Mengapa Debra Russell sampai bilang seperti itu? Karena sebelumnya ia juga bertanya, dengan begitu banyaknya bahasa isyarat tadi, ada berapa banyak orang yang menjadi penerjemah bahasa isyarat di Indonesia? Ya saya jawab, “You are looking at her”. Maksudnya, saya bilang ke Debra, bahwa hanya ada satu penerjemah saja di Indonesia. Setidaknya, saya menyebut satu orang yakni diri saya sendiri, karena hanya saya yang pada masa itu dipakai jasa penerjemahannya oleh GERKATIN (Gerakan Kesejahteraan Tunarungu Indonesia). Mendengar jawaban saya, Debra kaget setengah mati. “Wow .., you will have a problem!”
Begitulah. Sejak 2009 lalu, Debra Russell sudah memperkirakan bahwa dengan begitu banyak atau keragaman bahasa isyarat di Indonesia, maka akan terbentuk sebuah momok yang memusingkan. Ternyata, apa yang disampaikan Debra menjadi kenyataan. Terbukti! Pusingnya itu baru terasa sekali, terutama sejak dua sampai tiga tahun belakangan ini.
[caption caption="Debra Russell, President of WASLI. (Foto: WASLI. | Grafis: Gapey Sandy)"]
Yang bikin pusing adalah ada sebagian orang tuli yang menganggap bahwa siapa saja yang hearing (mendengar normal, tidak tuli) dapat menjadi penerjemah. Selain itu, sebagian orang tuli ada juga yang menganggap kita para penerjemah sebagai “pembantu” mereka. Atau, katakanlah kita dianggap “asisten” dan bekerja untuk mereka. Padahal, menjadi penerjemah bukan begitu definisinya. Penerjemah harus netral dan tidak bisa dibawahi oleh siapa-siapa. Kecuali, kalau memang kita digaji secara khusus untuk melayani penerjemahan mereka saja. Seperti yang dilakukan oleh penari tuli, model sekaligus aktor terkenal asal Amerika Serikat, Nyle DiMarco. Wah, itu Nyle punya cukup banyak penerjemah yang sengaja dipekerjakan olehnya.
Untuk jadi penerjemah bahasa isyarat apa syaratnya?
Pertama, yang bersangkutan harus punya kecakapan sebagai pemerhati. Kedua, harus punya ketulusan hati untuk melayani. Harap dicatat, melayani tuli itu tidak gampang. Apalagi, para tuli ini kan juga sebagai manusia, dan setiap manusia pasti punya banyak sifat, antara lain sifat curiga. Contoh, curiga mengenai masalah uang. Juga, emosi sebagian tuli yang tidak stabil. Ketidakstabilan emosi ini karena kesulitan memahami budaya kerja dan berkomunikasi. Akibatnya, mereka gampang marah. Belum lagi, kalau sudah menyentuh hal-hal terkait ranah agama. Waduh, sensitif.
Ketiga, untuk menjadi penerjemah yang baik dan diterima masyarakat --- utamanya para tuli ---, itu memang harus panggilan jiwa. Kalau hanya ingin menjadi penerjemah lalu belajar bahasa isyarat dan terjun di dalamnya, saya pikir pasti juga akan sulit. Makanya, panggilan jiwa untuk menjadi penerjemah yang melayani adalah syarat mutlak juga. Harus mendalami budaya mereka, untuk kemudian baru kita bisa berkomunikasi dengan para tuli. Karena, penggunaan bahasa isyarat tidak semudah seperti rumus SPOK, Subyek Predikat Obyek Keterangan. Beda! Contoh, membahasa-isyaratkan: “Saya mau pergi ke pasar membeli buah”. Kita bisa saja menyebut obyeknya dulu, atau malah keterangannya dulu. Mungkin, malah bisa jadi “Mau pergi beli buah, saya ke pasar”. Bisa jadi juga, kata “beli”-nya tidak disebutkan lagi, karena kalau kita ke pasar, ya sudah tentu akan membeli. Menjadi penerjemah sangat tidak mudah!
