Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Inovasi Jembatan Ortotropik, Lebih Cepat dan Lebih Ringan

24 Desember 2015   22:21 Diperbarui: 24 Desember 2015   22:21 2389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bayangkan, kalau suatu saat, Jembatan Baleendah yang melintasi Sungai Citarum di jalur Bandung – Bojongsoang – Baleendah, Kabupaten Bandung mengalami kerusakan dan harus segera diperbaiki. Dampaknya, arus lalu lintas yang biasa memadati jembatan tersebut pasti akan menumpuk dan mengakibatkan antrian panjang kendaraan. Kemacetan arus lalu lintas yang mengular itu tentu menimbulkan banyak kerugian, tidak saja pemborosan bahan bakar minyak, tapi juga efektivitas waktu masyarakat akan banyak yang terbuang.

Kini, masyarakat patut bersyukur, seandainya pun Jembatan Baleendah mengalami kerusakan, dan harus cepat-cepat dilakukan perbaikan, maka prosesnya tidak akan terlalu mengganggu, apalagi sampai menimbulkan kemacetan arus lalu lintas. Lho, bagaimana bisa? Ya, ini dimungkinkan lantaran Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KemenPUPR) telah menemukan solusi jitu manakala Jembatan Baleendah dalam kondisi harus segera diperbaiki.

Solusi yang dimaksud adalah, melalui penerapan inovasi teknologi yang aplikatif yaitu Jembatan Ortotropik. Inilah teknologi membanggakan yang pernah terpilih sebagai salah satu dari 19 Karya Unggulan Iptek Anak Bangsa Tahun 2014.

Istilah Ortotropik (Orthotrophic) berasal dari kata Orthogonal Anisotropic. Adapun Jembatan Ortotropik, sebenarnya nama populer dari produk Pelat Segmental Ortotropik. Pelat Ortotropik, menurut situs pusjatan.pu.go.id, berarti pelat yang mempunyai kekakuan yang tidak sama dalam dua arah yang saling tegak lurus. Hal ini disebabkan adanya penempatan suatu konstruksi pengaku yang dikenal dengan sebutan ‘rib’ hanya pada satu arah sebagaimana yang direncanakan. Konstruksi pengaku tersebut adalah berupa suatu konstruksi balok dalam berbagai macam profil, baik berupa pelat tegak, pelat ‘T’ terbalik, maupun pelat berbentuk ‘U’.

Di Indonesia, teknologi ini pertama kali diluncurkan sekaligus diujicobakan di Jembatan Baleendah pada 2009 lalu. Berlanjut pada 2013, teknologi Jembatan Ortotropik dilakukan pada jembatan yang membentang di atas Sungai Cisadane, Leuwi Ranji, Gunung Sindur, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor.

Inovasi Membanggakan Karya Anak Bangsa

Bangga sekali rasanya, manakala mengetahui, bahwa mereka yang meneliti dan bekerja dibalik suksesnya teknologi Jembatan Ortotropik adalah anak-anak bangsa dan sekaligus ilmuwan Bidang Jembatan pada Puslitbang Jalan dan Jembatan, Balitbang, KemenPUPR. Bertindak selaku inovator adalah Achmad Riza Chairulloh, ST (Perekayasa Pertama), Gatot Sukmara, ST (Peneliti Pertama) dan Redrik Irawan, ST MT (Peneliti Muda).

Dalam wawancara dengan penulis pada 23 Desember 2015 kemarin, Redrik Irawan menjelaskan, Jembatan Ortotropik dikembangkan untuk menjawab tantangan bahwa perbaikan jembatan, tidak perlu memakan waktu lama. Juga, tidak harus menimbulkan kemacetan arus lalu lintas sehingga hak-hak masyarakat sebagai pengguna jalan justru malah terabaikan.

