Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

[Ketapels Berdaya] Bikin Pusing, Terlalu Banyak Bahasa Isyarat di Indonesia!

17 April 2016   04:41 Diperbarui: 18 April 2016   18:32 546
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tapi, apabila kita punya salah dalam melakukan bahasa isyarat maka kita harus meminta maaf kepada para tuli. Lalu tanyakan kepada mereka, maunya bagaimana, atau harusnya bagaimana? Misalnya, perbedaan isyarat dalam mengartikan “Bogor” dengan jari yang terkatup dan mengepal. Bila masih diprotes juga, ya sudah, saya eja alphabet saja:“B-o-g-o-r”.

[caption caption="Pingkan Carolina Rosalie Warouw tampil menjadi penerjemah pada salah satu rapat formal. (Foto: Dokpri. Pingkan)"]

[/caption]

Apalagi yang musti diperhatikan seorang penerjemah?
Kalau si penerjemah kurang memahami budaya tuli, pasti mereka akan sedikit kesulitan dalam melakukan pekerjaan penerjemahan ‘ke dalam’, artinya mengisyaratkan dari bahasa tuli ke oral. Kesulitannya adalah akan sedikit ketinggalan durasinya sewaktu melakukan penerjemahan. Sebaliknya, yang lebih mudah adalah membahasakan percakapan oral ke dalam bahasa isyarat. Ini kita sebut penerjemahan ‘ke luar’. Di sinilah jam terbang seorang penerjemah akan menentukan kualitas kerjanya.

Selain itu, kita masih belum mampu memposisikan interpreter dengan translator. Kalau translator menyebut: “Saya memakai kaos biru tua”, dengan “I am wearing dark blue shirt”. Tapi, kalau interpreter, menyebutnya:“I am wearing blue shirt”. Soal biru (blue)-nya warna tua atau muda, ya terserah. Karena warna, adalah sifat. Sama dengan emosi. Warna dan emosi harus dilihat oleh si tuli, tidak bisa dibahasa-isyaratkan. Translator harus sama persis apa yang diterjemahkan. Beda dengan interpreter yang “sekadar” menginterpretasi.

Apa suka duka menjadi penerjemah bahasa isyarat tuli?
Sukanya, karena saya dapat melayani para tuli. Karena memang ini sudah menjadi panggilan jiwa saya, sekaligus saya juga pemerhati. Dukanya, kadang-kadang banyak orang yang karena ketidaktahuan tentang tanggung-jawab seorang interpreter, maka kita sering dianggap hanya sekadar sebagai volunteer. Hanya diberi uang lelah dan uang transport, serta kurang dihargai sebagai profesional. Kita kurang dianggap sebagai pekerja profesional.

* * *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun