“Yaitu menggunakan daun pohon kapuk yang digosok-gosokkan ke lantai tanah tersebut. Sehingga karena daun pohon kapuk itu berlendir, akan membuat tanah menjadi sedikit licin dan nyaman. Kadang, kotoran kerbau juga dipergunakan untuk digosok-gosokkan pada lantai tanah tersebut. Tidak usah kotor atau jijik, karena faktanya, lantai yang diproses dengan daun kapuk dan atau kotoran kerbau itu menjadi berbeda, dengan tanah-tanah di luaran sekitarnya”.
Menurut Kasta, blandongan itu bangunan yang berdiri kokoh karena terdiri dari beberapa tiang kayu. “Tiang-tiang blandongan waktu itu sangat besar, bisa mencapai 20 x 20 cm. Umumnya mempergunakan tiang kayu pohon nangka atau kelapa, tapi yang umurnya sudah tua. Karena, kalau kayunya sudah tua, rayap-rayap juga tidak akan suka berkembang biak didalamnya. Selain itu, kayu yang sudah tua, tidak akan susah perawatannya. Cukup dipelitur saja supaya tidak kusam. Sedangkan kaso untuk gentengnya menggunakan bambu, kayu pohon enau, atau kelapa,” urainya.
Kasta sendiri memiliki blandongan di rumahnya. Meski tidak berlantai tanah lagi. Maklum, di blandongan inilah ia bersama keluarganya mengelola Rumah Makan Betawi. Makan di rumah makan yang lokasinya di seberang lapangan terbang Pondok Cabe ini auranya memang serasa berada di blandongan. Semuanya lapang, terbuka alias tanpa sekat.
“Rangka blandongan ini saya beli tahun 1998. Saya membelinya dari bongkaran rumah yang sudah tidak terpakai lagi. Ada yang saya beli di sekitaran Pondok Cabe, ada juga enam batang bagian blandongan yang saya beli di Sawangan. Waktu itu, saya belinya enggak mahal, maklum si pemiliknya memang sudah tidak mau mempergunakannya lagi,” kenang Kasta yang selalu mengusahakan untuk membeli kayu-kayu yang sudah berusia tua. “Kayu-kayu tua itu saya simpan di atas loteng, suatu saat hendak dipergunakan, ya tinggal diambil dan dipakai”.
Sebagai orang Betawi pinggiran, Kasta menyatakan setuju apabila Pemkot Tangsel mengusahakan kelestarian blandongan. “Supaya tidak punah. Ini salah satu ikon Betawi. Punya sejarah tersendiri, sehingga generasi muda harus kenal dan diperkenalkan sejak dini. Tentu, harus ada data yang valid tentang keberadaan blandongan di Tangsel, baik jumlah maupun kepemilikannya. Syukur-syukur, kalau Pemkot Tangsel benar-benar mau dan bersedia memberikan uang pemeliharaan blandongan milik warga,” usul Kasta.
Lapisi Kayu, Tiang Blandongan di Gelanggang Budaya
Asal tahu saja, gambar penampakan blandongan muncul sebagai lambang Kota Tangsel. Bordiran lambang ini terpasang di lengan sebelah kiri dari baju para Pegawai Negeri Sipil (PNS). Posisi blandongan, bersama Buku dan Pena, ada di dalam bingkai Perisai.
Khusus blandongannya, penjelasan lambang tersebut adalah: rumah khas daerah dengan beranda tempat orang berkumpul (blandongan) dan melambangkan tempat atau wadah yang akan melahirkan satu tekad ataupun tujuan, dalam menyelesaikan suatu permasalahan, agar membawa kemajuan bagi masyarakat Kota Tangsel. (Lihat disini).
Sejauh ini, Walikota Tangsel Airin Rachmi Diany, termasuk serius dalam mewujudkan upayanya melestarikan seni budaya Betawi di Tangsel, termasuk blandongan. Saat ini misalnya, Pemkot Tangsel tengah sibuk membangun fasilitas umum berupa Gelanggang Budaya, yang dalam dua paket pengerjaan proyeknya, terdapat bangunan berwujud blandongan.