Karena pentingnya faktor manusia itu, lanjut Warih, sudah menjadi kewajiban para leader untuk memaksimalkan kemampuan setiap member-nya. “Setiap orang menjadi bagian penting dari produksi. Dengan meningkatkan kapabilitas setiap orang, kita pun akan menjadi lebih baik dan lebih baik lagi. Salah satu kegiatan penting ketika kita bekerja di Toyota adalah kemampuan untuk bersosialisasi. Ini adalah hal penting juga. Knowing your friends, knowing your people. Itu paling penting. Sehingga teamwork harus diartikan, jika ada kesulitan harus saling memberikan dukungan. Ownership dan teamwork menjadi satu kesatuan,” tegas Warih yang selalu tampil sederhana dan oleh Kompas.com pernah dijuluki sebagai “Wong Ndeso” yang sukses meriap karir sebagai boss TMMIN.
Sekilas Buku
Selain menyuguhkan paparan Warih Andang Tjahjono mengenai kaizen dan QCC, buku setebal 148 halaman ini memuat empat bab yang seluruhnya padu-padan berkesinambungan.
“Tradisi Menjaga Mutu” menjadi judul utama bab I, yang menuangkan materi umum mengenai Toyota Production System (TPS) yang selalu mengutamakan kepuasan pelanggan. TPS itu sendiri berdiri kokoh dengan dua konsep, jidoka (suatu alat atau sistem yang digunakan untuk mengetahui atau mendeteksi ketidaknormalan proses, sistem, atau orang yang diberi wewenang untuk menghentikan proses produksi jika terjadi sesuatu yang abnormal atau malfungsi), dan just in time (hanya membuat apa yang diperlukan, ketika produk itu dibutuhkan dalam jumlah yang dibutuhkan, atau dimaknai juga sebagai upaya memproduksi barang bermutu dengan efisien melalui proses penghilangan segala sesuatu yang berlebihan, tidak konsisten, tidak masuk akal dalam proses produksi).
Jing Li dari Oregon University Master of Science dalam tesisnya (2011) meneliti kaitan antara QCC dengan produktivitas. Peneliti ini menghabiskan waktu risetnya di sebuah pabrik yang berlokasi di Fujian, Tiongkok dan menerapkan QCC. Hasilnya? Jing Li memastikan bahwa dukungan manajemen sangat berpengaruh besar terhadap keberhasilan pelaksanaan QCC.
Hal ini seirama dengan hasil penelitian yang dilakukan Dr S J Manjunath (associate professor pada MBA Department, BN Bahadur Institute of Management Science, India) dan G Arun Kumar (associate professor pada MBA Department, Vijanagara Sri Khrisnadevaraya University, India). Keduanya menyimpulkan, banyak perusahaan yang punya nilai tambah dan daya saing tinggi, meski sebenarnya tidak menggunakan istilah TQM melainkan justru memberlakukan inti dari konsep tersebut. Terungkap pula bahwa, ada korelasi positif antara implementasi TQM, termasuk kegiatan QCC, dengan peningkatan produktivitas dan kualitas.
Bab II buku ini menyodorkan topik “Turut Membangun Tradisi di Toyota Indonesia” yang dibuka dengan penjelasan mengenai bagaimana perusahaan memiliki slogan yang mencengangkan dunia: “We Make People Before We Make Product”. Slogan ini tidak ujug-ujug muncul, tidak asal lahir. Justru, slogan ini tercipta dari pemahaman bersama untuk konsisten menjaga mutu yang bukan saja tanggung-jawab manajemen tapi juga semua karyawan Toyota. Caranya? Membangun sumber daya manusia (SDM) terlebih dahulu agar memiliki semangat untuk tetap ikut memiliki tanggung-jawab demi terus memiliki semangat perbaikan.
Bagaimana perjalanan 25 tahun pelaksanaan QCC di Toyota Indonesia? Nah, bab ini juga mengulasnya dengan membagi pada beberapa tahapan krusial, mulai dari Tahap Pengenalan (1981 – 1992), Tahap Pengembangan (1992 – 2003), dan Tahap Penguatan (2014 – 2015). Setelah tiga tahapan rintisan ini, Toyota Indonesia tidak berhenti begitu saja. Justru, langkah berikutnya adalah berbagi aktivitas QCC secara aktif dengan menyebarkan budaya improvement kepada masyarakat Indonesia. Pada 2013 di sebuah SMK di Bekasi, Jawa Barat, mulailah “wabah virus QCC” diberlakukan. Program ciamik kaya manfaat ini dinamakan Kaizen Goes to School.
Program ini sekaligus menjadi bukti bahwa memang pelaksanaan kaizen melalui QCC tidak hanya dapat digunakan oleh pelaku dunia industri saja, khususnya manufaktur, tetapi juga dapat digunakan oleh semua orang.