cadangan sebesar 98 TCF dengan produksi mencapai 7,893 MMscfd. Adapun jumlah field mencapai 478 unit. Dengan cadangan migas sebanyak ini, kalangan peneliti meyakini, minyak bumi akan habis dalam tempo 10 tahun dengan tingkat konsumsi seperti saat sekarang ini. Sedangkan gas bumi, masih bisa bertahan hingga 37 tahun ke depan, juga dengan angka konsumsi yang besarannya seperti saat ini.
Bolehlah sedikit berkaca pada negeri jiran, Malaysia. Pemerintah setempat mulai memberlakukan diversifikasi bahan bakar sejak 1979 melalui Kebijakan Energi Nasional, kemudian dilanjutkan dengan Kebijakan Penipisan Nasional (1980), dan Kebijakan Diversifikasi Bahan Bakar pada 1981. Utamanya, Malaysia menetapkan tiga target: mengamankan kecukupan, keamanan dan biaya efektif dengan mengembangkan sumber-sumber energi asli, baik yang dapat diperbaharui maupun yang tidak; mempromosikan efisiensi baham bakar sambil mencegah pemborosan; dan ujungnya menyelamatkan lingkungan hidup sebagai akibat pemakaian bahan bakar. Hasilnya? Malaysia mampu mengemilinir ketergantungan konsumsi minyak dari sebesar 71,4 persen (1990), lalu menjadi 53,1 persen (2000), dan menjadi 6 persen (2003).
Kelima, menemukan dan memanfaatkan sumber energi terbarukan. Lagi-lagi, masalah yang akan dihadapi adalah soal klasik, yakni biaya penelitian dan pengembangan untuk sumber energi terbarukan yang akan membengkak. Tapi, membayangkan bagaimana hasilnya akan berdayaguna dan kaya manfaat bagi masyarakat dengan menggunakan sumber energi terbarukan yang tersedia ‘gratis’ dari alam sekitar, akan sangat melegakan.