(Pelat Ortotropik Baja Segmental untuk Lantai Jembatan Rangka Baja. || Sumber: Katalog Produk Litbang Jalan dan Jembatan)

“Jembatan Ortotropik sengaja dikembangkan untuk memenuhi tuntutan, agar setiap kali ada perbaikan kerusakan jembatan dapat cepat terselesaikan, dan tidak mengganggu arus lalu lintas yang padat. Setidaknya pengerjaan penyelesaian kerusakan Jembatan Ortotropik dapat lebih cepat dibandingkan penyelesaian kerusakan Jembatan Beton Cor. Kalau Jembatan Beton Cor sudah barang tentu harus melakukan setting lebih dahulu, dan pengerasan yang memakan waktu. Selain itu, jembatan yang menggunakan teknologi beton pracetak, dipastikan membuat jembatan semakin lebih berat,” tuturnya.

Ide awal inovasi Jembatan Ortotropik berasal dari Subdirektorat Teknik Jembatan, Direktorat Bina Teknik Marga, Direktorat Jenderal Bina Marga, Departemen Pekerjaan Umum, dan dari beberapa paten sistem lantai jembatan, serta sistem lantai jembatan bentang panjang dunia dengan bentang lebih dari 1.000 meter.

“Sebenarnya, Jembatan Ortotropik sudah diterapkan pada jembatan bentang panjang di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa. Itulah yang coba kita adopsi konsep strukturnya untuk jembatan pendek dan menengah di Indonesia. Karena lebih cepat untuk fabrikasi dan intinya lebih ringan terhadap beban jembatan. Itulah alasan mengapa kita pilih dengan menggunakan baja,” terang Redrik.

Sebenarnya, bagaimana teknis proses perbaikan jembatan yang dibangun dengan inovasi Jembatan Ortotropik sehingga tiada mengganggu arus lalu lintas secara total? Begini. Pada saat terjadi proses perbaikan pada bagian lantai Jembatan Ortotropik yang rusak, maka pengelola akan segera menutup setengah lajur lalu lintas. Ini dilakukan agar para pekerja dapat leluasa melakukan pembongkaran dan perbaikan lantai jembatan. Ketika perbaikan selesai dilakukan, maka dilanjutkan dengan sisi jembatan berikutnya. Lagi-lagi, arus lalu lintas tetap dapat melintas dengan menggunakan satu lajur.

Dalam hal pemasangan, Jembatan Ortotropik pun dapat dengan cepat diselesaikan. Sama seperti ketika berlangsung proses perbaikan jembatan, pengelola harus lebih dahulu melakukan penutupan setengah lajur lalu lintas, untuk memberi ruang para pekerja melakukan pembongkaran lantai jembatan. Kemudian, pelat baja yang sudah dipesan dari pabrik segera dipasang. Pengerjaannya dimulai dari tengah untuk kemudian mengarah ke masing-masing ujung jembatan.

“Kalau melakukan suatu pekerjaan di atas jembatan, mulailah selalu dari tengah mengarah ke ujung kedua sisinya. Selama kita memasang dari arah tengah menuju ujung jembatan, lakukan juga monitoring gerakan. Karena, perubahan dari beban Jembatan Beton Cor mengakibatkan beban jembatan yang tadinya berat menjadi lebih ringan. Otomatis ada pergerakan jembatan, sehingga hal ini harus memperoleh fokus perhatian secara seksama,” jelasnya.

(Perencanaan Teknis Pelat Ortotropik Baja Segmental untuk Lantai Jembatan Rangka Baja. || Sumber: Katalog Produk Litbang Jalan dan Jembatan)

Redrik melanjutkan, karena bentuk segmen bajanya mirip seperti ubin, maka pastikan, jangan sampai ketika melakukan pemasangan dari tengah menuju kedua sisinya, terdapat kelebihan atau kekurangan baja.

