Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) tinggal menghitung hari. Siap atau enggak siap, suka apa enggak suka, empat hal penting ketika MEA mulai berlaku pasti akan terjadi. “Pertama, ASEAN akan menjadi kawasan pasar dan produk tunggal. Kedua, pembangunan ekonomi bersama. Ketiga, pemerataan ekonomi yang terfokus pada sektor Usaha Kecil Menengah (UKM). Dan keempat, integrasi perekonomian global atau penguatan daya saing,” ujar Apriadi, Marketing Manager PT Inapen ketika berbicara pada seminar bertajuk Tantangan dan Peluang Masyarakat Ekonomi ASEAN, pada Kamis, 17 Desember kemarin di auditorium IFA Dahsyat, Jalan Raya Viktor, Serpong - Tangerang Selatan (Tangsel).
Dengan terciptanya kesatuan pasar dan basis produksi, jelas Apriadi, membuat arus barang, jasa, investasi, modal dalam jumlah besar, dan skilled labour menjadi tidak ada hambatan dari satu negara ke negara lain di kawasan Asia Tenggara.
“Sedangkan dengan pembangunan ekonomi bersama, dapat tercipta iklim persaingan yang adil, perlindungan berupa sistem jaringan dari agen-agen perlindungan konsumen, mencegah pelanggaran hak cipta, menciptakan jaringan transportasi yang efisien, aman dan terintegrasi, menghilangkan sistem double taxation, meningkatkan perdagangan dengan media elektronik berbasis online,” tutur Apriadi.
Adapun terkait MEA yang akan menciptakan pemerataan ekonomi dengan fokus pada sektor UKM, Apriadi menegaskan, untuk jangan menunda kemampuan daya saing dan dinamisme UKM. “Tingkatkan dengan memfasilitasi akses mereka terhadap informasi terkini, kondisi pasar, pengembangan SDM terutama kemampuan, keuangan dan teknologi,” imbuh Apriadi.
PT Inapen, yang berkantor di wilayah Tangsel, memiliki visi untuk menjadi provider virtual company terkemuka dalam pelatihan bisnis manajemen dan kewirausahaan, memenuhi kebutuhan aplikasi bisnis dan software yang mudah, dapat diandalkan dengan harga terjangkau serta menjadi event organiser (EO) pameran pendidikan dan pameran bursa kerja tingkat dunia. Produk yang ditawarkan berupa Indonesia Business Simulation, software dan aplikasi bisnis, juga jasa EO.
Tangsel Belum Siap MEA
Pembicara lain, Siswanto ST MM selaku Kepala Seksi Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) Dinas Sosial, Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Tangsel mengatakan, sebenarnya sejak 2006 lalu, Pemerintah sudah siap menghadapi “MEA”. Hanya saja, waktu itu istilah yang dipergunakan adalah era globalisasi.
“Globalisasi menciptakan berbagai komunitas pemangku kepentingan yang mengarah pada aktivitas komunikasi, kolaborasi, dan kompetensi. Pada 2010 misalnya, sudah ada C-AFTA yang mengaitkan China dengan ASEAN. Lalu, pada 2011 ada I-AFTA yang memadukan India dengan ASEAN. Kemudian pada 2015 ada AEC yang mewujudkan ASEAN Economic Community. Sedangkan kelak pada 2020, berlaku WTO yang memadukan lebih dari 130 negara di dunia,” ujar Siswanto.
Terkait pelaksanaan MEA, lanjut Siswanto, tenaga-tenaga kerja dari negara ASEAN di luar Indonesia, mereka sudah mengantongi sertifikasi. Sertifikasi ini bukan berarti bahwa setiap tenaga kerja harus mampu melakukan seluruh jenis pekerjaan. Melainkan, tenaga kerja bersertifikasi tersebut memiliki kompetensi pekerjaan tertentu, atau kompetensi yang keseluruhannya.
“Sebenarnya, hal ini sudah diantisipasi Pemerintah melalui Diknas dan Depnaker dengan membentuk Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) pada 2006. Dibawah BNSP ada lembaga-lembaga sertifikasi yang membidangi semua profesi yang ada di Indonesia. Sampai saat ini ada sekitar 130-an Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP), termasuk misalnya LSP Jasa Spa, LSP Telematika dan masih banyak lagi. Terkait dengan itu semua, masalah kesiapan MEA kemudian ada pada masing-masing daerah itu sendiri,” ujarnya.
Bagaimana dengan kesiapan Tangsel menghadapi MEA?
Dalam wawancara dengan penulis, Siswanto mengakui, terkait pelaksanaan MEA, tugas dari Disnaker Tangsel belum dilaksanakan secara maksimal, karena strukturnya yang masih minim. Sehingga, cakupan kerjanya belum mencapai hal-hal yang terlalu kecil.
“Gambarannya begini, di Disnaker Tangsel itu baru ada dua bidang, Pengawasan dan Penempatan. Padahal Bidang Penempatan itu kalau dipecah lagi bisa meliputi Bidang Pelatihan dan Produktivitas, Bidang Penempatan dan Perluasan Lapangan Kerja, dan bidang-bidang yang seperti ini belum kita sentuh,” prihatinnya.
Siswanto mengatakan, untuk mengantisipasi MEA, mau tidak mau seluruh pihak harus berjuang membekali para tenaga kerja dengan peningkatan kualitas lebih baik lagi melalui sertifikasi. Untuk skala nasional ada program yang namanya three in one yaitu Pelatihan, Mensertifikasi, dan Menempatkan.
“Program three ini one ini komprehensif untuk menjawab bekal kualitas yang lebih baik kepada tenaga kerja. Dengan adanya MEA, kita diberikan kesempatan untuk datang ke tempat orang lain, begitu pun sebaliknya. Sementara, tenaga kerja dari negara-negara tetangga se-ASEAN semua sudah tersertifikasi, punya sertifikat kompetensi. Di Filipina saja, pembantu rumah tangga sudah mengantongi sertifikasi. Lha di Indonesia, justru pembantu rumah tangga dianggap tenaga kerja informal. Bagaimana ini? Makanya, kini sedang diupayakan ada undang-undang untuk mewajibkan sertifikasi bahkan bagi tenaga kerja yang akan menjadi pembantu rumah tangga,” terang Siswanto yang juga menjadi staf pengajar pada Politeknik Swadharma di Pamulang, jurusan Teknik Industri dan Teknik Elektro.
Masalah lain terkait sertifikasi, menurut Siswanto adalah, negara-negara tetangga se-ASEAN itu memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada para tenaga kerjanya untuk memiliki sertifikasi secara gratis. “Sementara di Indonesia? Suruh bayar. Makanya, Pemerintah kita harus memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada LSP-LSP yang ada untuk melakukan pemberian sertifikasi gratis, kalau bisa, supaya tenaga kerja kita lebih siap,” terangnya.
Menurut data, ada lebih dari 12 juta angkatan tenaga kerja di Indonesia. Tetapi, yang tersertifikasi baru 1,2 juta tenaga kerja. “Nah, miris bukan? Hal ini dikarenakan untuk memperoleh sertifikasi harus bayar. Lha mana mau orang kalau disuruh membayar untuk memperoleh sertifikasi, toh belum tentu juga sertifikasi itu bakal dipergunakan,” keluh Siswanto yang mengenakan batik PNS biru.
Kalau seorang calon pekerja memiliki sertifikasi, tukas Siswanto, akan lebih mudah bagi perusahaan pemberi kerja untuk memberikan posisi kerja berikut gajinya. Sementara belakangan ini, antara pengusaha dan Pemerintah saja masih terus meributkan soal UMK, bukan masalah substansial sertifikasi. Memang tak bisa dipungkiri, ada beberapa perusahaan yang menerapkan kepemilikan sertifikasi bagi para pekerjanya, tapi itu belum semua. Padahal, MEA sudah ada didepan mata.
“Sebenarnya, tenaga kerja Indonesia lebih unggul bila dibandingkan dengan sesama tenaga kerja dari negara-negara se-ASEAN. Tapi sayangnya, tenaga kerja kita yang lebih unggul ini tidak mengantongi sertifikasi kompetensi kerja sebagai legalitas formal,” jelasnya.
