Persoalan ketersediaan kacang kedelai lokal lainnya adalah bibit. “Bibit saja kita enggak punya yang baik. Bibit kedelai milik petani adalah bibit yang diambil dari sisa hasil panen sebelumnya. Begitu terus, sehingga terjadi penurunan kualitas bibit kedelai itu sendiri. Di pasaran tidak ada petani kedelai yang memperoleh bibit kedelai unggulan. Lalu, dari sisi lahan. Untuk menanam kedelai, lahan petani kita bersaing dengan komoditas tanam lainnya. Padahal, kalau kita bicara akses pasar, apakah petani kita terkendala? Tidak. Pasar, selama kedelai itu ada, dan sesuai dengan yang dibutuhkan oleh pengrajin tempe dan tahu, maka pasti akan diserap pasar. Cuma masalahnya adalah supply. Demand tidak ada masalah, karena kebutuhan kedelai nasional sekarang ini pun 2,4 – 2,5 juta ton per tahun,” urai Ridha prihatin.
Ke depan, RTI tetap akan melakukan dan memancing para pengrajin untuk melakukan inovasi produksi tempe. “Tidak banyak anak-anak muda yang mau meneruskan usaha orangtuanya menjadi pengrajin tempe. Sekarang, banyak pengrajin tempe yang rata-rata usianya sudah diatas 60 tahun. Sehingga mungkin, 10 tahun lagi, sekitar 30% usaha pengrajin tempe akan tutup karena tidak ada regenerasi usaha. RTI sedang merangsang minat anak-anak muda untuk meneruskan usaha orangtuanya sebagai pengrajin tempe, tapi dengan cara-cara pengolahan yang lebih baik. Misalnya, menggunakan teknologi, memperhatikan higienitas, ramah lingkungan dan peralatan standar yang aman dan sehat,” serunya.
Bicara potensi bisnis tempe---dengan catatan proses produksinya benar, higienis dan ramah lingkungan---, prediksi Ridha, kalau seorang pengrajin memiliki kapasitas produksi 50 kg kedelai per hari, maka bisa diperkirakan bakal meraih keuntungan bersih minimum Rp 4 – 5 juta per bulan.
“Tapi saran saya, untuk pengrajin baru, cobalah menguji daya serap pasar lebih dulu. Saya anjurkan untuk tidak langsung memproduksi tempe dengan 50 kg kedelai per hari. Mulailah dari 5 kg per hari, lalu tes pasar ke lingkungan sekitar. Apabila responnya bagus, bulan berikutnya naikkan kapasitas produksi jadi 10 kg kedelai, dan sampai kepada 50 kg kedelai. Bila sudah tercapai, persiapkan investasi peralatan standar untuk proses produksi yang baik, dengan nilai investasi mencapai Rp 20 – 30 juta,” ajaknya.
Menukilkan kisah keberhasilan RTI memang selaras dengan momentum peringatan Hari Pangan Sedunia (HPS) XXXV, 16 Oktober 2015 yang bertemakan ‘Pemberdayaan Petani Sebagai Penggerak Ekonomi Menuju Kedaulatan Pangan’.
Sayangnya, fakta bahwa kacang kedelai impor masih mendominasi industri tempe dan tahu Indonesia cukup membuat kening berkerut juga. Kapan (lagi) kita bisa swasembada kacang kedelai? Bukankah Indonesia negara agraris?
Selamat Hari Pangan Sedunia!
-oooOooo-