“Saya ingin mengubah agar penampilan Reog ini semakin bisa diterima masyarakat, dengan melakukan sejumlah improvisasi. Sama seperti yang dilakukan oleh seniman Wayang Kulit yang bisa berkolaborasi dengan seni Campur Sari maupun lawakan. Semua kami lakukan asalkan tidak menyimpang dari syariat agama. Improvisasi seperti ini, dulunya tidak ada dalam adegan seni budaya Reog,” urai Pak Tri mengungkapkan alasan improvisasi.
Nah, rupanya apa yang dimunculkan Pak Tri mengenai sasaran. Terbukti, Alex mengaku sangat menggemari bagian di mana ada aksi akrobatik dalam penampilan Reog. Juga, ketika adegan permainan cemeti raksasa disuguhkan. “I like the part where the children do a lot of acrobatics and also the part where they use like a very big whip,” jelas Alex yang baru-baru ini terpaksa pulang kembali ke Belgia selama enam hari, lantaran mendengar kabar duka bahwa sang nenek tercinta meninggal dunia.
[caption caption="Alexander Hugo Huinen, pelajar asal Belgia turut mengisi acara dalam satu pertunjukan Reog. (Foto: Reog Surabaya HIPREJS)"]
“It is to creepy”
Ada hal menarik. Ketika kepada Alex saya tanyakan, apakah ia melihat bahwa seni dan budaya Reog adalah sesuatu hal yang berkaitan dengan mistik, karena beberapa adegan menunjukkan hal-hal yang tidak masuk akal? Dengan cepat ia menjawab sambil menunjukkan contoh adegan yang tidak logis dalam pikirannya. Misalnya, ketika ada pertunjukan sang seniman makan beling kaca.
“Well, last time I went there where some people who were possessed and I had to give them some glass to eat and he ate it. That made me doubt if he really was possessed or not,” tutur Alex.
Menyimak penuturannya, saya pun memberi semangat Alex supaya ia mau mencoba dan mempelajari pertunjukan makan beling itu. Sayangnya Alex menolak. Begini ia bilang, “No, I don’t. It is to creepy”. Alex juga mengatakan, ia sempat menyaksikan bagaimana seniman Reog yang seperti sudah tidak ‘kerasukan’ dan usai memakan beling, menjadi mengalami luka berdarah serta ketidaknyamanan yang teramat sangat. “I didn’t ask to my father host about that show. But I saw after they got out of being possessed they were bleeding and were not feeling well”.
Sebagai pelajar yang baru mengenal Reog, Alex mengaku kurang memahami gelar cerita yang terkandung dalam pementasannya. Tapi syukurnya Alex mau belajar. Termasuk, ia mempelajari skenario dan babakan cerita Reog melalui dunia maya. “I never knew what the story was about. But I did look some basic information up on Wikipedia,” kata Alex yang mengaku tidak tahu bagaimana awal mula sejarah Reog yang sebenarnya, sehingga Malaysia seperti sempat hendak mengklaim seni budaya adiluhung asal Indonesia ini. “I don’t know about who had Reog first since I don’t know the history behind it very well”.
Tak hanya soal atraksi seni Reog. Alex juga semakin memahami bagaimana menjalani hidup dan berkehidupan melalui seni budaya Reog. Maksudnya, para seniman mencari nafkah melalui pementasan demi pementasan. Biasanya, seperti pernah diakui Pak Tri, apabila ada pemesanan untuk mementaskan Reog, tarif yang dikenakan adalah sebesar Rp 5 juta. Dengan catatan, bila lokasinya jauh, maka harus ditambah ekstra biaya transportasi para kru dan piranti pertujukan. Nah, mengomentari hal ini, Alex mengatakan, dirinya pernah beberapa kali menyaksikan dengan mata kepala sendiri, betapa para seniman Reog memperoleh penghasilan sangat minim.
“I have seen a my host-father perform a few time’s and it is mostly local and not that big so it is only natural that you can get enough money. I think that if they want to make more money they will have to perform on a bigger level,” saran Alex.