Pesawat kepresidenan berwarna biru muda itu pun mendarat di Bandar Udara El Tari, Kupang, Nusa Tenggara Timur, pada Minggu, 27 Desember 2015 sekitar pukul 15.30 wita. Presiden Joko Widodo didampingi Ibu Negara Iriana Joko Widodo pun menuruni anak tangga dan melintasi karpet merah. Penyambutan sederhana dilaksanakan oleh sejumlah pejabat Pemerintah Provinsi NTT. Presiden Joko Widodo diberi selempang kain tenun ikat yang dominan dengan warna hitam.
Sebagai salah seorang blogger yang ditugaskan untuk turut mengikuti kunjungan kerja Presiden Joko Widodo ke NTT, saya menyaksikan itu semua. Kehadiran Presiden di ‘Bumi Kasih’ yang terkenal dengan alat musik berdawai Sasando ini diantaranya untuk meresmikan pelaksanaan proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Desa Oelpuah, Kupang Tengah. Atau, sekitar satu jam perjalanan darat dari Bandar Udara El Tari. Sepanjang perjalanan, iring-iringan kendaraan rombongan kepresidenan tidak hanya melintasi jalan mulus, melainkan terkadang harus mendaki dan menuruni bukit terjal dengan kondisi jalan yang lumayan buruk. Beginilah yang namanya blusukan.
Di lokasi proyek, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Sudirman Said mengawali kata sambutan. Menurutnya, PLTS yang berkapasitas 5 MWp (megawatt peak) ini sangat berguna bagi masyarakat NTT, khususnya Kupang. Nilai investasi PLTS ini mencapai 11,2 juta dolar AS. Harapannya, PLTS yang berdiri di atas lahan seluas 7 hektar ini mampu menambah pasokan listrik untuk wilayah Kupang yang sudah masuk kategori krisis karena reserve margin yang sangat minim. “Kita berharap, PLTS ini menjadi milestone bagi pembangunan Energi Baru Terbarukan (EBT) yang sudah menjadi komitmen dari Pemerintah,” ujar Sudirman yang memperkirakan bahwa proyek IPP PLTS ini akan rampung pada Juni 2016, atau lebih cepat dari jadwal semula.
Sistem PLTS Grid-Connected yang dioperasikan pada PLTS ini memungkinkan pembangkit tenaga surya bekerja secara paralel, dan terkoneksi langsung dengan jaringan listrik utama. Sehingga, praktis tidak menggunakan sistem baterai. Listrik yang dihasilkan pun akan langsung dialirkan ke jaringan listrik eksisting pada siang hari. Sistem ini terdiri dari rangkaian panel modul surya, sistem inverter, sistem proteksi elektrik dan perangkat interkoneksi jaringan.
Sementara itu, Presiden Joko Widodo dalam sambutannya mengatakan, PLTS ini memiliki kapasitas paling besar di Indonesia, dan merupakan karya anak bangsa sendiri. Meskipun belum sebanding antara kapasitas 5 MW yang dihasilkan PLTS ini dengan kebutuhan listrik di NTT yang mencapai 50 MW, tetapi hal tersebut sudah sangat membantu.
“Apalagi, dalam dua sampai tiga bulan kedepan, akan merapat kapal laut yang membawa energi listrik ke Kupang, dengan membawa daya kapasitas sebesar 60 MW. Artinya, dengan pasokan itu membuat kebutuhan listrik di NTT menjadi terpenuhi. Kelak, apabila sudah berjalan baik, maka kita akan buat pembangkit listrik di darat,” tutur Presiden Joko Widodo.
Menurut Presiden lagi, dengan kapasitas pasokan sebesar 5 MW maka dapat memenuhi kebutuhan listrik untuk sekitar 5.500 rumah tangga. “Memang, biaya yang diperlukan untuk membiayai PLTS ini cukup besar, tapi ramah lingkungan. Beda halnya bila dibandingkan dengan penggunaan batubara, maka waktu yang diperlukan akan menjadi lebih lama, yakni antara 4 sampai 4,5 tahun,” jelasnya sambil menambahkan bahwa pembangunan instalasi PLTS dengan kapasitas serupa atau yang lebih besar akan dibangun juga di daerah Indonesia Bagian Timur (IBT). “Nanti akan dikembangkan terutama di pulau-pulau yang sulit terjangkau apabila menggunakan pembangkit listrik tenaga batubara. Sehingga akan diarahkan menjadi PLTS seperti ini”.
Selain di Kupang Tengah, pembangunan PLTS Grid-Connected juga sudah dilakukan di Bangli dan Karang Asem, Bali. Semangat untuk memasyarakatkan EBT memang harus terus digalakkan. Sehingga tak berlebihan apabila Kementeria ESDM telah mendeklarasikan bahwa Provinsi Bali akan sepenuhnya mempergunakan energi bersih atau ‘clean energy’ pada 2019. Energi bersih antara lain berasal dari gas, tenaga surya, air, arus laut, dan tumbuh-tumbuhan yang dapat menghasilkan arus listrik.
Gebrakan awalnya adalah, pada 2016 ini, seluruh gedung perkantoran Pemprov Bali akan dipasang sistem panel surya sebagai bagian dari upaya menjadikan Pulau Dewata sebagai ‘center of excellence’ atau semacam pusat unggulan terkait penggunaan energi bersih di Indonesia.
