Kalau dihitung-hitung, sudah beberapa kali saya menyaksikan langsung gemulai anggun para penari yang menyuguhkan Tari Nong Anggrek. Misalnya, ketika peluncuran film Paradise of Tangsel di Theatre XXI, Living World – Alam Sutera, BSD City, pada 16 April 2015, dan ketika pembukaan Hari Keluarga Nasional (Harganas) ke-XXII di Lapangan Smartfren - BSD City, pada Rabu 29 Juli 2015. Kedua momentum nonton Tari Nong Anggrek ini, bahkan turut disaksikan juga oleh Walikota Tangerang Selatan (Tangsel) Airin Rachmi Diany.
Tari Nong Anggrek memang semakin memantapkan posisinya sebagai tarian ikon Kota Tangsel. Jangan sebut tarian khas, karena yang namanya kekhasan harus terpupuk sejak lama, bertahun-tahun bahkan puluhan tahun, baru menjadi sesuatu yang khas. Sedangkan Tangsel, usianya baru menginjak tujuh tahun pada 2015 ini. Artinya, Tari Nong Anggrek belum pas bila dikatakan sebagai suatu kekhasan dari Tangsel. “Ini tarian ikonnya Tangsel, bukan khas,” kata Sherly Fatmarita, sang koreografer Tari Nong Anggrek.
Acap kali Tari Nong Anggrek disuguhkan, biasanya selalu didahului dengan paparan singkat terkait tariannya. Mulai dari Tangsel sebagai kota yang peduli lingkungan hijau dan memiliki 11 danau atau situ serta berbagai flora yang unik. Berpijak dari situ, digaraplah sebuah tarian yang mencerminkan kondisi Tangsel, terutama potensinya dalam memproduksi Anggrek jenis Vanda Douglas (sering disebut: Pandoglas). Tarian yang dimaksud adalah Tari Nong Pandoglas, yang kemudian diubah namanya menjadi Tari Nong Anggrek. ‘Nong’ itu sendiri merupakan panggilan untuk seorang putri di Tangsel. Sedangkan prianya, dipanggil dengan ‘Kang’.
Penggarapan Tari Nong Anggrek butuh perjalanan panjang, juga sumbangsih tenaga dan pemikiran dari mereka yang peduli, mulai dari instansi Pemkot Tangsel terkait, seniman tari, pemain musik tradisional, dan para penarinya itu sendiri. “Saya hanya diberi amanat menjadi eksekutor atau, katakanlah koreografer saja. Pemkot Tangsel yang sepenuhnya mendanai, dan mungkin yang akan memiliki hak paten atas tarian ikon Tangsel ini. Sebagai warga, saya bersama teman-teman lain yang terlibat dalam penciptaan tarian ini hanya memberi sumbangsih karya demi Tangsel,” ujar Sherly.
Tari Nong Anggrek itu sendiri mengangkat gerakan-gerakan alam, yaitu gerak tumbuhan melambai terkena angin, gerak bunga Anggrek mekar, dan gerak tumbuhan yang ada di atas permukaan air situ atau danau. Gerakannya tidak sembarang. Karena, sang penari harus memiliki kelenturan tubuh yang mumpuni, dan memahami gerakan pakem atau gerakan dasar Tari Betawi dan Sunda, dengan diiringi musik Gambang Kromong dan sejumlah perkusi yang kemasannya atraktif juga dinamis.
“Penari harus menguasai gerakan swing yang baik, kalau tidak ia bisa pusing kepala. Juga, gerakan split,” ungkap ibu beranak tiga ini seraya mengatakan bahwa Tari Nong Anggrek pernah dipergelarkan ketika acara pertemuan APEKSI 2013 di Dumai, lalu 2014 di Ambon, dan menurut rencana pada 2016 di Jambi.
Ketika puncak acara Harganas ke-XXII, 1 Agustus 2015, di Lapangan Sunburst, BSD City, Tari Nong Anggrek disuguhkan secara kolosal. “Ada 20 penari sekaligus. Dan, ketika tarian usai, mimik wajah Ibu Walikota Airin terlihat sangat puas, belum lagi apresiasi tepuk tangan beliau yang seolah tiada henti,” tutur Sherly yang menyebutkan sejak mulai digarap pada 2013 lalu, saat ini sudah ada sekitar 50 penari Tari Nong Anggrek yang terbilang berkategori expert.
Tahun depan, lanjut Sherly, bersama Kantor Budaya dan Pariwisata Tangsel, akan dilakukan sosialisasi Tari Nong Anggrek ke sekolah-sekolah, lalu mengajarkan dan membuat perlombaan tari antar sekolah. “Dengan begitu, akan muncul lagi bibit-bibit penari berbakat dari sekolah-sekolah. Sekaligus akan menjadikan mereka angkatan ketiga sebagai penari Tari Nong Anggrek,” harap Sherly yang sudah kenyang pengalaman dalam hal tarian.
Hari Minggu siang, 9 Agustus 2015, Sherly menyambut saya dengan ramah dan hangat di rumahnya yang juga sekaligus Sanggar Ragam Budaya Nusantara, sanggar tari miliknya yang sudah digeluti sejak 2003 silam. Di teras rumahnya yang nyaman dengan pepohonan Bunga Anggrek, Sherly menjawab pertanyaan demi pertanyaan terkait penggarapan Tari Nong Anggrek.
Berikut, wawancara saya dengan Sherly, yang kini tengah sibuk menjadi Asisten Pelatih untuk Pergelaran Acara Napak Tilas Republik Indonesia dalam rangka memperingati HUT RI ke-70 pada tahun ini. “Ada 85 pengisi acara yang terlibat. Dan, pada tanggal 15 Agustus ini, kami akan melakukan gladi resik. Lalu, pada tanggal 16 Agustus, akan mementaskan pergelaran tersebut dalam acara gala dinner di Istana Merdeka, Jakarta,” ujarnya penuh syukur.
o o o O o o o
Bagaimana cerita awal penggarapan Tari Nong Anggrek?
Sebagai kota urban, Kota Tangsel yang baru terbentuk memang belum memiliki tradisi, karena tradisi baru akan ada setelah dilakukan secara terus-menerus dan setiap hari. Mengenai apa yang menjadi ciri khas dan tradisi Tangsel, Kantor Budaya dan Pariwisata Tangsel, pada tahun 2014 sempat menggelar lokakarya selama dua hari di Cipondoh, Tangerang, yang tujuannya merumuskan apa-apa saja yang akan ditonjolkan untuk disepakati sebagai ciri khas Tangsel. Banyak tokoh masyarakat, seniman, penata tari dari Tangsel ikut hadir, termasuk pimpinan Lembaga Kesenian Betawi dari DKI Jakarta.
Akhirnya, berpijak pada fakta dan data lapangan, bahwa Tangsel merupakan pemasok terbesar bunga Anggrek jenis Van Douglas, maka terpikir untuk menciptakan sebuah tarian yang terinspirasi dari potensi Anggrek. Maka bersepakatlah kita, menyamakan ide, untuk menciptakan tarian yang mencerminkan kecantikan bunga Anggrek tersebut. Waktu itu, kita bahkan belum menemukan nama yang pas untuk tariannya, kecuali hanya sekadar tarian dengan inspirasi Anggrek, yang dalam hal ini adalah Bunga Anggrek jenis Vanda Douglas.
Sanggar tari Anda ikut aktif didalamnya. Bagaimana keputusannya waktu itu?
Hasil dari kesepakatan lokakarya untuk menciptakan tarian bertemakan Anggrek, kemudian ditindaklanjuti oleh Kantor Budpar Tangsel dengan menunjuk satu konsultan untuk membantu realisasi penciptaan tariannya. Nah, Dewan Kesenian Tangsel yang juga terlibat di dalamnya sejak awal, kemudian juga mengarahkan konsultan ini untuk bekerja sama dengan beberapa sanggar tari memenuhi rekomendasi. Tapi, akhirnya dipilih sanggar yang saya kelola, yaitu Sanggar Tari Ragam Budaya Nusantara yang beralamat di Kompleks Villa Pamulang, Tangsel, untuk bersama-sama melakukan riset dan pengembangan tarian Anggrek ini termasuk bagaimana musik pengiringnya.
