Dari penjelasan yang ada, “dapua” atau dapur memang terletak di bagian belakang rumah gadang. Dapur ini punya dua ruangan. Sisi sebelah kanan, seperti yang sudah ditulis, ada tempat memasak yang dilengkapi perkakas dapur serba tradisional. Sedangkan pada sisi sebelah kiri, berfungsi sebagai tempat para dayang yang berjumlah 12 orang. Dapur Istano Basa Pagaruyung dibuat terpisah dengan bangunan utama dan dihubungkan dengan selasar.
Sayang seribu sayang... ruangan tempat 12 dayang-dayang itu tertutup dan terkunci rapat. Aduh mak! Padahal saya kepingin lihat dayang-dayangnya, eh ... maksudnya lihat ruangannya deng … heheheheee, gaswaaattttt!
Naik ke Lantai Dua
Tangga kayu menuju ke lantai dua ada di tengah lantai satu, atau dekat jalan menuju selasar. Enggak begitu tinggi, tapi karena beberapa anak tangga kayu berderit ketika diinjak maka rasanya jadi memang seperti harus ekstra hati-hati.
Di lantai dua, suasananya lumayan lapang dan memanjang, mirip seperti di lantai satu tapi lebih kecil ukuran luasnya. Tapi, tidak begitu banyak piranti yang ada. Karena memang, lantai dua ini dinamakan “anjungan paranginan” dan dimaksudkan sebagai tempat bercengkerama para puteri raja yang belum menikah (berkeluarga atau gadis pingitan). Di sisi kiri ada kamar peristirahatan puteri raja dengan tirai yang memanjang dari atap hingga lantai, menjadi semacam kelambu. Lagi-lagi, hiasan kainnya didominasi warna kuning keemasan. Bergantungan pula beberapa lampu antik.
[caption caption="Anjungan Paranginan untuk puteri raja yang belum menikah. (Foto: Gapey Sandy)"]
[caption caption="Tangga kayu untuk naik dari lantai dua ke lantai tiga. Suasana di lantai dua. (Foto: Gapey Sandy)"]
Udara sejuk terasa di lantai dua ini. Maklum, lantai ini cukup tinggi. Dan lagi, jendela-jendela istana yang dibuka benar-benar menyajikan pemandangan luar biasa indah, selain kesejukan sirkulasi udara.
Memantau di Lantai Tiga
Karena lebih punya aura untuk puteri raja, maka lantai dua saya tinggalkan, bergerak lagi naik ke tangga kayu menuju lantai paling atas, yakni lantai tiga. Di sini, nama yang disematkan adalah sebagai ruangan “mahligai”. Difungsikan sebagai tempat penyimpanan alat-alat kebesaran Raja, seperti mahkota kerajaan yang dahulunya disimpan dalam sebuah peti khusus bernama “aluang bunian”.
Kalau lantai satu dan dua langsung beralaskan lantai kayu, maka di lantai tiga, dilapisi dengan tikar rotan.
Di lantai tiga ---yang tidak terlalu luas--- ada tiga kursi kayu antik dengan satu meja bundar. Ada lampu gantung antik. Pada dinding-dinding kayunya dipajang sejumlah alat perang. Mulai dari pedang, tombak, pistol antik atau ‘pistol Balando’ dan lainnya. Ada juga ‘gobok’ atau 'bodia sitengga' yang mirip senapan angin tapi punya fungsi sebagai pemberi kabar pengumuman tentang hal-hal suka maupun duka. Tombak yang dipajang misalnya, “tombak bamato tigo” yang biasa dipakai untuk berburu, maupun pertahanan diri.
[caption caption="Ruang mahligai di lantai tiga. (Foto: Gapey Sandy)"]