Tapi, apabila kita punya salah dalam melakukan bahasa isyarat maka kita harus meminta maaf kepada para tuli. Lalu tanyakan kepada mereka, maunya bagaimana, atau harusnya bagaimana? Misalnya, perbedaan isyarat dalam mengartikan “Bogor” dengan jari yang terkatup dan mengepal. Bila masih diprotes juga, ya sudah, saya eja alphabet saja:“B-o-g-o-r”.
[caption caption="Pingkan Carolina Rosalie Warouw tampil menjadi penerjemah pada salah satu rapat formal. (Foto: Dokpri. Pingkan)"]
Apalagi yang musti diperhatikan seorang penerjemah?
Kalau si penerjemah kurang memahami budaya tuli, pasti mereka akan sedikit kesulitan dalam melakukan pekerjaan penerjemahan ‘ke dalam’, artinya mengisyaratkan dari bahasa tuli ke oral. Kesulitannya adalah akan sedikit ketinggalan durasinya sewaktu melakukan penerjemahan. Sebaliknya, yang lebih mudah adalah membahasakan percakapan oral ke dalam bahasa isyarat. Ini kita sebut penerjemahan ‘ke luar’. Di sinilah jam terbang seorang penerjemah akan menentukan kualitas kerjanya.
Selain itu, kita masih belum mampu memposisikan interpreter dengan translator. Kalau translator menyebut: “Saya memakai kaos biru tua”, dengan “I am wearing dark blue shirt”. Tapi, kalau interpreter, menyebutnya:“I am wearing blue shirt”. Soal biru (blue)-nya warna tua atau muda, ya terserah. Karena warna, adalah sifat. Sama dengan emosi. Warna dan emosi harus dilihat oleh si tuli, tidak bisa dibahasa-isyaratkan. Translator harus sama persis apa yang diterjemahkan. Beda dengan interpreter yang “sekadar” menginterpretasi.
Apa suka duka menjadi penerjemah bahasa isyarat tuli?
Sukanya, karena saya dapat melayani para tuli. Karena memang ini sudah menjadi panggilan jiwa saya, sekaligus saya juga pemerhati. Dukanya, kadang-kadang banyak orang yang karena ketidaktahuan tentang tanggung-jawab seorang interpreter, maka kita sering dianggap hanya sekadar sebagai volunteer. Hanya diberi uang lelah dan uang transport, serta kurang dihargai sebagai profesional. Kita kurang dianggap sebagai pekerja profesional.
* * *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H