Ketika tengah melakukan lawatan kenegaraan ke Amerika Serikat, Presiden RI Joko Widodo sempat ditanya oleh anggota parlemen dari satu negara besar di dunia. Pertanyaan yang sederhana sebenarnya. Anggota parlemen ini bertanya: “Bagaimana keseriusan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia?”
Kisah itu diceritakan kembali oleh Jokowi, ketika menerima kehadiran 100 Kompasianer untuk jamuan makan siang di Istana Negara, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, pada Sabtu, 12 Desember 2015. Kunjungan ini terkait dengan dibukanya secara resmi gelaran hajat tahunan Kompasiana yakni #Kompasianival2015 yang mengusung tema #IndonesiaJuara. Saya, yang duduk di meja bundar dekat lukisan Bung Karno bersama sejumlah Kompasianer seperti Ben Baharuddin Nur, Agung Han, Muthiah Alhasany dan Thamrin Sonata, termasuk yang menyimak penuturan tersebut secara langsung.
“Mendengar pertanyaan anggota parlemen ketika sama-sama sedang berada di Amerika Serikat seperti itu, darah saya sempat naik sedikit,” ungkap Presiden Jokowi sembari memberi simbol meninggikan sedikit tangannya ke atas telinga kanan.
Meski mengaku geram menyimak pertanyaan anggota parlemen yang bernada melecehkan itu, Presiden Jokowi tetap meluncurkan jawaban. Bukan secara diplomatis apalagi menggunakan kalimat bersayap. Melainkan langsung tepat menuju sasaran.
“Begini saya menjawabnya waktu itu. Kepada si anggota parlemen tadi saya menjelaskan, terkait keseriusan penegakan hukum di Indonesia, sudah ada sembilan menteri, 19 gubernur, dan 340 bupati dan walikota, serta dua gubernur Bank Indonesia yang dipenjara karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Nah, bagaimana dengan di Amerika Serikat sendiri? Sudah berapa menteri atau pun gubernur yang dipenjara terkait korupsi? Ternyata, si anggota parlemen tadi tidak bisa menjawab pertanyaan saya,” tutur Presiden Jokowi yang seperti biasa mengenakan kemeja putih dengan lengan panjang yang sedikit digulung.
Begitulah, Presiden Jokowi menunjukkan kepada publik, bahwa Indonesia punya kedaulatan politik dan hukumnya sendiri. Apa yang dituturkan memang terkesan serius. Presiden Jokowi sendiri mengakui suasana kaku tersebut, sehingga beberapa kali coba memancing gerrr. “Ini kenapa jadi kelihatan serius semuanya ya?” heran Presiden disambut gelak tawa Kompasianer.
Pertemuan yang akrab. Hangat. Nyaris tanpa sekat. Presiden Jokowi sendiri duduk sama-sama di meja bundar pada sisi paling sentral. Nampak duduk mengelilingi Presiden, diantaranya Kompasianer Christie Damayanti dan Tjiptadinata Effendi.
Menyimak penuturan Presiden Jokowi tentang kedaulatan politik (dan hukum) Indonesia ini, pikiran saya melayang pada sosok yang 'ada' di dekat meja bundar tempat saya duduk. Sosok Bung Karno! Meskipun terpajang dalam bentuk lukisan. Saya coba mengaitkan pernyataan Presiden Jokowi dengan apa yang pernah disampaikan Bung Karno, yaitu konsep Trisakti.
Trisakti adalah tiga konsep yang harus dimiliki Indonesia apabila ingin digjaya di percaturan dunia global. Pertama, Indonesia yang berdaulat secara politik. Kedua, Indonesia yang mandiri secara ekonomi. Dan ketiga, Indonesia yang berkepribadian secara sosial budaya.
Bagaimana dengan konsep kedua, Indonesia mandiri secara ekonomi?
Well, pandangan ini tercermin pada bagian lain dari apa yang dituturkan Presiden Jokowi. Guna mengetahui kesiapan dalam rangka menghadapi persaingan antar industri kreatif di dunia global, terutama memasuki era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), Presiden Jokowi mengaku pernah mengundang sejumlah pelaku industri kreatif.
“Saya belum lama ini mengundang hadir ke sini, sejumlah pelaku industri kreatif. Umur mereka ini, rupanya masih sangat muda-muda sekali. Masih dibawah 30 tahun. Luar biasa. Kepada mereka saya sempat bertanya: Apa kalian siap menghadapi persaingan industri kreatif dengan Negara lain yang notabene akan hadir juga di Indonesia? Mereka menjawab, bahwa mereka siap menghadapinya. Tidak hanya sekali saya mengajukan pertanyaannya. Malah sampai tiga kali saya bertanya, soal kesiapan ini. Dan lagi-lagi, jawaban mereka adalah, bahwa mereka siap untuk bersaing dan menghadapi pelaku industri kreatif dari mana saja, yang datang ke Indonesia,” urai Presiden Jokowi memicu optimisme.
Menyimak penuturan jawaban bahwa pelaku industri kreatif siap menghadapi dinamika pasar global yang terbuka seperti MEA, Presiden Jokowi mengaku berpuas hati.
“Jangan sampai kita takut untuk bersaing dengan para pelaku usaha yang akan segera masuk ke Indonesia. Asal tahu saja, negara-negara lain itu sebenarnya juga merasa ketakutan dengan Indonesia. Takut dengan serbuan pelaku usaha dari tanah air yang juga akan segera masuk ke negara-negara mereka. Lha, kalau mereka saja takut dengan kita, bangsa Indonesia, kenapa kita justru takut dan menyatakan diri tidak siap untuk menghadapi dominasi mereka,” tegas Presiden Jokowi lantang.
Lagi, terbukti Jokowi menggenggam erat (amanah) konsep kedua dari Trisakti: Indonesia mandiri secara ekonomi.
Sedangkan terkait konsep ketiga Trisakti yakni Indonesia yang berkepribadian secara sosial dan budaya, memang tidak secara eksplisit diutarakan Presiden Jokowi. Tetapi sebenarnya, sejak awal menyampaikan komentar balasan menyusul delapan Kompasianer yang bergiliran mengutarakan pernyataan maupun unek-unek, Presiden sudah mengejawantahkan konsep tersebut.
“Setelah saya amati, ternyata untuk membangun Indonesia adalah utamanya membangun sistem. Dengan sistem yang terbangun baik, maka etos kerja bangsa ini juga semakin baik. Tetapi apa boleh buat, ternyata untuk menggesa percepatan pembangunan ini tidak dapat secepat seperti yang diinginkan. Tetapi perlahan-lahan kita akan terus laksanakan upaya perbaikan menuju pembangunan Indonesia yang diinginkan. Sebelumnya, sewaktu menjawab Gubernur DKI Jakarta, saya juga melakukan hal yang sama. Sehingga saya berhasil membuat e-budgeting, e-procurement dan sebagainya. Sehingga misalnya, berapa jumlah uang masuk dan uang keluar yang diterima Pemprov DKI Jakarta, dapat online seketika itu juga dan terlihat jelas. Tapi, untuk melakukan itu semua butuh perbaikan sistem,” jelas Presiden Jokowi dengan gaya bicaranya yang tenang.
Presiden Jokowi sendiri selalu yakin bahwa untuk melakukan pembenahan yang harus dibenahi adalah sistemnya terlebih dahulu. “Barulah kemudian sumber daya manusianya untuk kemudian berujung kepada etos yang baik. Dengan kata lain, sistem akan menjadikan orang terbiasa, terbiasa akan menjadikan orang sebuah kebiasaan dan menjadikan sebuah budaya, sebuah etos,” imbuh suami dari Ibu Negara Iriana ini.
Itulah juga mengapa Presiden Jokowi kerapkali lebih memilih untuk sering turun ke lapangan. “Selain untuk mengontrol langsung pekerjaan, tetapi juga karena setiap kali ke lapangan akan mendapat informasi tambahan yang tidak mungkin diterima seandainya tidak turun ke lapangan. Dengan ke lapangan, akan memperkaya masalah dan problem sehingga membangun sistemnya akan lebih tepat,” jelas bapak dari Gibran Rakabuming Raka, Kahiyang Ayu dan Kaesang Pangarep ini.
Sementara itu, lebih menohok kepada sosial budaya masyarakat Indonesia pada masa kekinian, Presiden Jokowi mengherankan betapa pergesekan antara kubu ‘lovers’ dan ‘haters’ pasca pemilihan Presiden dan Wakil Presiden kemarin masih saja nampak terlihat ‘panas’ dan saling bertentangan.
“Padahal, saya dan Pak Prabowo sudah pernah beberapa kali melakukan pertemuan. Tidak ada masalah. Kami berdua saling berkomunikasi tanpa ada masalah masa lalu yang mengganjal. Kita saling bercanda tentang kemungkinan akan maju lagi sebagai kandidat calon presiden pada tahun 2019 mendatang. Saya dan Pak Prabowo baik-baik saja, tidak ada masalah. Lha tapi kok, ini yang ‘dibawah’, terutama di dunia maya, dan di kolom komentar media sosial, terjadi pergesekan yang tajam antara kubu lovers dan haters. Sudahlah, tidak perlu lagi ada lovers maupun haters. Cukuplah saat ini, kita bersama-sama menjadi Lovers untuk Indonesia saja,” tutur Presiden Jokowi ditimpali gemuruh tepuk tangan penuh apresiasi dari Kompasianer yang hadir.
Revolusi Mental, Konsep Trisakti dan Petuah Ibunda
Menyimak paparan Presiden Jokowi, kelihatan benar bahwa semangat yang ditampakkan adalah upaya mengubah sistem menuju perbaikan sumber daya manusia sehingga berlanjut pada berkembangnya etos yang baik. Inilah pemikiran sistematis yang tentu saja mencakup perubahan dari sisi mental manusianya. Dan memang, ketika masa pemilihan Presiden, sebelum Joko Widodo terpilih dan dilantik sebagai Presiden Indonesia ketujuh pada 20 Oktober 2014, visi-misi utama yang dicanangkan hanya dua kata saja: Revolusi Mental.
Dalam ‘Revolusi Mental’, Presiden Jokowi pernah berujar, membangun negara dan bangsa harus dimulai dengan melakukan pembangunan manusia, jangan fisiknya. Manusianya dulu, mentalnya diisi, budi pekertinya diisi, sehingga manusia punya ideologi yang jelas, pemimpinnya juga punya,” jelas Presiden yang gemar musik cadas ini.
Ya, dengan kesederhanaan dan sikap hidupnya yang ‘lurus’, Presiden Jokowi memang jadi panutan. Tak sedikit orang yang kemudian kepincut dengan pembawaan bapak tiga anak kelahiran Solo, 21 Juni 1961 yang humble ini.
Konsep Trisakti dari Bung Karno tak pelak menjadi salah satu dogma yang terus coba diwujudkannya. Selain sudah pasti, petuah sang Ibunda Sujiatmi, yang selalu ngelingi (mengingatkan) kepada sang putra: “Nek mlakumu lurus, lempeng, uripmu mesti penak. (Kalau jalanmu lurus, lempang, hidupmu pasti enak)”.
Presiden Jokowi, terima kasih jamuan makan siangnya. Terutama, menu Sop Buntut yang memang joss gandoss sekali!
Aaaahhhh … sak niki kulo malah dadi kelingan Sop Buntut’e niku, Pak Jokowi. Kepiye niki lo’?
o o o O o o o
(Foto #1 : Presiden Joko Widodo berfoto bersama Kompasianer yang hadir pada jamuan makan siang di Istana Negara, Jakarta. || Foto: setkab.co.id)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H