Pentingnya menggalakkan dan memasyarakatkan EBT, tentu sudah kita pahami bersama, yakni karena energi yang berbahan dasar fosil sudah menipis dan akan segera habis pada waktunya. Apabila tidak segera dicarikan penggantinya, maka krisis energi dan geopolitik akan melanda seluruh dunia, termasuk Indonesia. Mengapa hal ini penting? Karena seiring pesatnya perkembangan zaman dan perputaran waktu, energi pada akhirnya menjadi modal utama pembangunan sekaligus kebutuhan dasar rakyat yang mau tidak mau harus terpenuhi.
Dalam berbagai kesempatan Menteri ESDM Sudirman Said senantiasa mengatakan, Pemerintah mendorong pengembangan EBT dan konservasi energi menjadi champion untuk ketahanan dan sustainability energi. “Untuk itu, saya tidak ingin program-program EBTKE hanya menjadi additional tapi sebaliknya menjadi sesuatu yang sangat penting,” terangnya.
Ironisnya, Indonesia masih mengandalkan sumber energi dari fosil, dengan perkiraan angka mencapai 94 persen dari total penyediaan energi nasional. Meskipun begitu, segala daya upaya untuk mengurangi pemakaian jor-joran energi berbasis fosil tak pernah surut. Hasilnya meski masih rendah tapi masih lumayan baik. Hal ini diungkapkan Direktur Jenderal EBT dan Konservasi Energi Rida Mulyana, sepanjang 2014, kapasitas terpasang pembangkit listrik berbasis EBT sebesar 10.744,16 MW atau 21 persen dari kapasitas terpasang kumulatif pembangkit listrik nasional sebesar 51.981 MW.
Lantas apa yang ditawarkan Kementerian ESDM untuk mendorong pengembangan EBT pada masa mendatang? Menurut Rida, pihaknya sudah menggancang sejumlah program Mulai dari meningkatkan kerjasama antar stakeholder yang terkait dengan pembangunan EBT dan konservasi energi, mendorong keterlibatan industri lokal, mengupayakan kontribusi lebih besar dari perbankan nasional dalam upaya pengembangan EBT dan konservasi energi. Juga, melakukan diseminasi program efisiensi energi kepada masyarakat, dan pembangunan infrastruktur oleh Pemerintah, serta memberikan insentif berupa kebijakan fiskal, subsidi, feed in tariff, penciptaan pasar melalui kebijakan mandatori dan kebijakan investasi, untuk pengembangan EBT dan program konservasi energi.
Pertanyaan menarik berikutnya adalah, sudah berapa banyak rumah tangga yang memanfaatkan listrik dari hasil EBT? Hingga 2013, Dirjen EBT dan Konservasi Energi mendata, realisasi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH), Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), Pembangkit Listrik Tenaga Hibrida (PLT Hibrida) telah meliputi 264 lokasi. Total kapasitas daya yang tercipta adalah 11,64 MW yang mampu memenuhi kebutuhan listrik sebanyak 30.860 rumah tangga.
Pada tahun yang sama, khusus untuk PLTS sudah dikembangkan sebesar 67 MW yang meliputi pembangkit milik PLN sebanyak 129 unit PLTS berkapasitas 25 MW, serta pembangkit yang dibangun oleh Pemerintah sebanyak 787 unit PLTS yang terdiri dari 5 unit PLTS interkoneksi, PLTS Terpusat serta SHS dengan total kapasitas 42 MW untuk memenuhi kebutuhan listrik di kalangan masyarakat pedesaan, pulau terluar dan kawasan perbatasan.
Akhirnya, kita patut bersyukur bahwa Pemerintah terus berkomitmen dan menunaikan amanahnya untuk memenuhi kebutuhan listrik di tanah air. Upaya mempergunakan EBT di Kupang dengan mewujudkan PLTS ini hendaknya dapat menginspirasi daerah-daerah lain, agar tidak hanya berpangku-tangan dan mengeluh tentang minimnya kecukupan pasokan energi listrik.
Kita memang jauh tertinggal bila dibandingkan dengan Jepang dalam konteks pemanfaatan atau mengonversi tenaga surya menjadi energi listrik. Di negeri “Matahari terbit” itu, ada yang namanya Kagoshima Nanatsujima yang berlokasi di lepas pantai Jepang bagian selatan. Kagoshima Nanatsujima Mega Solar Power Plant ini tak lain adalah PLTS yang uniknya menempati areal 1,27 juta meter persegi, dan terapung di atas permukaan laut. Saking besarnya PLTS yang ukurannya sebanding dengan 27 stadion baseball ini, maka energi listrik yang berhasil dihasilkan mencapai 70 MW. Hasilnya, mampu mengalirkan listrik pada 22.000 rumah tangga.
Nah, mengingat cerita tentang kejayaan Jepang yang punya Kagoshima Nanatsujima itu, maka ketika saya berada di tengah-tengah panel surya yang terpasang menghadap matahari di PLTS yang berlokasi di Desa Oelpuah, Kupang Tengah, bibir saya mendesah semoga kebutuhan listrik di seluruh Indonesia dapat terpenuhi. Tidak mendasarkan pada sumber energi berbahan dasar fosil, tapi sudah beralih ke Energi Baru Terbarukan seperti yang sudah disediakan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Yaitu, apalagi kalau bukan sinar matahari, karena matahari tak pernah ingkar janji untuk setiap hari menyemai energi.
***
(Foto #1: Presiden Joko Widodo tengah meninjau proyek pembangunan PLTS 5 MW di Desa Oelpuah, Kupang Tengah, Minggu, 27 Desember 2015. || Foto: Gapey Sandy)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H