Mengikuti kunjungan kerja Presiden Joko Widodo ke Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 27 – 28 Desember 2015, memberi gambaran secara langsung tentang bagaimana kerja seorang ‘RI-1’. Jadwal yang padat dan selalu diburu waktu, Presiden Joko Widodo dan Ibu Negara Iriana Joko Widodo beserta sejumlah menteri kabinet kerja dan pejabat tinggi negara lainnya sukses menuntaskan seluruh agenda.
Diawali pada Minggu, 27 Desember dengan kegiatan meresmikan terminal penumpang pesawat di Bandar Udara Komodo di Labuan Bajo, peresmian proyek PLTS di Desa Oelpuah (Kupang Tengah), meninjau sentra kain tenun ikat, pertemuan dengan para Pemimpin Redaksi (Pemred) media setempat, diakhiri menerima lawatan sejumlah relawan.
Sedangkan pada Senin, 28 Desember, dari Bandar Udara El Tari, Kupang, Presiden beserta rombongan menaiki CN-295 milik TNI AU bertolak ke Bandar Udara A.A Bere Tallo di Kota Atambua, Kabupaten Belu. Di sini, Presiden meresmikan groundbreaking pembangunan Bendungan Rotiklot di Desa Fetuketi (Kecamatan Kakuluk Mesak, Kabupaten Belu). Dilanjutkan dengan peninjauan pembangunan proyek Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Motaain di Belu, dan kembali ke Kupang untuk merayakan Natal Bersama Nasional di alun-alun rumah jabatan Gubernur NTT, untuk kemudian menghadiri bakti sosial di SMAN 1 Jalan Cak Doko, Kupang, bersama relawan.
Dari semua agenda tersebut, saya sudah sampaikan pada tulisan sebelumnya bahwa Presiden Joko Widodo adalah sosok pekerja keras yang sangat menghargai bagaimana memanfaatkan waktu semaksimal mungkin. Dalam bahasa Staf Khusus Kepresidenan, Sukardi Rinakit, ritme kerja Presiden Joko Widodo ‘speed’-nya cepat, sehingga membuat para staf bawahannya juga tertantang untuk bekerja semangat.
Kedua, Presiden Joko Widodo senantiasa ingin selalu dekat dengan rakyatnya. Bahkan, dekat yang tanpa sekat. Mengapa saya bisa mengambil kesimpulan seperti ini? Lagi-lagi, dengan dua mata kepala sendiri, saya menyaksikan bagaimana Presiden membuka ruang-ruang publik tersebut pada kesempatan kunjungan kerja ke Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 27 – 28 Desember 2015.
Sebelum sampai pada contoh pelaksanaan ruang-ruang yang dekat tanpa sekat, saya coba paparkan kembali, bagaimana mobil sedan hitam ‘INDONESIA 1’ yang seringkali harus berhenti, demi menciptakan ruang bagi Presiden Joko Widodo berjumpa, berbagi senyum, salam dan sapa dengan rakyatnya. Misalnya, ketika perjalanan pulang dari lokasi proyek PLTS di Desa Oelpuah, Kupang Tengah, pada Minggu, 27 Desember 2015.
Manakala terlihat ada kerumunan warga masyarakat yang menanti iring-iringan kendaraan rombongan kepresidenan melintas, sedan hitam ‘INDONESIA 1’ terkadang berhenti. Pada saat inilah biasanya, sejumlah staf Paspampres dengan cekatan dan penuh kesabaran membagi-bagikan buku tulis maupun kaos. Saya menyaksikan, Presiden Joko Widodo sendiri tidak turun dari mobil, bisa jadi hal ini karena faktor alasan keamanan dan efektivitas waktu. Hanya jendela kaca sedan hitam ‘INDONESIA 1’ saja yang sengaja dibuka.
Pembagian buku tulis secara acak kepada warga tersebut biasanya dilaksanakan persis di sisi mobil ‘INDONESIA 1’. Saat di Kupang Tengah, saya menyaksikan adegan tersebut secara jelas karena kendaraan mini bus yang memuat rombongan wartawan dan BLOGGER KOMPASIANA peliput, berada pada iringan mobil keempat. Di belakang kami, iring-iringan kendaraan masih mengular diantaranya yang ditumpangi sejumlah menteri kabinet kerja, Panglima TNI, Kapolri dan lainnya. Praktis, ketika sedan hitam ‘INDONESIA 1’ berhenti, maka semua iringan kendaraan ikut diam tak bergerak. Persis di depan mini bus kami, dua motor gede yang masing-masing ditumpangi dua pengawal kepresidenan bersenjata lengkap, juga menghentikan kendaraan, tetap mengawal dengan sikap siaga.
