Untuk menunjukkan bukti serius menuntut pengakuan UNESCO agar tempe menjadi warisan budaya dunia tak benda asal Indonesia, sejumlah elemen menggagas rencana pembangunan Monumen Tempe Indonesia (MTI). Berlokasi di Klaten, Jawa Tengah, MTI akan dibangun pada lahan seluas 1.000 m2 dengan luas dasar 10x10 m2 dan ketinggian yang dapat disesuaikan.
Arsitektur MTI sudah selesai dilombakan. Tanggal 25 September kemarin adalah deadline terakhir pengumpulan desain MTI. Kepada penulis, panitia Lomba Desain MTI, Septian mengatakan, ada lebih dari 40 desain MTI yang diterima panitia.
“Ada 40 lebih rancangan arsitektur Monumen Tempe Indonesia yang dikirimkan peserta. Dari jumlah itu, dewan juri menentukan sepuluh besar, dengan rating dan penilaian yang sudah tersusun. Saat ini, sepuluh besar ini sedang diajukan ke Bupati Klaten untuk pernyataan persetujuan. Nah, kita masih menunggu hasil dari Bupati Klaten ini. Nanti, kalau sudah ada hasil yang keluar dari Bupati Klaten, pasti akan di-launching ke publik,” tuturnya ketika dihubungi via telepon.
Mengapa di Klaten?
Pertanyaannya, mengapa MTI dibangun di Klaten? Ternyata, jawabannya cukup valid. Karena, berdasarkan telaahan babad sejarah tempo doeloe, tempe sudah disebut namanya dalam Serat Centhini. Kitab yang terdiri dari 12 jilid ini merupakan salah satu karya terbesar dalam kesusasteraan Jawa Baru. Penulisannya disampaikan dalam bentuk tembang, dan penulisannya dikelompokkan berdasarkan jenis lagunya.
Menurut keterangan RMA Sumahatmaka, seorang kerabat istana Mangkunegaran, Serat Centhini digubah atas kehendak Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom---putra dari Kanjeng Susuhunan Pakubuwana IV---di Surakarta. Adipati Anom kemudian naik tahta sebagai Sunan Pakubuwana V.
Sangkala Serat Centhini (lengkapnya disebut Suluk Tambanglaras), berbunyi paksa suci sabdaji, atau tahun 1742 tahun Jawa atau 1814 Masehi. Artinya, masih dalam masa bertahtanya Sunan Pakubuwana IV, atau enam tahun menjelang dinobatkannya Sunan Pakubuwana V.
Nah, pada Serat Centhini jilid ketiga, yang mengisahkan perjalanan Cebolang dari Candi Prambanan menuju Pajang, ia mampir di Dusun Tembayat yang masuk wilayah Klaten, dan dijamu makan siang oleh Pangeran Bayat dengan lauk alakadarnya. Di kitab ini dituliskan: “… brambang jae santen tempe … asem sambel lethokan …”. Asal tahu saja, di Klaten utamanya, sambel lethok dibuat dengan bahan dasar tempe, yang sudah mengalami proses fermentasi lanjut.
Selain itu, pada Serat Centhini jilid 12 juga disebutkan penggalan kalimat yang menyebutkan kedelai dan tempe secara bersamaan: “… kadhele tempe srundengan …”.
Menurut Ketua Forum Tempe Indonesia (FTI), Prof Dr Ir Made Astawan MS, penyebutan tempe pada kitab Serat Centhini inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa MTI dibangun di Klaten.
“Klaten adalah salah satu daerah yang disebut dalam Serat Centhini, yang ada kutipan tentang hidangan tempe. Tapi, bukan berarti Klaten satu-satunya pusat tempe. Memang disebutkan nama Desa Tembayat atau Bayat, dan itu memang adanya di Klaten. Oleh karena itu, untuk mengenangnya maka di Klaten akan didirikan Monumen Tempe Indonesia,” jelasnya ketika diwawancarai penulis.
Artinya berdasarkan penyebutan itu, kata Made Astawan, diperkirakan tempe sudah dikonsumsi di Indonesia sejak tahun 1.700-an. Tempe ini juga bukan berasal dari luar Indonesia, karena satu-satunya produk olahan kedelai yang asli Indonesia adalah tempe.
“Kalau yang lainnya, seperti tauco, kecap, dan tahu itu adalah budaya dari luar Indonesia. Bukan juga dari Jepang, karena enggak ada tempe di Jepang. Indonesia itu punya bukti kuat tentang tempe ini, salah satunya ya di Serat Centhini itu yang ditulis pada sekitar yahun 1.800-an, meskipun dipercayai bahwa tempenya sudah dikonsumsi sejak tahun 1.700-an. Makanya harus diklaim sekarang. Kalau tidak, nanti semua orang bisa mengajukan, termasuk Malaysia dan Jepang, sehingga bisa ‘berbahaya’ kalau ini terjadi,” urainya khawatir.
Menurut Made lagi, persyaratan untuk mengajukan tempe sebagai Intangible Cultural Heritage of Humanity (ICHH) banyak sekali. Mulai dari surat-surat dukungan, termasuk dari Gubernur Jawa Tengah dan Bupati Klaten, yang keduanya sudah didapatkan. Syarat lain adalah film dokumenter, bukti tertulis, monumen sebagai bukti bahwa tempe benar-benar dikenal oleh masyarakat setempat, dan lainnya.
“Kita berharap tempe diakui oleh UNESCO sebagai warisan budaya tak benda asal Indonesia (ICHH). Maksudnya, tempe ini sudah dikenal di berbagai negara, bahkan para peneliti di negara-negara maju, saat ini juga banyak yang meneliti soal tempe. Mereka banyak menemukan berbagai temuan seperti senyawa-senyawa aktif termasuk aneka khasiat dari tempe. Sebagai penelitian, silakan itu dilakukan dan sah-sah saja. Tapi satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah tempe merupakan budaya Indonesia. Ini yang harus mereka sebutkan. Jadi, soal penelitian, klaim, paten tentang tempe dimana-mana ya boleh-boleh saja, dan tidak boleh kita kuasai. Tapi, kita sebagai negara yang memiliki budaya tempe ya harus diakui, karena tempe itu produk budaya Indonesia,” tuturnya.
Kelak, bila UNESCO mengakui tempe sebagai ICHH asal Indonesia, maka statusnya akan sama seperti Batik yang lebih dulu diakui sebagai ICHH asal Indonesia oleh UNESCO pada 2 Oktober 2009. “Sama seperti Batik. Batik itu ‘kan juga ada dibuat di Malaysia, Afrika dan negara lainnya. Tapi tetap mereka harus mengakui kalau Batik adalah produk budaya Indonesia. Sama dengan tempe, ke depannya kita berharap akan seperti Batik itu,” harapnya.
Pada praktiknya, sebagai Ketua FTI, Made Astawan mengaku dirinya turut membantu menyusunkan dokumen. Nah, dokumen-dokumen ini kalau sudah lengkap, diserahkan ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Dirjen Kebudayaan. Selanjutnya, yang akan mengajukan ke UNESCO-nya adalah Pemerintah melalui Kemendikbud.
“Dari sisi Kemendikbud-nya sendiri sudah welcome, kami sudah melakukan pertemuan, sehingga makanya dokumen-dokumen itu harus disusun dan dilengkapi. Dokumennya itu sendiri banyak banget, mulai dari harus mendapatkan dukungan dari mana budaya itu mula-mula muncul. Kalau untuk ini kita anggap yang tepat adalah Klaten, ya okelah, makanya kita harus mendapatkan dukungan terlebih dahulu dari pejabat dan masyarakat Klaten. Kans tempe menjadi IHCC, sepanjang dokumennya lengkap dan sesuai dengan target pengajuan ke UNESCO pada 2017,” ujarnya.
Lantas bagaimana keterkaitan antara tempe yang bakal diajukan ke UNESCO sebagai ICHH asal Indonesia, dengan pemenuhan bahan baku kacang kedelai yang nyatanya masih impor, terutama dari Amerika Serikat?
Made Astawan sontak menjawab, hal tersebut tidak berkaitan. “Itu enggak ada hubungannya. Karena yang diklaim adalah tempenye, bukan kedelainya. Kalau asal kedelainya sih dari mana saja, boleh. Pengrajin juga tidak pernah mempersoalkan mana kedelai lokal dan kedelai impor, karena yang paling penting adalah sustainibilitas atau berkelanjutannya bahan baku tempe. Sementara kedelai lokal ini sangat sedikit sekali produksinya, dan tidak akan bisa sustain. Jadi, mau tidak mau ya impor,” terangnya.
Jangan lupa, pesan Made Astawan, Indonesia adalah pasar kacang kedelai terbesar se-Asia Tenggara, bahkan se-Asia. Di Indonesia, sebanyak 70% dari kacang kedelai itu dimanfaatkan untuk membuat tempe.
“Jadi memang, untuk kondisi seperti saat ini, kedelai lokal enggak akan sanggup mencukupi kebutuhan bahan baku pembuatan tempe. Belum lagi, kedelai juga digunakan untuk membuat tahu, kecap dan lainnya. Jadi, supply kedelai lokal itu tidak akan bisa mencukupi demand kedelai secara nasional yang mencapai 2,5 juta ton per tahun. Selama ini, pemenuhan kebutuhan kedelai nasional, 30% - nya berasal dari lokal. Sedangkan 70% - nya impor dari Amerika Serikat, Argentina dan lainnya,” jelas Made yang juga Guru Besar Teknologi Pangan dan Gizi IPB ini.
Kapan Swasembada Kedelai?
Sementara itu Kepala Bagian Pemasaran Rumah Tempe Indonesia (RTI), Muhammad Ridha juga sepakat untuk memisahkan antara persoalan supply dan demand kedelai, dengan usaha menuntut tempe sebagai ICHH oleh UNESCO.
“Aspek pengadaan kedelai adalah hal yang berbeda dari apa yang diusahakan oleh FTI, Pergizi Pangan Indonesia, dan IPB untuk mengajukan tempe sebagai ICHH asal Indonesia ke UNESCO. Ini lebih kepada upaya kita untuk memproteksi tempe sebagai budaya Indonesia dari klaim orang lain. Karena, tempe ini di Malaysia juga sudah dikenal luas. Begitu juga di Jepang, bahkan ada pengrajin dan pakar tempe di sana,” ujar Ridha ketika ditemui penulis di Rumah Tempe Indonesia,” tuturnya ketika ditemui penulis di RTI, Bogor.
Menurut Ridha, soal pemenuhan kebutuhan kedelai secara nasional, masalahnya ada di pertanian atau on farm. “Kalau soal memenuhi supply bahan baku kacang kedelai, masalahnya saya pikir ada di on farm kita. On farm kita kayaknya tidak bergerak untuk menanam kedelai demi memenuhi kebutuhan lokal. Dulu semasa Presiden RI Soesilo Bambang Yudhoyono, salah satu tekad Pemerintahannya adalah swasembada kedelai. Nyatanya, tidak terwujud. Sekarang, Pemerintahan Presiden Joko Widodo juga menegaskan tekad untuk swasembada padi, jagung, dan kedelai. Sampai saat ini hasilnya belum nampak, dan kita masih menunggu gebrakannya bakal seperti apa,” tuturnya.
Para pengrajin tempe ini, lanjut Ridha, hanya user dari kacang kedelai, jadi tidak bisa berbuat banyak apalagi kalau sudah berkaitan dengan urusan on farm. “Kita enggak paham urusan tanam-menanam kacang kedelai. Kita tahunya, ada barang (kacang kedelai - red) ya kita beli. Tapi, apa yang mau dibeli, jumlah kacang kedelai lokalnya enggak cukup tersedia,” tegasnya.
Kedelai dalam Data BPS
Apa yang disampaikan Made Astawan dan Muhammad Ridha tentang supply kedelai lokal yang tak mencukupi demand kedelai secara nasional memang beralasan. Telisik saja data Badan Pusat Statistik (BPS) ini.
Menurut data BPS, produksi kedelai tahun 2014 adalah sebesar 955,00 ribu ton biji kering, atau meningkat sebanyak 175,01 ribu ton (22,44 persen) bila dibandingkan tahun 2013. Peningkatan tersebut terjadi di Pulau Jawa sebesar 100,20 ribu ton, dan di luar Pulau Jawa sebesar 74,80 ribu ton. Peningkatan produksi kedelai terjadi karena peningkatan luas panen seluas 64,89 ribu hektar (11,78 persen) dan peningkatan produktivitas sebesar 1,35 kuintal/hektar (9,53 persen).
Padahal, seperti yang diakui Made Astawan, kebutuhan kacang kedelai nasional adalah 2,5 juta per tahun. Bandingkan dengan produksi kacang kedelai Indonesia yang pada tahun 2014 hanya 955 ribu ton. Sebuah angka produksi yang masih jauh dari cukup.
Makanya, tak salah juga pernyataan Robert O Blake, Dubes Amerika Serikat untuk Indonesia, ketika mengunjungi Rumah Tempe Indonesia di Jalan Cilendek, Bogor pada 29 April 2014 lalu. Blake mengatakan, “Indonesia adalah pengimpor utama kedelai asal Amerika Serikat, dimana lebih dari 2.5 juta ton kedelai asal Amerika Serikat diimpor ke Indonesia. Dari jumlah itu, hampir 90% penggunaan kedelai tersebut dimanfaatkan pada sektor produksi tempe dan tahu”.
Well, lagi-lagi Amerika Serikat yang mengambil keuntungan dari pasar kacang kedelai dunia. Tak pelak, kita (hanya) bisa berharap, semoga Pemerintahan kali ini mampu mewujudkan program swasembada kedelai.
- o O o -
Foto #1 : Tempe dan kacang kedelai. (Foto: Gapey Sandy)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H