Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Dissa dan Café Tunarungu "Jari Berbicara"

8 Januari 2016   07:30 Diperbarui: 10 Januari 2016   10:57 2594
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sedangkan untuk memilih menu yang dipesan, pengunjung bisa membaca lebih dahulu daftar menu yang tersedia, lalu menuliskannya pada secarik kertas memo yang sudah disediakan. Atau, menunjukkan pilihan menunya kepada pramusaji. Cara lain adalah, tamu café bisa berbicara secara normal dengan kecepatan yang lebih pelan, sehingga pramusaji atau deaf crew bisa membaca gerak bibir.

(Para deaf sedang berkomunikasi menggunakan Bahasa Isyarat. || Foto: Gapey Sandy)

Ada banyak menu makanan yang ditawarkan, mulai dari Roti Canai dan Kari, Nasi Goreng (Telur, Ayam, Sosis Daging, dan Udang), Tortilla (Sosis, Nugget Ayam), Ayam Bakar, Ayam Goreng, Tuna Lemon Sauce, Chicken Garlic Sauce dengan Kentang Goreng atau Mashed Potato, Salad dan masih banyak lagi. Sedangkan minumannya, para tamu bisa memesan Café Latte, Caramel Macchiato, White Koffie, Cappuccino, Kopi Kampung, Vanilla Latte, Lime Juice dan lainnya. Untuk menu dessert bisa pilih Super Roll Cake with Ice Cream.

“Konsep Deaf Café Fingertalk adalah café dan pusat latihan tunarungu atau deaf. Misinya untuk membuka lapangan pekerjaan kepada teman-teman tuna rungu, sekaligus menjadi wadah bagi komunitas tunarungu dan teman-teman yang mendengar atau hearing. Lewat Fingertalk ini kami juga ingin memperkenalkan Bahasa Isyarat Indonesia atau BISINDO kepada masyarakat luas,” urai Dissa yang sore itu nampak anggun dengan jilbab hijau muda tosca, blouse putih dan rok panjang bermotif batik Nusantara.

Nama Fingertalk dipilih karena finger berarti jari, sedangkan talk itu bicara. “Nama ini dipilih demi melihat bagaimana teman-teman tuna rungu “berbicara dengan jari-jari” mereka sewaktu menggunakan bahasa isyarat,” jelas dara lajang kelahiran Jakarta, 26 Februari 1990 ini.

(Jari Berbicara. Dissa Syakina Ahdanisa, kanan, sedang berkomunikasi dengan salah seorang deaf. || Foto: Gapey Sandy)

Dissa menambahkan, untuk sementara ini, ada tiga staf deaf yang fokus pada workshop, mulai dari menciptakan karya kreatif kerajinan tangan dengan menjahit, menyulam, membuat vas bunga, tempat pensil, sandal jepit busa, hingga celengan atau tabungan. Umumnya semua berasal dari bahan-bahan baku yang merupakan limbah, seperti sisa kain perca batik, potongan bahan jeans dan lainnya.

“Ketiganya adalah, Santi (31) yang pandai menjahit, dan memang tinggal di sekitar Pamulang serta merupakan lulusan dari Sekolah Luar Biasa (SLB). Ada lagi Ibu Wiji yang berusia 50-an tahun dan tinggal di seputaran Pamulang. Hebatnya, suami Ibu Wiji ini adalah juga deaf, dan keduanya dianugerahi dua anak yang kondisinya normal. Yaitu Putra, yang baru saja memperoleh beasiswa kuliah di Politeknik Universitas Indonesia, dan Krisna yang kini berkuliah pada jurusan Teknologi Informasi di Universitas Pamulang. Juga ada Rina (55), yang tidak hanya tunarungu tapi juga tunanetra. Meski begitu, Rina pandai menyetrika bajunya sendiri, dan menjahit serta merajut. Hasil karya jahitan dan rajutannya sangat luar biasa rapi juga sempurna,” jelas Dissa, anak pertama dari empat bersaudara buah cinta dari pasangan Dwipa Oktafoma dan Lisma Gaus ini.

(Santi, salah seorang deaf yang fokus pada kegiatan workshop Fingertalk. Kemampuannya menjahit, merajut dan menyulam mampu menghasilkan banyak karya yang laris untuk dipasarkan. || Foto: Gapey Sandy)

Para deaf yang bekerja di workshop tetap berada dalam naungan Fingertalk tetapi dibina langsung oleh Ibu Pat Sulistyowati (66), seorang deaf yang sekaligus mantan Ketua Gerakan Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia (Gerkatin).

“Bersama dengan Ibu Pat ini saya membuka langkah untuk mendirikan Deaf Café Fingertalk. Termasuk, memperkenalkan saya kepada komunitas-komunitas deaf asuhannya. Nah, sebagai pengajar Bahasa Isyarat, murid-murid Ibu Pat ini sudah banyak sekali. Termasuk, para interpreter deaf yang selalu muncul pada setiap tayangan program pemberitaan stasiun TVRI, itu juga antara lain murid-muridnya Ibu Pat,” jelas Dissa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun