Adapun bencana kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) sepanjang 2015 kemarin memunculkan sejumlah catatan mengenaskan. BNPB mendata, 24 orang meninggal dunia, lebih dari 600.000 jiwa menderita ISPA, 2,61 juta hektar hutan dan lahan terbakar, lebih dari 60 juta terpapar asap, kerugian ekonomi mencapai Rp 221 triliun (diluar sektor kesehatan dan pendidikan), dan yang juga tak kalah penting adalah kerugian plasma nutfah, emisi karbon serta masih banyak lagi.
“Sejak Januari hingga pertengahan Agustus 2016, data di BNPB menunjukkan sudah terjadi lebih dari 1.300 kali kejadian bencana di Indonesia. Dan pada 2016 ini nyaris tidak ada musim kemarau, yang artinya musim kemaraunya adalah musim kemarau basah, sehingga selama musim kemarau pun terjadi bencana banjir maupun longsor. Kejadian bencana terakhir terjadi di Trenggalek, Jawa Timur, dimana hampir 4.000 rumah terendam banjir. Di Cilegon pun banjir banyak merendam pemukiman warga, dan di beberapa tempat juga terjadi lagi bencana longsor. Kondisi ini masih akan terjadi lagi, apalagi dengan meningkatnya badai La Nina pasti akan meningkatkan curah hujan yang akhirnya konsekwensinya ke banjir, longsor dan sebagainya. Puncak banjir dan longsor adalah diperkirakan pada akhir 2016 sampai dengan awal 2017. Ancaman ini menjadi nyata, meski di satu sisi juga ada positifnya yaitu kebakaran lahan dan hutan di Indonesia menjadi lebih menurun karena hujan masih terus berlangsung di banyak tempat. Artinya, jumlah hotspot lebih sedikit dibandingkan pada 2015,” tutur mantan Ahli Peneliti Utama IVe bidang Hidrologi dan Konservasi Tanah pada Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) ini.
Bencana pasti menjadi keniscayaan di Indonesia, ujar Sutopo, sedangkan yang jadi permasalahan adalah secara umum masyarakat belum siap menghadapi bencana-bencana besar. “Karena memang multi faktor penyebab bencana itu sendiri, baik itu pendidikan, kemiskinan, penataan ruang, lemahnya penegakan hukum, regulasi dan sebagainya. Oleh karena itu, bagaimana kita menyiapkan masyarakat yang siap menghadapi bencana, tangguh menghadapi bencana, dan menjadi bagian budaya kehidupan sehari-hari untuk siaga bencana,” terang alumnus Fakultas Geografi, Jurusan Geografi Fisik, Program Studi Hidrologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ini.
Jawabannya, kata Sutopo, secara umum masih belum siap. Pengetahuan kebencanaan memang meningkat, apalagi setelah tsunami pada tahun 2004 di Aceh. Tapi pengetahuan tadi belum menjadi sikap dan perilaku apalagi budaya. Sesuai dengan kesimpulan hasil tiga sigi yang dilakukan BNPB, BPS, dan UNFPA tentang pilot survei knowledge, attitude dan practice pada 2013 yang menegaskan bahwa tingkat pengetahuan tentang bencana sudah baik tetapi belum menjadi sikap dan perilaku.
“Apa saja penyebab bencana di Indonesia? Diantaranya adalah lemahnya penegakan hukum dan penataan ruang. Ambil contoh gempa 6,3 SR di Yogyakarta pada 27 Maret 2006. Padatnya pemukiman di wilayah Sesar Opak Yogyakarta dan minimnya mitigasi bencana yang dilakukan berakibat fatal, karena 5.716 jiwa meninggal dunia, 306.234 rumah penduduk rusak dan kerugian materiil mencapai Rp 29,1 triliun. Kondisi demikian kontras dengan yang berlangsung di Jepang. Masyarakat di sana selalu siap menghadapi bencana karena pengetahuan kebencanaannya sudah menjadi sikap, perilaku juga budaya yang mengaitkan kehidupannya dengan mitigasi bencana,” paparnya.
Ia melanjutkan, sosialisasi tentang mitigasi bencana harus kontinyu dan simultan. “BNPB meyakini bahwa peran media sangat besar untuk itu. Mengapa media penting dalam bencana? Karena dari berbagai literature menyebutkan, media mampu mengubah keputusan politik, perilaku dan menyelamatkan nyawa manusia. Selain itu, komunikasi merupakan inti untuk sukses dalam mitigasi, kesiapsiagaan, respon dan rehabilitasi bencana. Serta, media juga dapat menunjukkan eksistensi, pencitraan dan simbol organisasi terhadap masyarakat terkait tugas kemanusiaan dalam penanggulangan bencana,” tutur Sutopo yang menamatkan S2 di Program Studi Pengelolaan DAS IPB Bogor, dan S3 di Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan di kampus yang sama.
Sandiwara Radio, Pendekatan Informal yang Mudah Dipahami
Menurut Sutopo, BNPB yakin bahwa sosialisasi kebencanaan dan mitigasi bencana dapat lebih mudah dipahami masyarakat melalui pendekatan informal. “Intinya adalah bagaimana BNPB melakukan sosialisasi dengan bentuk hiburan yang memuat pendidikan tentang kebencanaan. Berbagai media dipergunakan baik itu televisi, radio, suratkabar, media online dan sebagainya. Berdasarkan survei yang sudah dilakukan BNPB ternyata sosialisasi dengan yang sifatnya informal, misalnya dengan menggunakan jalur kebudayaan kesenian rakyat, ternyata lebih mudah dipahami oleh masyarakat. Pengetahuan mereka jadi meningkat signifikan, oleh karena itu salah satu upaya yang kita lakukan adalah BNPB menggunakan sandiwara radio,” jelasnya kepada penulis dalam wawancara khusus di sela acara.
“Tapi, untuk sandiwara radio, ini baru pertama kali kita coba, dan BNPB optimis bahwa ini akan banyak pendengar yang mendengarkan sandiwara radio berseri sebanyak 50 episode yang diputar melalui 20 stasiun radio yang ada di seputar Pulau Jawa ini. Durasinya adalah 30 menit setiap episode. Apalagi cerita yang diangkat itu adalah bagaimana kisah heroisme dan asmara yang seluruhnya berada didalam konteks bencana. Sehingga kita bisa memasukkan pendidikan kebencanaan dalam rangkaian cerita yang menarik. Saya yakin, berdasarkan pengalaman --- sewaktu kecil bagaimana sandiwara radio Tutur Tinular yang begitu booming dan tayangannya selalu ditunggu-tunggu penggemar ---, ini akan lebih menarik karena dari segi content, isi maupun artistiknya juga nampaknya lebih menarik dibandingkan masa lalu. Tentu dikaitkan dengan kemajuan informasi, komunikasi, teknologi dan lainnya,” optimis Sutopo.