Bagaimana dengan logistik buku tulis dan kaos yang biasa dibagi-bagikan itu? Yup, tentu saja, rombongan kepresidenan senantiasa membawanya dalam jumlah cukup banyak. Saya sempat menyaksikan seorang staf Paspampres yang berlari dengan membawa satu kardus berisi logistik tersebut, dari arah belakang kendaraan mini bus kami. Selain untuk dibagi-bagikan, tentu dimaksudkan sebagai pengisian logistik berikutnya pada kendaraan yang berada di belakang sedan ‘INDONESIA 1’.
(Presiden Joko Widodo dan Ibu Negara Iriana Joko Widodo ketika meresmikan groundbreaking proyek bendungan Rotiklot di Kabupaten Belu, NTT, pada Senin, 28 Desember 2015. || Foto: Gapey Sandy/Kompasiana)
Begitulah, salah satu kiat Presiden Joko Widodo menciptakan denyut kebersamaan dengan rakyatnya. Tidak sekadar melintas dengan pengawalan ketat dan iringan panjang kendaraan rombongan kepresidenan saja, tapi Presiden Joko Widodo memberi teladan untuk bagaimana menyapa rakyatnya secara langsung, secara dekat.
Hal lain yang dilakukan untuk membuka akses dan menyerap keluh kesah, saran, masukan, ide bahkan kritikan yang ditujukan kepada pemerintahannya, adalah dengan mengundang sejumlah Pemred di daerah-daerah yang disambangi. Saya beruntung, dapat berada satu ruangan ketika pertemuan itu dilaksanakan. Yup, usai meresmikan proyek PLTS terbesar di Kupang Tengah, rombongan Presiden Joko Widodo tiba di tempatnya menginap yakni Hotel Sotis, yang terletak di Jalan Timor Raya KM 3, Pasir Panjang, Kota Lama, Kupang. Presiden bersama Ibu Negara memang langsung menuju kamar hotel, seraya menunggu persiapan matang pertemuan dengan sejumlah Pemimpin Redaksi media massa setempat.
Di salah satu ruangan hotel, sudah ada delapan Pemred yang hadir, misalnya dari TVRI Kupang, RRI Kupang, Harian Timor Express, Pos Kupang, NTT Post, Victory News dan lainnya. Sebelum Presiden Joko Widodo hadir, para Pemred menyimak cerita dan guyonan dari Staf Khusus Kepresidenan Sukardi Rinakit. Diantaranya guyonan semasa almarhum KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menjabat sebagai Presiden. Suasana keakraban pun langsung klik, maklum Sukardi Rinakit memang sosok yang gayeng, ramah dan menyenangkan.
Sukardi Rinakit juga yang akhirnya jadi moderator ketika Presiden Joko Widodo sudah hadir di ruangan tertutup itu. Ada pula Pratikno, Menteri Sekretaris Negara yang duduk di samping kanan Presiden Joko Widodo. KOMPASIANA yang di-plotting guna mengikuti jalannya pertemuan duduk agak ke belakang, berseberangan dengan staf Biro Pers Istana Kepresidenan dan ajudan Presiden.
Oh ya, bisa disampaikan sedikit cerita nyentrik sebelum Presiden memasuki ruangan. Ketika itu, dengan memegang kertas berisi daftar hadir, salah seorang staf Paspamres melakukan pendataan ulang. Satu per satu, para Pemred ditanya kembali identitas namanya: “Mohon izin. Nama bapak, dan dari mana?” Bagi yang sudah menjawab, staf Paspampres ini akan memberi tanda contreng pada kertas daftar hadir. Seorang pria diketahui tidak ada namanya dalam daftar hadir. Kepada staf Paspampres yang bertanya, ia mengaku berasal dari humas instansi resmi. Tapi, karena namanya tidak tercantum dalam daftar hadir, ya maaf saja, terpaksa staf Paspampres mempersilakannya untuk keluar. Yang bersangkutan pun terpaksa keluar.
Nah, ketika staf Paspampres ini menuju ke arah saya dan Mas Isjet, pertanyaan yang sama dilontarkan seraya memegang daftar hadir: “Maaf, nama bapak?” Mas Isjet menjawab, “Dari KOMPASIANA, Pak”. Mendengar jawaban itu, staf Paspampres sempat beberapa kali memperhatikan daftar hadir, mencari-cari nama KOMPASIANA. Menyaksikan itu, saya paham, nama KOMPASIANA tidak ada dalam daftar hadir. Duhhh, apakah ini berarti kami berdua akan digelandang ke luar ruangan? Hadeeeuuuhhhh … perasaan udah enggak banget nih.
Beruntung, segera ada staf Biro Pers Kepresidenan yang menghampiri. Seraya berujar singkat kepada staf Paspamres, “Bapak-bapak ini dari KOMPASIANA. Mereka bersama kami”. Mendengar jawaban itu, staf Paspampres mengiyakan. Alhamdulillah, enggak disuruh keluar ruangan, heheheeee … legaaaaaaa. Sebagai gantinya, staf Paspampres kemudian hanya mencatat nama kita berdua saja.
Selesai? Belum.
Staf Paspampres kemudian mempersilakan seluruh Pemred termasuk KOMPASIANA mengumpulkan seluruh handphone di atas baki untuk kemudian dibawa keluar ruangan. Mas Isjet, terpaksa ‘merelakan’ GoPro dan tongsisnya ikut dikeluarkan dari ruangan.
Sebelumnya, saya sendiri sudah meletakkan tas kamera di luar ruangan. Hanya tasnya saja. Isi kamera DSLR-nya? Ya, karena sedang berusaha untuk memperoleh izin memotret, saya sengaja meletakkan kamera di lantai belakang kursi. Tapi apa hendak dikata, staf Paspampres menghampiri dan meminta saya untuk mengeluarkan juga kamera dari ruangan. Yah sudahlah … apa boleh buat, saya patuhi semua perintah itu. Tinggal tersisa blocknote kecil dan pulpen di saku, untuk mencatat apa saja yang berlangsung selama pertemuan. Beeeuuhhh … no camera, no voice recorder. Ini bisa jadi catatan khusus buat Kompasianer, siapa saja, yang nanti mungkin terpilih mengikuti kunjungan kerja Presiden, untuk selalu siap membawa blocknote. Jangan selalu mengandalkan alat rekam.
Akhirnya acara dimulai. Sukardi Rinakit yang menjadi moderator, segera menyampaikan maksud dan tujuan acara diselenggarakan. “Bapak Presiden berharap masukan dan informasi secara langsung dari para Pemimpin Redaksi yang hadir di sini,” ujarnya.
Penyampaian para Pemimpin Redaksi
Seperti dikomando, sejumlah Pemred langsung mengacungkan jari memohon izin berbicara. Simon dari Timor Express memperoleh kesempatan pertama. Ia menyampaikan masalah jaminan kebebasan pers dan berpendapat untuk menegakkan demokrasi. Selain, masalah percepatan pembangunan.
“Kami memohon agar ada jaminan kebebasan pers dan kebebasan berpendapat, karena inilah pilar demokrasi. Kami berharap pula percepatan pembangunan dilaksanakan, terutama masalah pendidikan dan kesehatan di NTT. Untuk masalah kesehatan misalnya, yang perlu dihadapi adalah penyakit malaria dan HIV/AIDS. Selain itu, perlu semakin lebih ditingatkan kapal barang dari Maluku menuju Papua yang pada akhirnya akan membuka banyak akses, termasuk ekonomi. Begitu juga dengan transportasi udara. Provinsi NTT ini berbatasan dengan dua negara yang mata uangnya dolar. Kami berharap Bandar Udara El Tari ditingkatkan jadi berstatus internasional, sehingga Kupang menjadi pintu gerbang Asia Pasifik,” tuturnya.
Sementara itu, Kepala Stasiun RRI Kupang memberi masukan kepada Presiden Joko Widodo tentang betapa positifnya program tunjangan kinerja di lingkungan karyawan RRI. Harapan juga disampaikan tentang kebutuhan akan embung dan bendungan di NTT. “Karena curah hujan sangat minim,” tukasnya seraya menambahkan masalah persoalan tanah adat yang kadangkala menjadi penghambat rencna investasi. “Hal lain, kami berharap ada perbaikan untuk transportasi kapal Ferry, karena kondisi yang sudah ada saat ini, sudah tidak manusiawi”.
Adapun Chris Mboeik, Pemred Victory News secara singkat berharap agar Pemerintah dapat mewujudkan NTT sebagai provinsi ternak. “Untuk mewujudkannya butuh pakan, air dan sebagainya. Jangan sampai berhenti pada wacana saja,” ujarnya.
Luncuran Jawaban Presiden Joko Widodo
Menanggapi penyampaian ketiga Pemred tersebut, Presiden Joko Widodo dengan gaya bicara khasnya yang lembut berkata, masalah yang dihadapi NTT memang cukup banyak. “Masalah pemenuhan elektrifikasi saja, berada pada urutan terendah kedua. Untuk menjawabnya, baru saja saya meresmikan PLTS dengan kapasitas 5 MWp yang dapat memenuhi kebutuhan listri sekitar 5.500 rumah tangga. Nanti, akan ada lagi kapal apung listrik yang akan membawa muatan dengan kapasitas 60 MW. Artinya, dari angka-angka ini saja, kebutuhan listrik di NTT yang sebesar 50 MW, dapat segera terpenuhi. Nanti, kalau sudah rampung problem listriknya, barulah kita membuat pembangkit listrik yang ada di darat,” tutur Presiden Joko Widodo.
