[caption caption="(Etalase kaca berisi barang-barang pengunjung yang tertinggal. Foto: Gapey Sandy)."][/caption]Begitu selesai wudhu, bergegas saya menuju ruang utama sholat. Sembari mendaki tangga dan menyusuri teras masjid, mata saya sempat tertuju pada sebuah etalase kaca. Ukurannya, palingan cuma panjang dua meter kali seperempat meter. Terdiri dari empat tingkat yang menyusun panjang. Terkunci rapat.
Sabtu (13 Februari 2016) sore itu, sambil terus berjalan saya sempat melihat isi etalase kaca, banyak sekali arloji. Jam tangan beraneka warna. Ada juga semacam tas, topi, gelang, kacamata, juga sepatu.
Dalam hati, saya sempat bertanya: “Apa semua barang-barang itu dijual? Apa ini etalase tempat jamaah menitipkan barang?”
Ah, enggak tahulah.
Saya terus saja berjalan. Menapaki lantai marmer hitam nan resik dengan corak putih. Menuju pintu masuk utama masjid. Melaksanakan sholat dan mengakhiri dengan merapal puja-puji serta doa kehadirat Ilahi Robbi.
Masjid Al-Mi’raj, namanya. Lokasinya ada di salah satu rest area yang ada di jalan tol Purbaleunyi. Kalau dari arah Kota Bandung menuju Jakarta, tol ini ada di kilometer 97. Tepatnya di Purwakarta, Jawa Barat.
Nama yang terakhir ini belakangan makin jadi sorotan media. Gara-gara perseteruannya dengan salah satu forum atau organisasi kemasyarakatan.
Selesai sholat, saya berencana kembali ke mobil. Mobil saya parkir di dekat pom bensin, yang tak jauh jaraknya dari masjid. Sebelum memakai sepatu, saya masih melewati etalase kaca itu tadi. Rasa penasaran muncul lagi. Kepo, saya menghampiri etalase yang penuh dengan barang-barang berharga ini.
Ada kertas putih tertempel di dalam etalase. Semua orang bisa membacanya.
Tulisannya: “ETALASE INI BERISI BARANG-BARANG PENGUNJUNG YANG TERTINGGAL”.