“Kalau ini sudah dilaksanakan, maka jangan sepelekan untuk melakukan pembersihan, Tujuannya, agar jangan sampai pelat baja dalamkondisi kotor. Lanjutkan dengan pemberian epoksi perekat, untuk kemudian ditaburi agregat satu lapis, untuk memperoleh tingkat permukaan yang kasar. Kekasaran permukaan ini untuk menjaga aspal, agar tidak mudah terkelupas. Atau dengan kata lain, permukaan lapisan agrerat yang kasar menjadi penting, supaya aspal tidak bergerak dan menimbulkan keretakan,” urai alumnus Universitas Parahyangan, Bandung jurusan Teknik Sipil ini.

Lebih Cepat, Lebih Ringan    

Gambaran proses perbaikan maupun pemasangan Jembatan Ortotopik menyimpulkan, bahwa teknologi ini memang memiliki keunggulan dari sisi pengerjaan yang lebih cepat dan hasilnya pun lebih ringan. Ya jelas dong, karena Jembatan Beton Cor pasti akan membutuhkan waktu lama dalam proses pengerjaan, sekaligus bebannya yang pasti lebih berat. Beton, ‘gitu loh.

“Pengerjaan perbaikan kerusakan jembatan yang mempergunakan teknologi ortotropik akan menjadi lebih cepat. Misalnya, kalau untuk jembatan beton harus mengeras hingga maksimal 28 hari. Tapi kalau jembatan baja ortotropik bisa langsung pasang, sesuai cadangan baja yang dimiliki pabrikan. Kami memperkirakan, proses perbaikan kerusakan pada Jembatan Ortotropik dapat satu bulan lebih cepat kalau dibandingkan dengan proses perbaikan kerusakan pada Jembatan Beton Cor. Bajanya sendiri bisa didatangkan dari pabrik mana saja, asalkan memenuhi spesifikasi, misalnya uji kekuatan tarik ultimate-nya mencapai 490 MPa (MegaPascal),” terangnya kepada penulis.

Keunggulan lain, imbuh Redrik, bila dibandingkan dengan Jembatan Beton Cor yang memiliki panjang dan bentang yang ukurannya sama, maka Jembatan Ortotropik memiliki beban jembatan yang 40 - 50% lebih ringan. “Bahkan, prosentase tersebut dapat lebih diperbesar kalau dilakukan rekayasa struktur yang mampu membuat Jembatan Ortotropik dapat lebih ringan lagi,’ tukasnya.

Bagaimana dari sisi durabilitas atau kekuatannya? Dijelaskan Redrik, dari sisi durabilitas, Jembatan Ortotropik malah dapat menyaingi performa Jembatan Beton Cor.

“Hanya saja, pada baja terdapat resiko korosi (pengaratan). Tapi, proses korosi dapat dihindari selama pengelola dapat melakukan proteksi terhadap baja. Misalnya, menjaga agar lingkungan di sekitar Jembatan Ortotropik tidak malah justru memicu korotif. Selain itu, perlakuan pelapisan cat pada baja juga harus benar dilakukan, atau sesuai dengan standar yang berlaku di dunia internasional. Perlakuan proses pelapisan cat pada baja memiliki standar yang tinggi. Apalagi, proses korosi yang terjadi pada kondisi alam Indonesia jelas berbeda dengan yang terjadi di luar negeri. Adopsi aturan luar negeri terhadap pelapisan cat baja ini yang belum dimodifikasi, sesuai dengan situasi dan kondisi alam Indonesia. Karena, untuk mengadopsi aturan dari luar negeri, kemudian memodifikasinya sesuai kondisi di Indonesia, sangat membutuhkan waktu dan penelitian panjang,” urainya.