Bersama konsultan ini kemudian kita berembuk lagi, dengan menghadirkan beberapa seniman musik dan tari, untuk menggali dan menciptakan tarian Anggrek lengkap dengan musiknya. Sebelum kita bekerja, semua pihak akhirnya sepakat untuk melihat potensi alam dan wisata Tangsel terlebih dahulu. Nah, ternyata kita semua sadar bahwa Tangsel tidak memiliki banyak potensi alam dan wisata, kecuali banyak memiliki danau-danau atau situ yang tersebar di berbagai wilayah Tangsel. Hal ini penting, karena meskipun ide besar tariannya adalah terinspirasi dari Anggrek Van Douglas, tapi tetap harus menampilkan wujud Tangsel secara keseluruhan berdasarkan ragam etnik, geografis, demografi, kultur dan segala macam yang terkumpul di kota ini.
Dengan potensi alam serta wisata yang minim, dan hanya menyisakan kesimpulan bahwa Tangsel memiliki banyak situ, maka mulailah kami semua yang berembuk ini mengerucutkan ide, guna menjawab apa-apa saja potensi yang terkandung di situ-situ tersebut. Sudah tentu, kita tidak mengambil unsur keberadaan tanaman Eceng Gondoknya, tapi kita justru menonjolkan bunga-bunga Teratai di situ-situ tersebut. Enggak lucu dong, kalau kita justru mengambil contoh nyata keberadaan Eceng Gondok, yang notabene dianggap mengganggu perairan situ dan justru sebaiknya dibersihkan, hahahaaa ...
Soal aransemen musik pengiring Tari Nong Anggrek, bagaimana penggaliannya?
Setelah itu, mulailah didesain musik, yang kira-kira musiknya memang ditemukan di Tangsel. Ternyata, Tangsel itu adalah lingkar luar dari kebudayaan Betawi. Jadi, peta budayanya kita masih Betawi, walaupun menginduknya ke Provinsi Banten yang notabene pernah menjadi bahagian dari wilayah Provinsi Jawa Barat. Secara administratif, Banten memang ‘pecahan’ dari Jawa Barat. Sedangkan Tangsel juga sama, ‘pecahan’ atau pemekaran dari Kabupaten Tangerang. Memang, Tangsel ini paling luar atau paling Selatannya dari Tangerang, dan berbatasan langsung dengan Jakarta Selatan. Nah, peta wilayah paling Selatan dari Tangerang ini masih dalam area Betawi. Bahkan, dari sisi sejarah, tokoh legenda Bang Pitung, pernah disebut-sebut sempat bersembunyi dari kejaran pemerintah kolonial Belanda, hingga ke kawasan Pondok Cabe dan Serpong di Tangsel.
Dari fakta bahwa Tangsel masih kental dengan nuansa Betawinya itu, maka untuk musik pengiring tarian Anggrek itu, kita sepakat untuk mengambil musik Gambang Kromong asli Betawi, bukan musik tradisional Sunda, Jawa Barat. Ada hal unik yang saya temukan ketika pertama kali kita coba menciptakan musik Gambang Kromong untuk tarian Anggrek ini. Awalnya, saya mengundang para pemain musik Gambang Kromong langsung dari Betawi. Tapi, setelah beberapa kali kita perhatikan mereka main musik, ternyata saya menemukan fakta, bahwa antara musik Gambang Kromong Betawi dengan Gambang Kromong Tangsel ada sedikit perbedaan. Gambang Kromong Tangsel ini ternyata lebih chis atau agak miring sedikit, alias tidak sama dengan Gambang Kromong yang dimainkan di Betawi. Gambang Kromong Tangsel ini agak cenderung lebih ke irama Sunda. Tapi tetap, alat musiknya lengkap, ada Gambang, Kromong, Gong, Gendang, Suling, Kecrek, Sukong, Tehyan, Kongahyan dan lainnya, lengkap. Hanya nada pada Kromong saja yang agak berbeda. Akhirnya, kita sepakat untuk memainkan musik Gambang Kromong dengan ‘nada’ Tangsel.
Karena Tangsel adalah ‘lepasan’ dari Kabupaten Tangerang, di mana banyak etnik Chinese juga di dalamnya. Dulu, waktu zaman Belanda, ketika Kubilai Khan (cucu Jenghis Khan) dari Kekaisaran Mongolia itu datang ke Indonesia, ada empat alat musik yang biasa dimainkan, yaitu Sukong, Tehyan, Kongahyan dan Rebab. Tapi, untuk saat ini yang dipergunakan hanya tinggal dua saja, yakni Tehyan dan Kongahyan. Sedangkan untuk tarian Anggrek ini, kita malah hanya memakai Tehyan saja.
Gerakan penari tarinya gemulai nan cantik tapi gesit. Bagaimana menciptakan itu?
Dari sisi gerakan, tarian Anggrek yang saya kreasikan ini juga mengambil inspirasi dari beberapa gerakan tarian Chinese yang terkesan klasik. Lalu, karena kita adalah satu kota dari Provinsi Banten, maka kita tetap mengambil musik etniknya, yaitu Bedug Banten dan Terompet Pencak Banten. Untuk gerakan tarian Anggrek, kita menciptakan gerak tari yang original, artinya bukan gerakan yang baku lalu kita adopsi dan susun begitu saja. Justru kita menciptakan gerakan tari baru tetapi terinspirasi dari gerakan-gerakan dasar atau baku, yang ada di tarian Betawi, Sunda, dan Chinese. Nah, gerakan tarian baru ini kemudian kita susun untuk menjadi gerak tari yang original.
Untuk masalah gerak, Tari Nong Anggrek memiliki tiga babak atau urutan gerak, yaitu low, medium, dan high. Jadi, diawali dengan gerakan yang tenang, lalu kemudian meningkat cepat, dan semakin cepat lagi, hingga akhirnya mencapai klimaks dengan mekarnya simbol Bunga Anggrek yang memang sengaja dipasang di atas kepala para penari. Gerakan awal yang tenang sengaja saya ambil inspirasinya dari pertumbuhan Bunga Anggrek yang tenang dan bermula dari bawah atau tanah. Begitu pula dengan iringan musik, yang sama tenangnya dengan gerak awal tarian ini, terutama dengan permainan Tehyan. Gerakan yang tenang, pelan dan melambai ini inspirasinya dari tarian Chinese yang ditonjolkan, begitu juga dengan gerakannya yang cenderung lebih modernis, atau ke arah balet. Bukankah ini juga sesuai dengan motto Tangsel, yaitu CMORE kepanjangan dari Cerdas Modern Religius. Makanya, saya berani memasukkan unsur modern dalam gerak tariannya.
Sedangkan pada urutan gerak yang speed-nya medium, ini adalah gerakan tradisi, yang saya ambil dari gerakan tari Betawi, Sunda, ada juga sedikit Melayu-nya, dan merupakan gerakan urban yang ada di Tangsel. Lalu terakhir, mulai dengan iringan musik Banten yang tempo iramanya cenderung cepat, di mana gerak tarinya pun masih campur antara gerakan tari Betawi dan Banten, kemudian pada klimaksnya, bunga mekar. Mekarnya ini menggunakan seutas tali yang kemudian ditarik oleh para penari sehingga kelopak bunganya mekar. Tadinya sih, kita berpikir untuk menggunakan remote control untuk memekarkan kelopak bunga di atas kepala para penari, hanya saja teknologinya belum kita temukan aplikasinya. Bisa jadi, ke depan menggunakan remote control.
Bersambung ke sini.
* * *
Foto#1: Para penari Tari Nong Anggrek dalam satu kesempatan tampil dan unjuk kebolehan. (Foto: Dok. Sherly Fatmarita)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H