“Saya tidak ingin Reog Ponorogo dan Jaranan ini dimanfaatkan untuk kepentingan politik tertentu. Saya tidak mau kesenian Reog Ponorogo dan Jaranan ini dibawa ke ranah politik. Apa yang kami perjuangkan adalah murni seni dan merupakan warisan budaya bangsa. Seniman itu tidak kemana-mana, melainkan ada dimana-mana,” tegas Tri yang bertitel Sarjana Hukum dibelakang namanya.
Berikut wawancara dengan Tri Suharyanto di Café Demang, Sarinah, Thamrin, Jakarta, pada Sabtu, 7 November 2015, di sela acara #KopdarTeman Asyiiik. Kopi darat ini sekalian meresmikan berdirinya KOBEL (Komunitas Blogger Laki).
Kutipannya:
* * * * *
Penampilan Reog sesuai pakemnya, apa saja?
Sesuai pakem yang ada, biasanya mulai dengan menampilkan Kelono Suwandono. Ia adalah raja muda tampan dan gagah berani dari Kerajaan Bantarangin (Ponorogo masa lampau). Raja ini memiliki pusaka sakti berbentuk pecut (cemeti) yang dinamakan Samandiman. Dikisahkan, Kelono Suwandono jatuh cinta (kelono wuyung) dengan Putri Kerajaan Kediri yakni Dewi Songgolangit.
Raja kemudian menitahkan sang Mahapatih Pujonggo Anom (Bujang Ganong) beserta sejumlah prajurit berkuda untuk meminang. Tapi di tengah jalan, rombongan dicegat Raja Singobarong dari Kerajaan Lodoyo (Blitar), yang ternyata juga terpikat cinta kepada Dewi Songgolangit. Akibatnya, pertarungan tak dapat dihindari. Raja Singobarong begitu digjaya, kesaktiaannya tak mampu ditandingi Mahapatih Bujang Ganong.
Kalah bertarung, Bujang Ganong kemudian kembali ke kerajaan, mengadukan nasibnya kepada Raja Kelono Suwandono. Murka, sang raja kemudian berangkat untuk duel dengan Raja Singobarong. Dengan kesaktiannya yang mampu berubah wujud menjadi binatang Celeng Srenggi dan Ular Naga (versi Jaranan), serta senjata pamungkas cemeti Samandiman, Raja Kelono Suwandono akhirnya sanggup menaklukkan Raja Singobarong.
Menang duel, rombongan Raja Kelono Suwandono kemudian meminang dan memboyong Putri Dewi Songgolangit dari Kediri menuju Kerajaan Bantarangin (Ponorogo).