(Pelaksanaan Pelat Ortotropik Baja Segmental untuk Lantai Jembatan Rangka Baja. || Sumber: Katalog Produk Litbang Jalan dan Jembatan)

Sejak produk Pelat Segmental Ortotropik diterapkan di Jembatan Baleendah, Bojongsoang, Bandung, pada enam tahun lalu, jembatan tersebut sengaja diujicobakan dengan segenap perlakuan. Misalnya, apabila Jembatan Ortotropik ini dibiarkan tanpa perawatan maksimal, akan seperti apa hasilnya di kemudian hari. Dampak dari berbagai perlakuan ini menjadi catatan penting, sekaligus memantau kondisi fisik dan nonfisik jembatan. Berbagai catatan ini menjadi penting dan dapat menjadi acuan, kelak ketika misalnya, Jembatan Ortotropik akan diterapkan di kawasan Pantai Utara Jawa (Pantura) yang memiliki arus lalu lintas ekstrim dengan banyaknya kendaraan bertonase berat.

“Sejauh ini, hasil ujicoba Jembatan Ortotropik di Bandung menghasilkan sebuah catatan. Begini. Kalau orang awam melihatnya, seperti ada retak dan mulai mengkhawatirkan. Tapi bagi kami, keretakan itu tidak mengkhawatirkan, karena kami punya instrumen-instrumen yang dapat menguji apakah kekuatan jembatan itu masih cukup baik atau tidak. Selama ini, semua respon kekuatan struktur jembatan masih bagus, hanya saja performa dan penampakan secara fisik yang terdapat keretakan itu jadi mengganggu. Secara teknis, dengan keretakan itu memang membuat banyak perkiraan, seperti misalnya, apakah terjadi gerakan-gerakan yang aneh pada sisi bawah jembatan? Untuk itu, kami sekaligus melakukan pemantauan dari sektor-sektor yang dipasang, atau melakukan uji kekuatan jembatan lagi, dan pengecekan lainnya. Tapi sejauh ini, pantauan menunjukkan bahwa Jembatan Baleendah tersebut masih dalam kondisi baik,” yakin Redrik.

Tak pernah berhenti, katanya lagi, sejak Jembatan Ortotropik diterapkan pada 2009, KemenPUPR terus melakukan pengujian-pengujian skala kecil untuk mensimulasikan secara dinamis beban riil yang juga beban bergerak di lapangan. Beban yang ada di atas Jembatan Ortotropik bukan beban diam, melainkan beban bergerak dalam bentuk arus lalu lintas yang padat. Di laboratorium, para peneliti bekerja mensimulasikan beban pada struktur jembatan, mulai dari skala kecil, menengah, hingga ekstrim yang mendekati bahkan melebihi kondisi di lapangan. Dari rangkaian pengujian tersebut, indikasi menunjukkan bahwa, keretakan yang terjadi di Jembatan Baleendah terjadi pada bagian sambungan. Tepatnya, sambungan pelat baja terhadap struktur jembatan yang ada di lapangan. Dari sini, perhatian semakin difokuskan untuk menemukan jawaban tentang bagaimana struktur sambungan yang paling pas.

Jembatan rangka baja seperti ortotropik, menurut Redrik, memang cukup fleksibel. Artinya, pergerakan yang terjadi cukup tinggi, dan bergeraknya pun fleksibel. Inilah yang membedakan dengan Jembatan Beton Cor yang kaku. “Boleh dibilang, pergerakan yang terjadi pada Jembatan Ortotropik itu lebih ektrim bila dibandingkan dengan jembatan-jembatan yang kaku, seperti beton cor. Karena itu, permasalahan pada beberapa jembatan yang memiliki rangka baja selalu terjadi pada bagian lantai, misalnya terlihat retak. Padahal, itu karena fleksibilitas gerakannya yang memang lebih tinggi,” jelasnya.

Solusi Asa Jembatan di Indonesia

Tak dapat dipungkiri, Jembatan Ortotropik dapat menjadi harapan atas solusi terbaik bagi kebutuhan jembatan di Indonesia. Karena memang, seperti dimuat pusjatan.pu.go.id, jembatan ini memiliki keunggulan yang tak dapat disangkal lagi. Mulai dari:

  • Dapat diterapkan untuk penggantian lantai semua jembatan rangka baja dengan penyesuaian panjang pelat.
  • Mempunyai berat yang lebih ringan hampir 50% dari beton.
  • Pemasangan lebih cepat dibanding dengan menggunakan beton cor yang membutuhkan waktu 28 hari.
  • Menghemat cukup banyak biaya karena pemasangan dapat dilakukan bertahap, sehingga tidak perlu menutup lalu lintas dan membuat jembatan sementara.