Data menunjukkan, pada 2015, angka pengangguran di Tangsel mencapai 47 ribu orang. Turun sedikit, bila dibandingkan dengan angka pengangguran pada 2014, yang menurut BPS Kota Tangsel, mencapai 48 ribu orang. “Padahal faktanya, lowongan kerja itu banyak, utamanya melalui serangkaian job fair yang sudah dilaksanakan, dengan sekitar 24 ribu lowongan kerja. Tapi sayang, itu pun tidak semua bisa diisi, karena masalahnya tidak ada kesesuaian dengan kompetensi tenaga kerja yang dibutuhkan. Ini juga jadi masalah bukan? Bagaimana Pemerintah bisa menjembatani agar lowongan kerja yang ada bisa diisi dengan kompetensi yang dimiliki oleh para pencari kerja,” urainya.
Sebenarnya, warga Tangsel yang mencari kerja di wilayah kotanya sendiri, memiliki keunggulan harus diprioritaskan, bila dibandingkan dengan pencari kerja asal luar Tangsel, meskipun sama-sama memiliki kompetensi yang sesuai.
“Kalau di Tangsel, kita sudah mempunyai Perda No.3 Tahun 2011 tentang Pelayanan Ketenagakerjaan, yang diantara pasalnya ada yang intinya menyatakan bahwa, apabila ada dua tenaga kerja memiliki kompetensi yang sesuai untuk bekerja, maka harus memprioritaskan tenaga kerja yang berdomisili di Tangsel terlebih dahulu. Dengan catatan, kompetensi antar keduanya sesuai. Ini juga merupakan upaya untuk membatasi tenaga kerja dari luar Tangsel masuk dan bekerja di sini, padahal tenaga kerja dari Tangsel sendiri sebenarnya memiliki kompetensi yang sama. Hal seperti ini, di era MEA diperbolehkan. Di tingkat pusat, kebijakan ini bergulir dalam bentuk kewajiban mahir berbahasa Indonesia bagi para tenaga kerja asal luar negeri yang akan bekerja di Indonesia. Wajar, kalau mereka mau bekerja di sini, ya harus bisa berbahasa Indonesia,” kata Siswanto.
Di Tangsel, imbuhnya lagi, ada sekitar 2.700 perusahaan skala kecil, menengah sampai besar. Setiap hari jumlahnya pun terus bertambah. Dan dari perusahaan sebanyak itu, kenyataannya hanya diawasi oleh tujuh pengawas dari Disnaker Tangsel. “Bayangkan, kalaupun tujuh orang ini bolak-balik kerja dalam satu hari saja, pasti tidak semuanya dapat terawasi. Di Indonesia, untuk pengawas umum idealnya kita punya 12 ribu orang, tapi nyatanya kita hanya punya sekitar 3000 pengawas umum saja,” prihatin Siswanto seraya menyebutkan bahwa tingkat perkembangan upah minimum di Tangsel yang pada 2015 mencapai Rp 2,7 juta per bulan, menjadi Rp 3,1 juta per bulan pada 2016.
Meski mengakui bahwa Tangsel belum sepenuhnya siap menghadapi MEA, tetap Siswanto menguraikan empat strategi untuk makin menambah kesiapan. Yaitu, pertama, menghimpun lembaga pelatihan keterampilan swasta yang ada di Tangsel dalam satu wadah atau asosiasi. Kedua, bekerjasama dengan LSP untuk semua profesi tenaga kerja. Ketiga, memperbanyak Tempat Uji Kompetensi (TUK) di Tangsel. Keempat, membentuk Lembaga Koordinasi Kompetensi Daerah untuk optimalisasi penempatan tenaga kerja. Kelima, membekali calon tenaga kerja Indonesia dengan bahasa asing yang sesuai tujuan.
“Dengan tenaga kerja yang kompeten dan bersertifikasi, maka tercipta produktivitas kerja, yang dampaknya adalah pada kesejahteraan karyawan, sekaligus menciptakan hubungan industrial yang harmonis. Ujungnya, membawa keberkahan kepada Kota Tangsel itu sendiri yang mandiri, damai dan asri, atau Madani,” pungkas Siswanto.
o o o O o o o
(Foto #1 : Tabel Jumlah Pengangguran di Tangsel pada 2014 dan 2015. || Sumber: Makalah Siswanto ST, MM.)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H