Pada praktiknya, sebagai Ketua FTI, Made Astawan mengaku dirinya turut membantu menyusunkan dokumen. Nah, dokumen-dokumen ini kalau sudah lengkap, diserahkan ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Dirjen Kebudayaan. Selanjutnya, yang akan mengajukan ke UNESCO-nya adalah Pemerintah melalui Kemendikbud.
“Dari sisi Kemendikbud-nya sendiri sudah welcome, kami sudah melakukan pertemuan, sehingga makanya dokumen-dokumen itu harus disusun dan dilengkapi. Dokumennya itu sendiri banyak banget, mulai dari harus mendapatkan dukungan dari mana budaya itu mula-mula muncul. Kalau untuk ini kita anggap yang tepat adalah Klaten, ya okelah, makanya kita harus mendapatkan dukungan terlebih dahulu dari pejabat dan masyarakat Klaten. Kans tempe menjadi IHCC, sepanjang dokumennya lengkap dan sesuai dengan target pengajuan ke UNESCO pada 2017,” ujarnya.
Lantas bagaimana keterkaitan antara tempe yang bakal diajukan ke UNESCO sebagai ICHH asal Indonesia, dengan pemenuhan bahan baku kacang kedelai yang nyatanya masih impor, terutama dari Amerika Serikat?
Made Astawan sontak menjawab, hal tersebut tidak berkaitan. “Itu enggak ada hubungannya. Karena yang diklaim adalah tempenye, bukan kedelainya. Kalau asal kedelainya sih dari mana saja, boleh. Pengrajin juga tidak pernah mempersoalkan mana kedelai lokal dan kedelai impor, karena yang paling penting adalah sustainibilitas atau berkelanjutannya bahan baku tempe. Sementara kedelai lokal ini sangat sedikit sekali produksinya, dan tidak akan bisa sustain. Jadi, mau tidak mau ya impor,” terangnya.
Jangan lupa, pesan Made Astawan, Indonesia adalah pasar kacang kedelai terbesar se-Asia Tenggara, bahkan se-Asia. Di Indonesia, sebanyak 70% dari kacang kedelai itu dimanfaatkan untuk membuat tempe.
“Jadi memang, untuk kondisi seperti saat ini, kedelai lokal enggak akan sanggup mencukupi kebutuhan bahan baku pembuatan tempe. Belum lagi, kedelai juga digunakan untuk membuat tahu, kecap dan lainnya. Jadi, supply kedelai lokal itu tidak akan bisa mencukupi demand kedelai secara nasional yang mencapai 2,5 juta ton per tahun. Selama ini, pemenuhan kebutuhan kedelai nasional, 30% - nya berasal dari lokal. Sedangkan 70% - nya impor dari Amerika Serikat, Argentina dan lainnya,” jelas Made yang juga Guru Besar Teknologi Pangan dan Gizi IPB ini.
Kapan Swasembada Kedelai?
Sementara itu Kepala Bagian Pemasaran Rumah Tempe Indonesia (RTI), Muhammad Ridha juga sepakat untuk memisahkan antara persoalan supply dan demand kedelai, dengan usaha menuntut tempe sebagai ICHH oleh UNESCO.