Meskipun, terdapat juga sejumlah kelemahan yang kiranya dapat terus disempurnakan seiring hasil ujicoba penerapan produk Pelat Segmental Ortotropik ini. Misalnya:

  • Kondisi jembatan yang eksisting dengan lawan lendut jembatan yang tidak sama tingkat kehalusan alinyemen vertikalnya tentu saja akan menyebabkan perlu dilakukan perhitungan yang teliti untuk menyesuaikan lokasi pelat dan lubang baut yang terikat ke bagian gelagar melintang.
  • Adanya indikasi retak yang mungkin terjadi pada semua lokasi akibat kelelahan bahan las dan komponen baut.
  • Belum selesainya pengkajian bagian perkerasan jembatan, sehingga ada kemungkinan kinerja kelekatan antara baja dengan perkerasan belum seperti yang ditunjukkan pada jembatan-jembatan di negara maju.

(Redrik Irawan ketika menerima penghargaan terkait solusi dan inovasi produk Pelat Ortotropik Baja Segmental. || Sumber: pusjatan.pu.go.id)

Redrik tak menampik bila disebutkan Jembatan Ortotropik dapat menjadi harapan menggembirakan bagi pembangunan jembatan-jembatan di Indonesia. Asalkan, dengan beberapa pertimbangan, misalnya pertama, Jembatan Ortotropik itu nantinya tidak akan terlalu mengalami pergerakan yang esktrim. Atau, jangan sampai kondisi jembatannya sudah melengkung, melintir dan sebagainya, yang berakibat pada pemasangan rangka baja dan lantai baja yang sulit. Jadi, kalau kondisi di area jembatan sangat ekstrim pergerakannya, tidak akan disarankan mempergunakan teknologi Jembatan Ortotropik.

Kedua, bahan baku harus tersedia apalagi Indonesia bukan negara produsen baja. Hal ini penting karena akan berimbas pada biaya yang harus dikeluarkan untuk membuat Jembatan Ortotropik, sehingga perlu kajian ekonomis.

Ketiga, sumber daya manusia yang memang sudah semakin baik.

Keempat, kendala pemasangan yang pada umumnya, jembatan-jembatan di Indonesia seringkali mengalami beban yang berat, kondisi lingkungan yang ekstrim sehingga seringkali jembatannya sendiri sudah mengalami perubahan bentuk. Akibatnya, menimbulkan kesulitan pada saat pemasangan.

“Beban bergerak yang melintas di atas jembatan ortotropik memang menjadi salah satu pertimbangan prioritas untuk dipikirkan secara mendalam sebelum menerapkannya. Karena, selama beban bergerak pada jembatan tidak dapat teridentifikasi secara tepat, maka seluruh desain dari Jembatan Ortotropik malah akan tidak menjadi andal,” jelasnya.

(Konstruksi pengaku pelat berbentuk 'U' pada Jembatan Ortotropik. || Sumber: fadlyfauzie.wordpress.com)

Seiring proses paten yang sedang berlangsung dengan Nomor: P00201304533 tanggal 12 November 2013, kedepannya, Jembatan Ortotropik akan terus dikembangkan dan disempurnakan. Apalagi, Pusjatan KemenPUPR terus melakukan sosialisasi terhadap teknologi Jembatan Ortotropik ini. “Akan tetapi, karena dari sisi harga, Jembatan Ortotropik ini sedikit lebih mahal bila dibandingkan dengan membangun jalan, maka prioritasnya adalah lebih dulu membangun jalan daripada jembatannya. Jadi, selama komitmen dari pengelola jalan akan memprioritaskan jembatan, maka pasti inovasi-inovasi pada bidang penanganan jembatan juga pasti akan berkembang,” optimis Redrik yang pernah memperoleh penghargaan langsung dari Wakil Presiden RI dan Menteri Riset dan Teknologi pada acara puncak Hari Teknologi Nasional (Harteknas) ke-19, pada Agustus 2014 kemarin.