[caption caption="Pingkan Carolina Rosalie Warouw tampil di layar televisi. (Foto: Dokpri. Pingkan)"]
Belum lagi soal mimik wajah ketika sedang melakukan penerjemahan?
Soal mimik ini saya punya pengalaman ketika bekerja untuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait Pilpres antara Capres Prabowo dan Jokowi. Tidak gampang menjadi penerjemah. Ketika selesai menerjemahkan pidato kedua capres ini, saya ditegur oleh salah satu kubu. Mereka menganggap, saya terlalu berapi-api ketika menyampaikan pidato Capres Prabowo, dan sebaliknya terlalu lemah lembut sewaktu menerjemahkan pidato Capres Jokowi. Padahal, bukankah memang antar kedua capres ini beda gaya dan pembawaan?
Makanya, ketika memperoleh complain dari salah satu kubu itu, saya langsung menjawab dengan peribahasa: “Monkey See, Monkey Do”. Apa yang dilihat, maka itulah yang dilakukan. Saya tidak melebih-lebihkan salah satu kubu. Lagipula, sebelumnya kita sudah melakukan sumpah penerjemah kepada KPU. Makanya kita wajib netral.
Begitulah mimik. Orang tuli itu, tidak sekadar melihat bahasa isyarat melalui tangan saja, mereka juga memperhatikan hal lain, termasuk mimik wajah si penerjemah secara virtual. Jadi, mimik atau ekspresi wajah itu penting banget sebagai intonasi dalam penggunaan bahasa isyarat. Hal ini, tidak semua orang bisa. Ada beberapa anggota INASLI yang latar belakangnya adalah guru. Mereka pandai melakukan bahasa isyarat, tapi ekspresinya “dingin” seperti seakan-akan mereka sedang mengajar muridnya di depan kelas saja. Jelas, ini harus disempurnakan lagi. Untuk masalah ini saya bersyukur, karena dulu saya adalah seorang penyanyi, sehingga terbiasa tampil ekspresif di depan publik. Tapi, kalau untuk acara kenegaraan ya saya harus sedikit “jaim”, jaga image.
[caption caption="Kiri ke kanan: Pat Sulistyowati (Mantan Ketua GERKATIN), Dissa Syakina Ahdanisa (Pemilik Deaf Cafe Fingertalk), Pingkan Carolina Rosalie Warouw (Ketua INASLI), dan berdiri adalah Ali Wafa Al Aziz (penerjemah), dalam satu kesempatan diskusi bersama KETAPELS baru-baru ini.. | (Foto: Gapey Sandy)"]
Jadi, kalau mimiknya tidak ekspresif maka penerjemah ini bisa dianggap gagal?
Belum tentu. Kalau mimiknya bagus tapi bahasa isyaratnya jelek, ya tetap saja jelek. Yang menentukan penerjemah sukses atau gagal adalah mereka para tuli. Inilah mengapa INASLI bila sedang ada pekerjaan yang formal, seperti tampil di TVRI umpamanya, akan merekrut seorang tuli juga sebagai PIT (Penasehat Isyarat Tuli). Hal ini karena kosa bahasa isyarat masih kurang, dan kosakata dalam bahasa media juga berbeda. Sehingga harus ada PIT, karena sudah mendarah-daging dalam diri kami, bahwa sebagai penerjemah tidak boleh membuat bahasa isyarat sendiri. Harus dari si tulinya. Kalau tulinya tidak ada, dan masih ada kosa yang sulit, maka kita eja huruf demi huruf. Tapi, kalaupun sudah kita eja secara benarm dan tetap tidak bisa dimengerti juga, ya sudah maka itu bukan urusan penerjemah lagi. Lho kok gitu? Ya iyalah, karena kita sudah melakukan pengejaan secara benar dengan menggunakan bahasa kita yang hearing.