Sebagai salah seorang warga Tangsel, penulis semakin merasakan bahwa sepuluh isu umum wilayah dan perkotaan memang semakin jadi kenyataan di Tangsel --- kota hasil pemekaran Kabupaten Tangerang yang diresmikan pada 26 November 2008 melalui payung hukum UU No.51 Tahun 2008.
Masalah permukiman padat (dan kumuh) misalnya. Luas Kota Tangsel adalah 147,19 km2, dan tak akan pernah bisa bertambah. Berbanding terbalik dengan populasi penduduknya.
Menurut data BPS, pada 2010, jumlah penduduk Tangsel mencapai 1.290.821 jiwa. Tiga tahun kemudian, 2013, jumlahnya melonjak jadi 1.443.403 jiwa (laki-laki 727.802 jiwa, sedangkan perempuan 715.601 jiwa). Mereka tersebar di tujuh kecamatan dengan 54 kelurahan. Dibandingkan tahun 2012, laju pertumbuhan penduduk Tangsel sepanjang 2013 mencapai 2,72 persen, atau bertambah 38.233 jiwa dalam satu tahun. Tak salah, BPS Kota Tangsel bahkan jauh-jauh hari mengingatkan, bila laju pertumbuhan penduduk tidak berhasil ditekan, maka kepadatan penduduk Tangsel akan kian memuncak.
Adapun komposisi penduduk pada tujuh kecamatannya yang ada, yaitu: di Kecamatan Pondok Aren (341.416 jiwa), Pamulang (314.931), Ciputat (212.824), Ciputat Timur (193.484), Serpong (157.252), Serpong Utara (148.494), dan, Setu (75.002). Kepadatan penduduk Tangsel, mencapai 9.806 penduduk per kilometer persegi (km2). Kerumunan tertinggi penduduk ada di Ciputat Timur, dengan 12.539 penduduk dalam setiap km2. Untuk perbandingan, pada 2013, kepadatan penduduk Kota Semarang mencapai 3.864 jiwa per km2. Sementara kepadatan penduduk DKI Jakarta berjumlah 15.234 penduduk per km2.
Mencermati kepadatan penduduk Tangsel---yang nyaris tiga kali lipat Kota Semarang, bahkan mulai sesak memadat seperti DKI Jakarta---, tak berlebihan apabila peringatan Hari Habitat Dunia (HHD) yang pada tahun ini mengangkat tema ‘Public Spaces for All’ atau Ruang Publik untuk Semua menjadi teramat pas. Apalagi, tema ini mendorong upaya untuk menyediakan ruang publik yang dapat diakses dan dimanfaatkan oleh semua lapisan masyarakat.
Bahkan, bila disebutkan bahwa, ruang publik adalah tempat yang ditujukan untuk penggunaan publik, dan dapat dinikmati secara cuma-cuma dengan tidak mengambil keuntungan di setiap penggunaannya (UN-Habitat Issue Papers, 2015), maka hal ini juga yang sedang terus diupayakan Pemkot Tangsel. Misalnya, dengan mempersiapkan lahan seluas 0,346 hektar untuk disulap menjadi Hutan Kota ‘Matsera’ di Kecamatan Serpong Utara. “Sama seperti Taman dan Hutan Kota lainnya, selain sebagai paru-paru kota dan fungsi lainnya, maka ‘Matsera’ juga akan menjadi Public Spaces for All,” ujar Sutisna mantap.
Agenda Perbaikan RTH sebagai Ruang Publik
Sebagai ruang publik, Taman dan Hutan Kota di Tangsel semakin terasa manfaatnya. Pada Minggu, 27 September kemarin misalnya, penulis menyaksikan sendiri begitu ramainya publik beraktivitas di Taman Kota I, BSD City. Kendaraan roda empat yang parkir nampak mengular, begitu juga dengan sepeda motor. Begitu memasuki gerbang, musik pengiring ‘Senam Sehat’ terdengar kencang. Dari atas panggung yang memang dibangun secara permanen, sejumlah instruktur senam memandu ratusan warga yang mengikuti setiap gerakan dengan lincah dan penuh semangat. Taman kota seluas 2,5 hektar yang terletak tak jauh dari Pasar Modern BSD ini memang selalu padat pengunjung dari berbagai lapisan usia dan kalangan, terutama pada Sabtu - Minggu, dan hari libur.
Suasana berbeda penulis jumpai di Hutan Kota Witana Harja yang terletak di Kecamatan Pamulang. Dengan luas lahan mencapai 0,900 hektar, belum banyak warga yang memanfaatkannya. Meskipun, terlihat ada sejumlah anak muda yang tengah asyik bermain dengan binatang piaraannya, musang. Hutan Kota Witana Harja telah dilengkapi jogging track yang pada bagian lajur tengahnya sengaja dibuat dengan batu-batu kecil menonjol sehingga pijakan kaki seperti tengah menjalani refleksi. Terdapat pula bangku-bangku yang sengaja dibuat dengan menghadap ke perairan Situ Ciledug atau Situ Tujuh Muara, sehingga menjanjikan pemandangan yang indah menawan, utamanya pada pagi dan sore hari.