Selain itu, lanjut Redrik, pihaknya akan terus melakukan optimasi berat Jembatan Ortotropik. Ketika beratnya turun, maka itu berarti, harga satu panel atau harga konstruksi akan turun juga secara signifikan. Karena, harga jual baja dinilai berdasarkan berat per kilogramnya. Artinya, jika ada optimasi beban maka akan muncul juga optimasi biaya.

“Hal lain, kami akan terus mengkaji dan memperbaiki sistem sambungan yang saat ini menimbulkan ketidaknyamanan jembatan-jembatan yang sudah menerapkan teknologi dari produk Pelat Segmental Ortotropik ini,” jelasnya.

Redrik menambahkan, pihaknya juga akan melakukan perbaikan pada sistem pengaspalan. Sebagai contoh, di luar negeri, kalau panjang jembatannya sudah mencapai lebih dari 1.000 meter, maka biasanya mempergunakan teknologi Jembatan Ortotropik. Tapi, penggunaannya sedikit berbeda, kalau dibandingkan dengan sistem yang dipergunakan di Indonesia.

“Perbedaan paling mencolok misalnya, Jembatan Ortotropik di luar negeri mempergunakan sistem las untuk menghubungkan satu bagian jembatan dengan bagian lainnya. Tapi, kalau di Indonesia, karena memang tujuannya adalah untuk dapat memperbaiki dan mengganti kerusakan Jembatan Ortotropik tanpa harus menutup arus lalu-lintas, maka kita pergunakan sistem mur dan baut. Bukan las. Ini sekaligus menjadi keunggulan sistem teknologi Jembatan Ortotropik di Indonesia dibandingkan dengan yang di luar negeri,” tuturnya.

(Reinforced concrete and orthotropic plate decks. || Sumber: fadlyfauzie.wordpress.com)

(Sistem Pengaku pada produk Pelat Segmental Ortotropik. || Sumber: fadlyfauzie.wordpress.com)

Akhirnya, sebagai penutup, penulis ingin mengajak kilas balik ke tahun 2013 lalu, dimana KemenPUPR berhasil membangun Jembatan Tumbang Nusa, yang ada di Desa Tumbang Nusa, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Jembatan ini dibangun di atas rawa, dan hasilnya begitu terasa untuk kemaslahatan masyarakat. Karena sebelum dilaksanakan pembangunan Jembatan Tumbang Nusa, ketika air Sungai Kahayan meluap dan mengakibatkan banjir, maka genangan air itu akan bertahan minimal selama satu bulan. Padahal, banjir itu bisa terjadi sebanyak dua sampai tiga kali dalam satu tahun. Nah, bisa dibayangkan bagaimana manfaat kehadiran Jembatan Tumbang Nusa sepanjang 10 kilometer yang dibangun di atas lahan gambut tersebut. Aktivitas masyarakat dapat terus berlangsung normal meskipun banjir menggenang, dan terpenting lagi pasokan pangan ke Palangka Raya menjadi aman dan tidak terputus.

Begitulah urgensi sebuah jembatan, dapat memberi solusi dan inovasi yang aplikatif bagi masyarakat. Begitu juga dengan teknologi jembatannya itu sendiri, dalam konteks ini Jembatan Ortotropik yang terbukti andal dalam menjawab berbagai tuntutan dan harapan masyarakat.

Solusi dan inovasi tiada henti dari KemenPUPR demi kemaslahatan bangsa!

 

o o O o o

 

(Foto #1: Teknologi Pelat Ortotropik Baja Segmental untuk Lantai Jembatan Rangka Baja. || Foto: pusjatan.pu.go.id)

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun