Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Karpet Merah untuk 'Tukang Garap' Industri Hulu Migas

30 Agustus 2016   10:54 Diperbarui: 16 September 2016   15:52 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Statistik Produksi Nasional Minyak, Kondensat, dan Gas. (Sumber: SKK Migas)

Sesudah mengetahui besarnya potensi migas dan asas pemanfaatan sesuai amanah UUD ’45, tetap dibutuhkan kerjasama dengan kalangan investor. Mengapa? Karena, bukan cuma modal raksasa yang dibutuhkan tapi juga sumber daya manusia yang mumpuni dan teknologi tinggi.

“Industri migas membutuhkan uang yang besar, karena itulah mengapa sangat memerlukan investor yang membawa uang, bukan sekadar investor yang hanya berharap murni bagi hasil saja. Selain membawa uang, investor juga pasti akan membawa teknologi tinggi. Terkait teknologi, Pemerintah Indonesia pun apabila hendak menyerahkan satu wilayah kerja, akan selalu didahului dengan menganalisis, diantaranya, apakah calon perusahaan yang akan diberikan wilayah kerja memiliki kinerja perusahaan yang baik atau buruk, pengalaman perusahaan dalam bisnis migas, dan memenuhi standar serta peraturan untuk melakukan aktivitas migas atau atau tidak,” jelas Meity.

Suasana Kompasiana Nangkring Bareng SKK Migas. (Foto: Gapey Sandy)
Suasana Kompasiana Nangkring Bareng SKK Migas. (Foto: Gapey Sandy)
Ketika investor datang dan hendak melakukan eksplorasi juga eksploitasi sumur Migas di Indonesia, masuk akal apabila banyak sekali tantangan yang dihadapi. Bukan melulu soal kemampuan dan pengalaman an sich, tapi juga yang bersifat eksternal apalagi internal.

“Mulai dari harga minyak dunia yang semakin anjlok, meskipun disertai juga dengan penurunan sejumlah pos-pos biaya produksi. Adanya PP No.79/2010 tentang Biaya Operasi Yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Migas Bumi, dimana PP ini diminta untuk segera direvisi. Biaya pengeboran eksplorasi yang makin mahal karena trend eksplorasi Migas mengarah ke wilayah Timur Indonesia yang notabene minim infrastruktur, dan offshore atau lepas pantai. Biaya operasional Migas yang ada saat ini semakin besar akibat sumur produksi yang dikelola sudah tua, sehingga laju produksi tidak berbanding lurus dengan biaya. Kondisi sumur produksi yang sudah tua menjadikan cost maintenance dan cost recovery menjadi mahal,” ungkap Meity terlahir dari keluarga yang bekerja pada bidang oil and gas.

Selain itu, imbuh Meity, banyaknya perizinan baik di tingkat pusat maupun daerah yang harus dipenuhi menyebabkan tidak adanya kepastian aturan terkait operasi Migas. Juga, banyak peraturan yang saling tumpang tindih antarinstansi terkait operasi Migas, baik di tingkat Pusat maupun Daerah. Dan, ketiadaan otoritas tunggal yang dapat menyelesaikan sengketa diantara instansi Pemerintah.

Usai membedah tantangan investasi, Meity pun menyodorkan sejumlah harapan agar karpet merah untuk para tukang garap Migas kian menarik. “Pada tahap eksplorasi misalnya. Pemerintah hendaknya memberikan insentif kepada perusahaan Migas dalam bentuk perpanjangan masa eksplorasi, perubahan PP No.79/2010, pengurangan jumlah perizinan yang diperlukan --- jangan sampai panjangnya rantai birokrasi malah memperpendek masa eksplorasi, penghapusan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) --- dengan alasan tahap eksplorasi belum tentu sepenuhnya menemukan dan menghasilkan Migas, serta pajak impor barang. Dan, yang juga penting adalah melakukan koordinasi fungsi terkait pada tingkat Pusat dan Daerah,” harap Meity yang sudah malang melintang bekerja di beberapa perusahaan Migas internasional.

Ilustrasi Prinsip Dasar Kontrak Kerja Sama di Sektor Hulu Migas. Sumber: SKK Migas)
Ilustrasi Prinsip Dasar Kontrak Kerja Sama di Sektor Hulu Migas. Sumber: SKK Migas)
Sedangkan pada tahap eksploitasi, lanjut Meity lagi, Pemerintah dapat memberikan insentif kepada perusahaan Migas dengan detil sebagai berikut: kepastian hukum bahwa kegiatan eksploitasi Migas merupakan lex specialist dan merujuk pada PSC Contract; pengurangan jumlah perizinan yang diperlukan; mengkoordinasikan fungsi terkait pada tingkat Pusat dan Daerah; serta, menentukan otoritas tunggal dalam penyelesaian sengketa antarinstansi baik di Pusat maupun Daerah.

Ciptakan Iklim Kondusif Investasi Hulu Migas

Mencermati perkembangan aktual yang terjadi di sektor industri hulu migas, tak pelak sejumlah saran perbaikan --- jangka pendek maupun panjang --- laik dikemukakan. Pertama, membenahi peraturan perundang-undangan yang berlaku dan utamanya mengganjal bagi pihak investor. Ini bukan semata menuruti kehendak investor semata, melainkan sekaligus mengejawantahkan semangat Pasal 33 ayat 3 UUD ’45, sambil melakukan scanning and defragmenting terhadap beberapa peraturan yang terlanjur jadi maklumat.

Sebut saja misalnya, melakukan revisi atas PP No.79/2010 seperti yang dikeluhkan investor, termasuk menegosiasikan kembali pemberlakukan PBB pada tahap eksplorasi. Syukurlah, lampu hijau Pemerintah sudah menyala untuk kedua perubahan non-teknis tetapi mendasar ini. Bahkan diakui, dari tujuh klausul PP No.79/2010 yang dipergunjingkan, tiga diantaranya menjadi sangat prioritas guna meningkatkan laju investasi sektor hulu migas. Ketiganya adalah kepastian hukum, iklim investasi yang atraktif, dan penataan perpajakan atau fiskal. Bagaimana dengan pemberlakuan PBB? Usulan sementara ini sepertinya sudah manut pada keberatan investor, yakni PBB ditanggung oleh Pemerintah, atau kembali menggunakan prinsip assume and discharge.

Setidaknya hal ini sudah disampaikan Menko Bidang Kemaritiman sekaligus Plt Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Luhut Binsar Pandjaitan, pada 24 Agustus kemarin. “Fokus utama revisi terkait tiga pokok masalah, yakni investasi, perpajakan dan deregulasi. Pada sisi investasi, pengusaha meminta adanya internal rate of return atau IRR yang lebih tinggi dari biasanya. Sementara pada perpajakan, para usahawan berharap keringanan beban pajak saat melakukan eksplorasi. Kita paham, risiko eksplorasi cukup besar dan berpotensi tidak memperoleh hasil seperti yang diekspektasikan. Sedangkan di sisi deregulasi, perlu adanya stimulus aturan yang mampu mendorong pelaku usaha menggenjot kinerjanya, khususnya eksplorasi,” tuturnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun