Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kalimat Bijak dari Sejumlah Kompasianer

6 Maret 2016   11:31 Diperbarui: 6 Maret 2016   12:00 409
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="(Teladan hidup untuk senantiasa bersyukur dari Satto Raji. || Foto: Akun Facebook Satto Raji)"][/caption]

Minggu kemarin (28 Februari) saya sudah posting tulisan berjudul Inilah Kalimat-Kalimat Bijak Kompasianer. Lumayanlah apresiasinya. Sampai 6 Maret pagi, yang kasih nilai ‘hanya’ 21 Kompasianer. Kebanyakan, pemberi nilai menyatakan: INSPIRATIF. Yes! Tujuan saya menulis tercapai: Ingin Menyampaikan Banyak Inspirasi.

Nah, minggu ini, lanjutannya. Sejumlah Kompasianer yang suka berinteraksi di Facebook, saya “incar” status dan tulisan-tulisan inspiratifnya. Saya nukilkan untuk pembaca semua. Sekaligus, saya comot foto mereka di album yang ada di laman fesbuknya.

Kali ini, nukilan mereka saya bagi tiga:

Pertama, teladan hidup.

Seperti dimuat dalam desain gambar di atas. Saya menukil status fesbuk Santo Rachmawan. Ringkas kalimatnya. Tapi dalam maknanya. “Hidup itu sederhana, asal kita mau bersyukur.”

Melalui kalimat bijaknya, suami dari Wardah Fajri ini mengingatkan dirinya dan juga kita semua untuk selalu menyederhanakan hidup. Mungkin, dalam bahasa saya, “hidup itu sudah sudah, jangan lagi dibuat susah”. Dan, cara untuk menikmati hidup yang tidak susah, adalah dengan melaksanakan syukur. Syukur atas segala nikmat dan karunia-NYA. Syukur atas segala suka dan duka yang telah menjadi garisan takdir-NYA.

Si empunya akun Satto Raji di fesbuk ini mengingatkan kita semua, untuk hidup penuh syukur itu. Oh ya, di titelnya, saya tulis bahwa Satto Raji adalah ‘Riser’. Ya, bapak satu anak yang selalu rendah hati ini memang riser sejati. Petualangannya berkendara bahkan sudah pernah membelah sebagian hutan lebat di Pulau Kalimantan.

Terkait nukilan bijak dari Satto Raji ini, saya jadi ingat juga kalimat senada dari cendekiawan muslim, Nouman Ali Khan. Katanya, “If we were truly the people of ‘Alhamdulillah’ we wouldn’t find the time, energy, or motivation to complain”.

* * *

[caption caption="(Teladan hidup toleransi beragama dari Kang Encep. || Foto: Akun Facebook Encep Tuabgsu Encep)"]

[/caption]

Keteladanan berikutnya, ditunjukkan melalui kalimat bijak yang disampaikan Kompasianer Tubagus Encep. Terhadap sosok yang satu ini, saya ingat betul, bagaimana ia dipanggil “Entus”, oleh almarhum Tubagus Ismetullah Al’Abbas selaku Ketua Kenadziran Kesultanan Banten. Panggilan ‘Entus’, tak lain adalah pelesetan dari ‘Tubagus’. Dan memang, ‘Kang TE’ ini memancarkan sejatinya profil ‘Entus’. Santun berbicara. Berbicara seperlunya. Tetapi, bekerja dengan penuh keteladanan. Teladan yang menyemburatkan sisi keislaman nan teduh.

Salah satu buah pikir yang disampaikan ‘Entus’ dalam akun fesbuknya adalah apa yang tertulis dalam gambar yang saya desain: “Akan lebih baik saya menyibukkan diri mempelajari agama saya, Islam, ketimbang sibuk mencari kelemahan agama lain”. Dari kalimat bijaknya ini saja, ‘Entus’ sudah mengibarkan bendera toleransi beragama yang sangat pamuncak. Pemahamannya tentang tafsir ayat: “Untukmu agamamu dan untukku agamaku”, benar-benar telah mendalam di relung kalbunya. Agama yang dipeluk boleh saja berbeda-beda, tapi ‘Entus’ mengajak kita semua untuk berangkulan dalam toleransi hidup beragama.

* * *

[caption caption="(Teladan hidup toleransi beragama dari Kang Encep. || Foto: Akun Facebook Encep Tuabgsu Encep)"]

[/caption]

Kenapa kita harus bersyukur seperti kata Satto Raji, dan mengapa juga harus sibuk belajar agama seperti dinasehatkan oleh Kang Tubagus Encep? Jawabannya, adalah seperti yang pernah dituliskan Kompasianer Thomson Cyrus dalam status fesbuknya.

Ia mengatakan, “Sebab kita adalah ciptaanNYA yang paling istimewa. Apapun keadaan kita, Tuhan sayang kepada kita, sebab kita ciptaanNYA yang paling luar biasa”.

Meski keyakinan Kang Tubagus Encep dan Thomson Cyrus berlainan, tapi percayalah, semua agama itu mengajarkan kebaikan. Menjalani kebaikan itulah saripati beragama. Termasuk, berbuat bajik dan bijak kepada sesama manusia, bahkan kepada hewan dan juga tanaman.

Tiga Kompasianer dengan nukilan kalimat bijaknya ini benar-benar memberi inspirasi akan arti hidup yang penuh arti. Sederhana. Bersyukur. Toleransi. Juga penuh penghambaan diri kepada Sang Maha Pencipta. Semua untaian ini mengingatkan saya pada pernyataan Bunda Theresa. Kata beliau: “If you are humble nothing will touch you, neither praise nor disgrace, because you know what you are.”

Aaahhhh … menjadi humble. Enggak semua orang bisa! Meski tetap harus dicoba.

* * *

[caption caption="(Keteladanan untuk bekerja dengan baik dari Muhammad Syukri. || Foto: Akun Facebook Syukri Muhammad Syukri)"]

[/caption]

Kedua, teladan bekerja.

Kompasianer dari Tanah Gayo ini memang sarat pengalaman dalam menukangi banyak pekerjaan. Tak salah, apabila setiap lisan yang keluar selalu laiknya intan permata mutu manikam. Kaya arti, bahkan apabila dibaca sekilas saja, tanpa harus diresapi.

Simak saja penuturan Muhammad Syukri, tentang apa yang disebutnya sebagai modal kerja.

Bapak penggila kopi ini berujar, “Modal bukan semata-mata uang, tetapi lahan dan tanaman [plus semangat]”. Luar biasa! Tertanam kata “semangat” dalam kalimat itu. Sesuatu yang membuatnya selalu mampu menjalani pekerjaan sehari-harinya sebagai pejabat publik, sekaligus mencari-cari waktu luang untuk menulis, dan mengunggahnya di Kompasiana.

Masih soal semangat, Pak Syukri yang selalu rajin memasyarakatkan keunggulan Kopi Gayo ini pernah menunjukkan daya juang tak bertepi. Kala itu di Ubud, Bali. Kejadiannya, manakala kita usai melakukan tracking wisata arung jeram. Selesai menguras tenaga dengan mengarungi arus yang deras diantara bebatuan terjal, untuk kemudian kembali ke kantor pengelola wisata, kami harus mendaki bukit yang tinggi sekali. Meski sudah dibuatkan anak tangga, tapi karena tingginya bukit tersebut sangat ajib, maka benar-benar membuat napas tersengal-sengal bahkan hampir putus. Nah, disinilah Pak Syukri menunjukkan semangatnya. Meski usia sudah tak lagi muda, tapi justru beliau yang memompa semangat! Semangat untuk terus menapaki anak tangga. Naik menuju puncak yang rasanya hampir tak pernah terjangkau.

Saya bersyukur, sudah pernah diberi keteladanan “semangat” itu oleh Pak Syukri.

* * *

[caption caption="(Nufransa Wira Sakti mengingatkan bahaya zona nyaman. || Foto: Akun Facebook Nufransa Wira Sakti) "]

[/caption]

Beda lagi dengan apa yang pernah dituliskan Kompasianer senior Nufransa Wira Sakti. Kalimat bijaknya mengingatkan kita semua untuk senantiasa waspada terhadap suasana nyaman. Aneh ya, padahal bukankah kenyamanan itu yang justru kita udak-udak, kita buru?

Tapi, bagi Pak Haji Frans, justru zona penuh kenyamanan itu yang membuat sebuah organisasi terancam tamat. Ia mengistilahkan comfort zone sebagai silent killer, pembunuh yang beraksi secara diam-diam. Utamanya, di tengah perkembangan dunia digital yang sangat cepat perubahannya, zona nyaman harus diwaspadai.

Pikiran ini ternyata bukan melulu diingatkan oleh Pak Haji Frans. Ada juga pernyataan senada disampaikan oleh Steve Siebold. Dia ini milyarder yang juga menulis buku ‘How Rich People Think’. Siebold pernah bilang, kalau Anda ingin kaya raya, Anda harus siap dengan situasi yang tidak nyaman.

Orang besar, kata Siebold, tahu ada harga yang harus dibayar untuk menjadi kaya, tapi kalau mereka memiliki ketangguhan mental untuk menahan rasa sakit sementara, mereka dapat menuai hasil kekayaan berlimpah dalam sisa hidup mereka

Nah, membaca apa yang ditegaskan Siebold, makin terasa paten banget kan, soal comfort zone yang diingatkan sebagai silent killer oleh Pak Haji Frans, yang merupakan teman sekolah saya di SMAN 70 Bulungan, Jakarta ini.

* * *

[caption caption="(Lakukan lompatan buat perubahan. Pesan dari Rushan Novaly. || Foto: Akun Facebook Rushan Novaly)"]

[/caption]

Lalu bagaimana sebaiknya menghindar dari silent killer versi Pak Haji Frans tadi?

Baca apa yang pernah dituliskan Kompasianer Rushan Novaly ini: “Hidupkan impian. Perbaiki karakter. Lakukan lompatan”.

Cerdas sekali message-nya. Jangan pernah statis. Perbaiki diri, dan lakukan perubahan. Meskipun ketika Rushan mengubah profile picture dengan desain gambar ini, ada saja yang komentar: “Melompat kemana?” “Nyebur ke laut dong?” Hahahahaaaaa … uhuuuy!

Apa  yang diingatkan Rushan menjadi cambuk agar kita bekerja lebih baik lagi. Maklum mimpi saja tidak cukup. Butuh lebih dari sekadar mimpi. Seperti juga yang pernah dituliskan Dian Nafi dalam Matahari Mata Hati. Katanya: “Tak cukup mimpi. Butuh jua energi dan sinergi. ‘Tuk bersinar seperti mentari”.

* * *

[caption caption="(Muara menulis, kata Pak Thamrin Dahlan, adalah buku. || Foto: Akun Facebook Thamrin Dahlan)"]

[/caption]

Ketiga, teladan dalam menulis dan ber-’media sosial’.

Empat Kompasianer saya kategorikan pada keteladanan ini. Ada Pak Thamrin Dahlan, yang saya kutip terkait kalimat bijaknya tentang menulis dan menerbitkan buku. Sang purnawirawan ini berujar, “Sesungguhnya muara dari menulis itu adalah buku. Karena, buku bersifat abadi dan menjadi alibi tak terbantahkan atas kehadiran seorang anak manusia di muka bumi ini”.

Kalau Pak ‘Tede’ menganggap buku sebagai ‘abadi dan alibi tak terbantahkan’, tentunya ini berhubungan juga dengan rencananya untuk mencetak 500 eksemplar lagi buku hasil karyanya sendiri, ’Magnet Baitullah’ (198 halaman, Februari 2016, Leutika Prio). Nantinya, buku ini akan menyasar ke perpustakaan masjid dan mushola di seluruh Indonesia. Pak ‘Tede’ yang masih aktif sebagai dosen ini akan membagikannya secara gratis, tissss!