Sedangkan untuk angka kemiskinan, lanjut Presiden, Provinsi NTT berada pada kisaran urutan kedua atau ketiga terendah. “Makanya, Pemerintah berusaha untuk mengejar ketertinggalan antar wilayah. Kalau tidak, bisa-bisa kesenjangan justru akan melebar. Salah satu kunci untuk memajukan NTT adalah memenuhi kebutuhan AIR. Tidak mungkin kita bicara pertanian, menanam jagung, ketela, sorgum, atau bahkan memulai usaha peternakan, kalau masalah pokok di NTT yakni air, tidak ada penyelesaian,” jelas Presiden Joko Widodo.
Terkait desakan untuk membangun embung dan bendungan, Presiden menegaskan bahwa memang Pemerintah sudah merencanakan hal itu semua. “Kita buat perencanaan. Pokoknya, putuskan, kerjakan. Putuskan, kerjakan. Saya itu dalam bekerja selalu dibatasi waktu,” jawab Presiden tegas seraya mengatakan bahwa, dalam setiap melakukan pengecekan hasil pekerjaan selalu dilakukan sampai empat kali. “Jadi, tidak hanya satu kali saja saya mengecek hasil pekerjaan itu”.
Menanggapi kebutuhan kapal Ferry, Presiden menyatakan persetujuannya untuk menambah jumlah kapal laut. “Kita akan selesaikan. Ini juga sejalan dengan program tol laut,” ujar Presiden seraya melanjutkan tentang betapa pentingnya mewujudkan provinsi ternak bagi NTT. “Saat ini, kita masih kekurangan sekitar 300 ribu sapi ukuran besar, atau 600 ribu sapi ukuran kecil”.
Adapun menjawab soal jaminan kebebasan pers dan berpendapat, Presiden Joko Widodo justru mempertanyakan balik. “Apakah selama ini masih ada yang menekan kebebasan pers? Saya rasa sudah tidak ada. Bahkan apa yang ditulis pers sudah menjadi ‘makanan’ kita sehari-hari. Saya dimaki-maki, dicemooh, diejek. Itu sudah biasa. Bahkan sejak saya menjabat Gubernur DKI Jakarta, hal seperti ini sudah biasa. Makanya, saya akan tunjukkan (hasil kerja). Kalau memang dianggap tidak mampu, tidak capable, ya tidak usah ditengok lagi (pada Pemilu berikutnya),” jelasnya.
Terkait problem tanah adat yang kerapkali menjadi penghambat rencana proyek investasi, Presiden Joko Widodo membeberkan perlunya melakukan pendekatan kepada para tokoh kunci, karena banyak sekali suku-suku besar dan kecil di NTT ini. “Pengalaman ketika di Merauke, Papua, hampir sama, karena ada tanah ulayat. Untuk itu, calon investor harus melakukan sistem sewa, lalu memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat setempat pada proyek investasi tersebut, kemudian melakukan sistem bagi hasil. Misalnya, pada saat panen, maka sistem bagi hasilnya adalah, 70% untuk investor, dan 30% untuk masyarakat setempat,” jelas Presiden.
Ketiga, dari apa yang sudah dipaparkan Presiden Joko Widodo dalam sejumlah kesempatan bertatap muka dengan masyarakat Provinsi NTT, selama kunjungan kerja kali ini, nampak jelas betapa Presiden merupakan sosok yang sangat memahami persoalan wilayah, sekaligus tahu bagaimana cara untuk menuntaskan atau mencari solusinya. Misalnya, pada saat bertemu dengan sejumlah Pemred, ketika meresmikan Bendungan Rotiklot, pada waktu memberi sambutan perayaan Natal Bersama Nasional, Presiden Joko Widodo dengan tegas menyebut AIR, sebagai salah satu kunci persoalan yang dibutuhkan oleh NTT.
Tidak hanya tahu bahwa pengadaan air teramat berarti di provinsi ini, Presiden Joko Widodo pun memahami bagaimana cara mengatasinya. Tidak salah, kalau Bendungan Rotiklot adalah bendungan kedua dari tujuh bendungan yang sudah direncanakan untuk dibangun di NTT.
Nah, ternyata memang, mengikuti kunjungan kerja Presiden Joko Widodo, semakin menambah keyakinan bahwa, arah kemajuan pembangunan bangsa ini sudah benar apabila diwujudkan oleh pemimpin visioner dan kredibel yang sanggup dipercaya. Karena rakyat, sampai kapan pun juga pasti menantikan wujud nyata hasil-hasil kemajuan pembangunan itu.
o o o O o o o
(Foto #1 Presiden Joko Widodo ketika berada di Pos Lintas Batas Negara di Motaain, NTT. Area di belakang Presiden sudah merupakan teritorial Timor Leste. || Foto: Gapey Sandy/Kompasiana)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H