[caption caption="(Waspadai informasi dan berita yang tidak akurat dengan muatan kebencian. Pesan Syaiful W Harahap. || Foto: Akun Facebook Syaiful W Harahap)"]

[/caption]

Masih tentang dunia tulis-menulis. Kalimat bijak Kompasianer sekaliber Syaiful W Harahap ini patut pula dikedepankan. Bang Syaiful sudah kenyang asam-garam dunia jurnalistik, menaruh harapan besar, agar media massa di Indonesia benar-benar menjadi pencerdas bagi pembaca dan pemirsanya.

Di salah satu status fesbuknya, si Abang selengkapnya mengeluarkan kecaman sekaligus saran perbaikannya. “Perlu pendidikan untuk memahami media. Sayang, di Indonesia  tidak ada upaya untuk mencerdaskan pembaca dan pemirsa. Bahkan banyak media cetak, elektronik, online dan media sosial yang jadi agen pembodohan. Antara lain, dengan menyampaikan informasi dan berita yang tidak akurat dengan muatan kebencian”.

Tak perlu ditampik. Rasanya, apa yang disampaikan Bang Syaiful sudah semakin terbukti, dari hari ke hari.

[caption caption="(Laporkan ke Polisi kalau ada pemberitaan yang ujungnya memfitnah, memeras dan menuduh macam-macam. Seru Hilman Fajrian. || Foto: Akun Facebook Hilman Fajrian)"]

[/caption]

Nah, selanjutnya, bila ada media massa yang menyajikan informasi, berita tidak akurat dan  penuh muatan kebencian, lalu merugikan kita, sebagai pihak yang menjadi korban, maka salah satu jalan terbaik adalah melakukan seperti apa yang disampaikan ‘Koboi Bermotor Sport Merah’ di atas ini.

Adalah Kompasianer Hilman Fajrian yang berprofesi sebagai jurnalis tapi juga tegas-tegas melawan jurnalisme negatif. Katanya, “Bila Anda diperas, difitnah dan dituduh lewat pemberitaan, jangan sungkan-sungkan melapor ke polisi. Percayalah, mereka juga hanya orang biasa yang takut penjara”.

Ya, lakukan apa yang dihimbau Hilman. Produk jurnalistik yang baik memang sebaiknya memang tidak asal tuduh dalam pemberitaan. Bukankah pemberitaan harus berimbang dan memenuhi asas praduga tak bersalah.

Boleh juga diingatkan, “Menulis, tidak asal njeplak”. Begitu pesan Kompasianer Thamrin Sonata pada tulisan saya tentang kalimat bijak sebelumnya.  

[caption caption="(Sisi manfaat menjadi pribadi yang sama di dunia maya dan dunia nyata. Pesan Agung Soni. || Foto: Akun Facebook Agung Soni)"]

[/caption]

Akhirnya, tulisan ini saya tutup dengan petuah bijak dari Kompasianer Agung Soni. Pengusaha sekaligus blogger yang bermukim di Bali. Ia meyakini benar, bahwa, “Lebih banyak sisi manfaatnya jika menjadi pribadi nyata dan sama, di dunia online dengan dunia nyata”.

Mungkin, karena maraknya penipuan melalui media sosial dengan layanan online, sehingga akhirnya ‘Mas Haji’ terpaksa mengeluarkan nasehat tersebut. Nasehat yang akhirnya membuat kita termanggut-manggut. Bahwa memang benar, buat apa berlaku beda dengan sifat dan pembawaan asli kita, antara di dunia online dengan di dunia nyata.

Sosok Agung Soni sudah membuktikan hal itu. Saya, sudah lama kenal dengan Agung Soni. Sosoknya di dunia maya, enggak jauh beda dengan ketika ketemu di dunia nyata. Ia rendah hati. Sikapnya lembut dan banyak senyum. Tapi, tetap tegas dalam sikap. Apalagi kalau sudah menyangkut hal-hal yang bertentangan dengan hal-hal yang menjadi keyakinannya.

Sudah dulu yak … capek ngetiknya!

Semoga bermanfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun