Kita shock dan terkesiap! Empat pelaku pembunuhan wartawati media onlineNur Baety Rafiq (44) di Bojong Gede, Depok, pada Juli ini, ternyata masih berusia muda. Dua diantaranya, baru berusia 20 tahun. Nafsu angkara menguasai harta milik korban dilakukan, demi menjawab desakan kebutuhan ekonomi dan kesejahteraan. Apalagi, momentumnya mau lebaran. Pikir sesat mereka, uang harus di tangan. Meski harus menghilangkan nyawa korban.
Sebelumnya, pada April, seorang siswi Madrasah Tsanawiyah (MTs) berusia 14 tahun, kabarnya telah menjadi korban penyekapan dan pemerkosaan. Pelakunya? Sepuluh anak muda. Diantara pelaku, ada yang berusia 22 tahun. Kasus yang terjadi di Kenagarian Guguak, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat ini, kontan menyedot perhatian sekaligus empati publik.
Kedua kasus kriminalitas tersebut tidak saling berhubungan satu sama lain. Tapi, irisannya sama, yakni kejahatan yang dilakukan anak muda dengan pemicu yang berbeda. Benang merah dari kedua kasus ini adalah ada potret kurang berhasilnya pembinaan keluarga---dan unsur lainnya, seperti lingkungan---, dalam membentuk watak serta kepribadian anak-anak muda yang notabene para pelaku kejahatan.
Mengapa kegagalan pembinaan anak-anak dalam institusi keluarga menjadi sorotan?
Dalam acara Kompasiana Nangkring Bersama Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) bertema ‘Membangun Keluarga, Membangun Bangsa Sebagai Wujud Revolusi Mental’, pada Rabu, 8 Juli 2015 di Hotel Santika Serpong, BSD, Tangerang Selatan (Tangsel), DR Abidinsyah Siregar DHSM M.Kes selaku Deputi Bidang Advokasi, Penggerakkan dan Informasi BKKBN menyampaikan paparannya terkait Kerangka Konsep Pembangunan Keluarga.
Secara global, menurut Abidinsyah, data Bank Dunia yang dilansir pada 2013 menunjukkan, lebih dari 400 juta anak hidup dalam kemiskinan. Kondisi ini semakin miris dengan temuan UNICEF sepanjang 2014 kemarin yang mengungkapkan, angka kematian bayi mencapai 30 per 1000 kelahiran, sedangkan angka kematian anak usia dibawah 5 tahun mencapai 37 per 1000 kelahiran. Ironisnya lagi, 7 ribu anak meninggal dunia setiap hari karena penyebab yang seharusnya dapat dicegah, dimana separuhnya adalah akibat kurang gizi.
Sementara itu, mengutip hasil sigi yang dilakukan Center for Strategic and International Studies (CSIS) pada 2014, Abidinsyah mengemukakan, ternyata jumlah remaja (10 - 24 tahun) mencapai 25% atau (1,8 miliar) dari total seluruh penduduk dunia. Dari jumlah tersebut, 50% diantara remaja tersebut pengguna internet, dan tidak memiliki pekerjaan. Adapun 85% dari para remaja ini tinggal di negara dengan indeks kesejahteraan yang relatif rendah.
Lantas, bagaimana dengan isu kependudukan dengan skala nasional?
Dua tahun lalu, Bappenas menyodorkan data kependudukan. Jumlah penduduk Indonesia pada 2015 ini, diperkirakan 255,5 juta jiwa. Proyeksinya, jumlah balita dan anak sebanyak 47,4 juta jiwa. Adapun jumlah remaja, menyundul angka 66 juta jiwa, atau 7% dari jumlah total penduduk. Kontribusi proporsi penduduk usia produktif ini sudah pasti membawa potensi Bonus Demografi. Potensi ini diperkuat dengan data yang menyatakan, jumlah penduduk lanjut usia (lansia) sejumlah 21,7 juta jiwa.
Proyeksi jumlah penduduk lansia pada 2010 adalah sebanyak 18,1 juta jiwa. Angka ini akan meningkat tajam hingga 167,2% pada 2035 menjadi 48,2 juta jiwa. Pada 2010 itu pula, Indonesia termasuk lima besar negara dengan jumlah penduduk lansia terbanyak di dunia, sekaligus sudah mendekati aging population. Usia harapan hidup secara nasional juga naik dari 70,6 tahun (2010) menjadi 72 tahun (2014). Seiring dengan itu, persentase penduduk miskin Indonesia pada 2014 mencapai 11,25% atau 28,28 juta jiwa.
Paparan aktual seputar masalah kependudukan yang disampaikan Abidinsyah kemudian bermuara pada Kerangka Konsep Pembangunan Keluarga. Ada tiga flowchartyang dimunculkan, yakni INPUT yang merupakan masalah kependudukan itu sendiri, mulai dari kuantitas, kualitas, hingga masalah keluarga, misalnya pernikahan/perceraian dini, kemiskinan, stunting, Narkoba/NAPZA, seks bebas, hingga aborsi.
Lalu ada PROSES, yang tak lain adalah pola pembinaan keluarga masa depan itu sendiri. Didalamnya terdapat kolaborasi harmonis antara Pemerintah dengan masyarakat. Mulai dari penyelenggaraan pendidikan formal/informal, optimalisasi fungsi dan siklus keluarga, lalu ada juga pendidikan berbasis masyarakat.
Masih didalam PROSES, terdapat sejumlah program kegiatan yang dilaksanakan oleh BKKBN, mulai dari Bina Keluarga Balita (BKB); GenRe alias Generasi Berencana; Lansia Tangguh; Bina Keluarga Lansia (BKL); serta, pemberdayaan ekonomi keluarga melalui kelompok Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS).
Dari INPUT yang kemudian mengalami PROSES, akhirnya terwujud OUTPUT atau hasil yang diharapkan. Ada misi didalamnya yaitu menciptakan Keluarga Berkualitas (kualitas anak, remaja, Lansia, dan kesejahteraan keluarga), sedangkan visinya adalah Keluarga Kecil yang Berketahanan dan Sejahtera.
“Keluarga adalah unit terkecil di lingkungan. Tapi yang kita tuju adalah keluarga berkualitas. Dan ketika disebut berkualitas, maka bertambah definisinya menjadi yang dibentuk berdasarkan ikatan yang sah, baik secara agama, hukum maupun adat. Jadi, tidak cukup hanya berhenti pada kata ‘keluarga’, tapi harus ‘keluarga yang berkualitas’. Nah, keluarga yang kita ingin wujudkan adalah keluarga yang menjadi lingkungan pertama dan utama bagi keluarga itu dalam pembinaan tumbuh kembang anak-anak, menanamkan nilai-nilai moral dan kepribadian. Keluarga ini juga menjadi tempat belajar bagi anak, apalagi di sana ada ibu yang akan menjadi ‘gurunya’. Guru utama bagi seorang anak manusia adalah orangtuanya, terutama sang ibu, untuk mengenal kehidupan lingkungan maupun sosial,” urai alumnus International Diplome in Health Service Management di Perth Australia, dan meraih gelar S2 Kebijakan Kesehatan di Universitas Sumatera Utara (USU) dengan Cum Laude ini.
Ia menambahkan, keluarga berkualitas akan menjadi benteng dari berbagai tantangan kehidupan yang negatif. Sebaliknya, bila keluarga gagal. Maka faktor lingkungan yang akan memainkan peran sekaligus mempengaruhi seseorang. Baik atau buruk, terpulang kepada faktor lingkungan itu sendiri. Ironisnya, sebuah studi membuktikan, faktor lingkungan jauh lebih besar perannya dalam membentuk watak dan kepribadian seseorang, daripada faktor keluarga. Tak pelak, kasus pembunuhan wartawati online, dan penyekapan sekaligus pemerkosaan seorang siswi MTs, menjadi fakta tak terbantahkan tentang kegagalan menciptakan keluarga berkualitas, dan dahsyatnya faktor pengaruh lingkungan yang buruk, telah menyeret para remaja bertindak melanggar hukum.
“Hanya keluarga kecil yang berketahanan dan sejahtera yang mampu menepis semua tantangan dari luar. Jadi, bukan siapa-siapa, tapi keluarga. Saat ini, tantangan tidak lagi menunggu di luar rumah, karena tantangan saat ini sudah masuk atau justru kita ajak masuk ke dalam rumah, yaitu internet. Meskipun sebenarnya ini tergantung dari ketahanan anak-anak dalam memanfaatkan teknologi informasi termasuk internet secara positif. Disinilah peran keluarga atau orangtua sangat berpengaruh terhadap kepribadian anak. Faktor keluarga menjadi teramat menentukan untuk menghadapi banyaknya tantangan yang dihadapi anak-anak. Kalau peran keluarga ini gagal, maka faktor lingkungan dari luar akan memainkan perannya, dan sebuah hasil studi membuktikan bahwa faktor lingkungan ternyata jauh lebih besar perannya dalam membentuk watak dan kepribadian seorang anak, dibandingkan dengan apa yang bisa dilakukan oleh ayah maupun ibunya sendiri. Tapi, kalau sejak anak-anak masih kecil sudah dibentengi dengan pola pembinaan yang baik dari kedua orangtuanya maka anak-anak kelak akan mudah menepis berbagai tantangan negatif yang datang dari luar. Disinilah, kata kuncinya yaitu membangun keluarga berkualitas,” tutur pria kelahiran Banda Aceh, 25 Mei 1957 ini.
Dengan keluarga berkualitas, lanjutnya lagi, akan mampu menunaikan delapan fungsi keluarga. Pertama, fungsi keagamaan. Artinya, setiap keluarga Indonesia punya keyakinannya sendiri, bisa merupakan agama, atau keyakinan lainnya yang diakui oleh hukum nasional kita. Kedua, fungsi sosial budaya. Bagaimana seseorang melakukan kontak sosial dengan lingkungan masyarakat yang ada di sekitar.
Ketiga, fungsi cinta dan kasih sayang. Keempat, fungsi perlindungan. Kelima, fungsi reproduksi yang bisa berkembang, sehingga setiap ayah, setiap ibu, yang berumah-tangga, melahirkan anak, dimana anak-anak yang dilahirkan akan menggantikan satu ayah, dan satu ibu. Makanya, konsep yang selama ini sudah sangat terkenal adalah: Dua Anak Cukup! “Kenapa? Karena, dengan dua anak cukup, maka generasi keluarga akan dapat dipertahankan terus sepanjang zaman. Selain itu, ada kepastian dari keluarga yang bersangkutan untuk membuat dua anak mereka itu menjadi berhasil dalam hidupnya,” ujar suami dari Haslinda Daulay, SE,Msi ini.
Fungsi keenam, fungsi sosialisasi dan pendidikan. Artinya, pendidikan harus terjamin. Ketujuh, fungsi ekonomi. Terakhir, kedelapan, fungsi lingkungan.
Keluarga Berencana dan Bonus Demografi
Keuntungan pelaksanaan program KB pada masa lalu, selain menurunkan angka kelahiran dan menjaga keseimbangan jumlah penduduk, adalah adanya Bonus Demografi.
Bonus Demografi artinya masa dimana angka beban ketergantungan antara penduduk usia produktif dengan penduduk usia tidak atau nonproduktif mengalami penurunan sehingga mencapai angka dibawah 50. Artinya, setiap penduduk usia kerja menanggung sedikit penduduk usia nonproduktif. Tetapi, untuk mendapatkan Bonus Demografi ini, kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) harus ditingkatkan secara maksimal melalui pendidikan, pelayanan kesehatan dan penyediaan lapangan kerja.
Data proyeksi penduduk menunjukkan bahwa Bonus Demografi di Indonesia diperkirakan terjadi pada 2020 hingga 2035. Sedangkan pada 2020 – 2030, Indonesia mengalami window of opportunity. Setelah tahun 2030, Indonesia kemudian akan menghadapi peningkatan pesat pada kelompok penduduk usia lanjut (65+), sehingga meningkatkan kembali rasio ketergantungan.
Tidak selamanya Bonus Demografi itu membawa berkah. Ia justru bisa berubah menjadi “Bencana Demografi”, manakala penduduk usia produktif tersebut tidak memiliki pendidikan yang memadai, tidak memperoleh keterampilan yang cukup apalagi mumpuni. Nah, ketika kondisi demikian terjadi maka penduduk usia produktif akan menjadi pengangguran dan sudah barang tentu bakal ada konsekuensinya. Antara lain, kejahatan maupun angka kriminalitas yang melibatkan anak-anak usia muda.
Berdasarkan Sensus Penduduk (SP), jumlah penduduk Indonesia mengalami kenaikan menjadi dua kali lipat selama hampir 40 tahun, dari sekitar 118 juta jiwa pada 1971 menjadi 237 juta jiwa pada 2010. Laju pertumbuhan penduduk Indonesia dalam rentang waktu 1971 – 1980 yang mencapai 2,33 persen mengalami penurunan hingga menjadi 1,45 persen dalam kurun 1990 – 2000. Sedangkan pada periode 2000 – 2010, laju pertumbuhan penduduk mengalami kenaikan menjadi 1,49 persen.
Pengendalian dan pengelolaan kuantitas penduduk dilakukan melalui pengaturan kehamilan dan kelahiran. Dari aspek ini, dapat dikatakan Indonesia telah cukup berhasil dalam mengendalikan pertumbuhan penduduk melalui keberhasilan program Keluarga Berencana selama empat dekade terakhir. Tingkat kelahiran turun dari rata-rata 5,6 pada tahun 70-an menjadi 2,6 pada tahun 2012. Dampaknya, laju pertumbuhan penduduk (LPP) turun dari 2,32 pada kurun waktu 1971 – 1980 menjadi 1,49 pada tahun 2010. Tapi, meskipun LPP menurun, jumlah penduduk terus meningkat sebagai dampak dari demographic momentum.
“Akibatnya, saat ini Indonesia dalam masa bahaya, terkait LPP. Karena, sepuluh tahun terakhir ini, upaya kita untuk menurunkan LPP menjadi dibawah 2,6 adalah tidak berhasil. Tetap bertahan di 2,6 sehingga rata-rata orang Indonesia punya anak yang jumlahnya tiga, bahkan lebih. Bukan dua anak. Padahal, kalau anaknya berjumlah tiga orang, berarti kita menyediakan satu paket lagi untuk setiap keluarga Indonesia. Sementara kalau anaknya berjumlah dua, maka itu menjadi ideal. Jadi, saat ini LPP kita sudah dalam tahap krusial. Hanya saja, hal ini sepertinya mengalami kemandekan, sehingga kita perlu mencari cara lain yang harus dilakukan untuk mengerem LPP, selain KB, tapi juga mindset, kesejahteraan, pendidikan menyeluruh dan jaminan kesehatan,” jelas Abidinsyah dalam wawancara eksklusif dengan penulis usai acara.
Sementara itu, hasil Survei Angkatan Kerja Nasional periode 2004 – 2014 menunjukkan peningkatan proporsi penduduk usia produktif (15 – 64 tahun) dan diikuti dengan penurunan proporsi penduduk usia nonproduktif (0-14 tahun dan 65 tahun keatas) akan menyebabkan penurunan rasio ketergantungan. Diperkirakan, jumlah penduduk usia produktif akan semakin meningkat pada tahun-tahun mendatang. Dengan catatan, faktor kesehatan dan kualitas SDM mendukung terjadinya hal tersebut.
Selain itu, jumlah penduduk usia produktif yang bekerja semakin meningkat, tapi masih ada sejumlah penduduk usia produktif yang masih jadi pengangguran. Dengan proyeksi-proyeksi tersebut, Indonesia pada tahun-tahun mendatang dipercaya akan mendapatkan keuntungan dari kondisi Bonus Demografi.
Pada rentang 2020 – 2030, BKKBN memperkirakan, Indonesia akan memiliki jumlah penduduk dengan usia produktif yang harus dimaksimalkan agar dapat mengurangi kebutuhan dari penduduk usia nonproduktif.
Para ahli memperhitungkan, pada 2025, akibat cairnya es di kutub lantaran perubahan iklim (climate change) sebagai rentetan pemanasan global (global warming), maka yang paling menderita adalah negara-negara yang berada di garis khatulistiwa. Alasannya, air laut akan naik. Dampaknya, untuk Indonesia saja, diperkirakan bakal kehilangan sebanyak 2000 pulau akibat tenggelam. Dengan begitu, otomatis batas wilayah Indonesia akan juga hilang, alias menyempit. Sementara, jumlah penduduknya itu sendiri sudah banyak, maka makin sesaklah hidup di Indonesia.
“Karena itu, kesadaran bersama perlu tumbuh dari seluruh rakyat Indonesia bahwa, cita-cita setiap kita akan dapat terwujud ketika kita mulai dari yang kecil. Melangkah, kalau rasanya sudah memungkinkan maka ayo kita tambah tanggung-jawab kita. Bentuknya apa? Bisa berupa menambah biaya untuk anak, atau bisa juga menambah anak tetapi biaya tidak bertambah. Nah, lalu melangkah lagi. Hitung lagi, apakah uang yang kita miliki sudah bisa untuk dibagi kepada tiga anak, atau tidak? Kalau uang yang dimiliki dipaksa untuk dibagi tiga, bisa jadi yang dua anak akan bernasib tidak dapat melanjutkan sekolah, maka kalau begitu, pilihannya adalah cukup memiliki dua anak saja, tapi dengan catatan semuanya bisa menjadi orang-orang yang berhasil dan sukses. Inilah yang namanya tanggung-jawab,” tutur Abidinsyah yang mengawali karir sebagai Dokter Puskesmas di Kabupaten Dairi, Sumatera Utara ini.
Ia mengingatkan, betapa beratnya kewajiban orangtua terhadap anak-anaknya. “Tanggung-jawab orangtua tidak hanya melahirkan anak, tapi juga memastikan bahwa mereka akan menjadi anak-anak yang sakinah mawaddah warahmah, yang dengan doa dari anak-anak kita yang saleh dan salehah ini, maka nantinya insya Allah kita akan sampai ke surga. Sementara dengan doa kita saja, kita ini belum tentu bisa masuk surga,” terangnya.
Abidinsyah menyampaikan solusi, demi menghindari Bonus Demografi berubah menjadi Bencana Demografi. Yaitu, harus ada kesadaran bersama, untuk kembali melakukan pembatasan jumlah kelahiran anak.
“Harus ada kesadaran bersama, bahwa Indonesia ini adalah Negara Kesatuan, Negara Keluarga, Negara Budaya yang berasaskan Pancasila, dan kita sudah sepakat meski berbeda-beda tetapi tetap satu dengan konsep Bhinneka Tunggal Ika. Maka ke-Ika-an itu harus nyata di masyarakat kita. Apa ke-Ika-an itu? Tak lain adalah kerelaan kita untuk merasakan kebahagiaan bersama. Kita lihat, dimana-mana, ada yang tidak beruntung, ada yang kurang beruntung, ada yang sangat papa, ada dhuafa, ini kan seharusnya tidak terjadi pada negara dengan konsep Bhinneka Tunggal Ika. Ke-bhinneka-annya okey, inilah yang nyata terlihat, tapi ke-Ika-an itu adalah tujuan mulianya. Kita berawal dari ke-bhinneka-an, tapi sesungguhnya kita menuju ke satu Ika-an, yakni rasa senasib sepenanggungan. Kalau sudah seperti itu, mari kita jawab, kebutuhan negeri ini apa, ketika kemampuan ekonomi kita terbatas dan terus terbatas, maka yang bisa kita lakukan sekarang adalah batasi kelahiran,” papar mantan Sekretaris Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) ini.
Menurut Abidinsyah lagi, membatasi kelahiran anak berimplikasi pada target menjadikan keluarga berkualitas, sekaligus mencetak generasi emas, dan berpartisipasi aktif didalam pembangunan bangsa.
“Membatasi kelahiran bisa dilakukan oleh semua orang, bisa dilakukan semua keluarga. Tanpa harus kaya, sekolah atau tidak sekolah, juga tidak ada hubungannya dengan pengetahuan, teknologi, dan sebagainya. Hanya bermodalkan kesadaran, bermodalkan kebersamaan, maka dia sudah bisa ikut serta didalam pembangunan. Hal yang demikian tidak harus bertentangan dengan keyakinan keagamaan. Allah SWT tidak akan membuat kita berdosa karena kita tidak memiliki anak banyak, tapi Allah SWT akan meminta pertanggung-jawaban dari apa yang kita buat. Itu jelas. Nah, kalau kita membiarkan anak kita terlantar, bagaimana itu pertanggungjawabannya? Makanya, siapa yang akan membuat kita bisa masuk ke surga atau tidak ke surga, ya bukan kita, tapi anak-anak kita. Subhanallah,” urai mantan Direktur Bina Pelayanan Kesehatan Tradisional, Alternatif dan Komplementer Depkes RI ini.
Akhirnya, saat ini perlu digugah kembali kesadaran untuk mengikuti program Keluarga Berencana, yang nyatanya relatif mulai kurang diperhatikan.“Indonesia hanya bisa maju kalau penduduknya terkendali dan pertumbuhan ekonominya lebih cepat daripada pertumbuhan penduduk,” tukas Abidinsyah yang kini tinggal di bilangan Halim, Jakarta Timur.
Tangsel, Tuan Rumah Harganas XXII
Sementara itu, Walikota Tangsel Airin Rachmi Diany SH MH yang juga menjadi pembicara, menyampaikan kesiapan Kota Tangsel sebagai tuan rumah pelaksanaan Hari Keluarga Nasional (Harganas) ke-XXII. Harganas tahun ini mengusung tema: ‘Harganas Merupakan Momentum Upaya Membangun Karakter Bangsa Mewujudkan Indonesia Sejahtera’. Adapun motto-nya, ‘Keluarga Berkarakter, Indonesia Sejahtera’.
“Tahun lalu, saya memberanikan diri dan mengajukan diri kepada Gubernur Provinsi Banten, untuk supaya Kota Tangsel bisa menjadi tuan rumah pelaksanaan Harganas yang ke-XXII. Ini menjadi moment yang sangat penting karena akan hadir, seluruh kawan-kawan dari Kabupaten/Kota se-Indonesia, juga Bapak Presiden maupun Wakil Presiden. Di usia Tangsel yang ketujuh ini, kami siap dan percaya diri karena semua fasilitas sudah siap dan tersedia untuk menyelenggarakan event dengan skala nasional,” tegas Airin.
Menurut ibu dua anak ini, kegiatan Harganas bertujuan meningkatkan komitmen Pemerintah dan Pemerintah Daerah tentang pentingnya membangun pembangunan keluarga serta mengingatkan keluarga mengenai peran dan fungsi keluarga dalam rangka mewujudkan keluarga kecil yang berketahanan dan sejahtera.
Dalam paparannya Airin menjelaskan, kegiatan Harganas XXII sudah mulai dilaksanakan sejak Selasa (28 Juli 2015), dengan kegiatan berupa persiapan dan pengamanan. Dilanjutkan pada Rabu (29 Juli 2015) pagi, yang akan diisi antara lain dengan pemecahan rekor MURI 22 ribu pembacaan ikrar remaja penundaan usia perkawinan di Lapangan SmartFren, TerasKota, BSD; dilanjutkan dengan Seminar Peduli Kesehatan Ibu di Puspiptek, Serpong; Seminar Nasional Pembangunan Keluarga sebagai Implementasi Pembangunan Karakter Bangsa di Hotel Atria, Gading Serpong; dan sore harinya dilaksanakan Temu Kader terkait Harganas.
Pada Kamis (30 Juli 2015), rencananya akan dimulai dengan kegiatan Pembukaan Pameran dan Gelar Produk UPPKS, Pembangunan, dan Pasar Rakyat; Pameran Batu Mulia Nusantara; Festival Anggrek; Bakti Sosial Pelayanan Keluarga Berencana; Festival Palang Pintu; Kuliner; dan Jazz, serta masih banyak lagi. Semua terkonsentrasi di Lapangan Sunburst, BSD City.
Untuk Jumat (31 Juli 2015), ada acara Senam Keluarga Indonesia dan Gerak Jalan 5.000 peserta di Lapangan Cilenggang, Serpong; lalu pada sore harinya Pawai Budaya Nusantara di Lokasi Car Free Day, BSD City; dan Gala Dinner/Welcome Dinner di malam harinya.
Pada Sabtu (1 Agustus 2015), merupakan acara puncak peringan Harganas XXII, yang dijadwalkan akan dihadiri Presiden RI Joko Widodo beserta Ibu Negara Iriana Widodo. “Acara puncak Harganas ke-XXII akan dilaksanakan pada 1 Agustus, di Lapangan Sunburst, BSD City, Tangsel. Di sana, akan ada panggung utama yang diisi dengan berbagai kegiatan termasuk pameran. Rangkaian acaranya, mulai dari seminar kesehatan, pemecahan rekor MURI 22 ribu pembacaan ikrar remaja penundaan usia perkawinan, pameran gelar dagang, pemberian sembako kepada 6.813 keluarga prasejahtera, pemberian hadiah sepuluh program PKK, kesenian Palang Pintu yang merupakan ciri khas Tangsel, penampilan Lenong, festival kuliner, pergelaran musik jazz, senam sehat dan gerak jalan bersama 5.000 peserta, pawai budaya nusantara, gala dinner dan welcome dinner bersama Dik Doank. Sedangkan acara puncak Harganas antara lain akan diisi dengan pembagian Kartu Indonesia Pintar, Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Sejahtera, juga pemberian hadiah-hadiah lainnya. Penutupan Harganas dilaksanakan pada 1 Agustus, dengan pameran gelar dagang juga hiburan,” ujar ibu dua anak, Ghifari dan Ghefira ini.
Airin juga menjelaskan, berbagai kegiatan sosialisasi yang telah dilakukan jajarannya bersama seluruh elemen masyarakat. “Diantaranya, melakukan kerjasama dengan BKKBN dan DPR RI, untuk menyelenggarakan diskusi mengenai pernikahan usia dini di Kampus Institut Ilmu Qur’an (IIQ), Ciputat. Pernikahan usia dini ini sangat mengganggu karena dapat memulai sesuatu yang tidak baik. Tetapi, apabila calon ayah dan calon ibu sudah dalam usia matang, maka hasilnya akan menjadi keluarga yang lebih baik. Selain itu, kami juga telah melakukan sosialisasi pentingnya keluarga kecil sejahtera, kami juga menerjunkan tim yang bekerja di lapangan bersama masyarakat dan swasta, kami melakukan juga gerakan-gerakan dalam rangka untuk mengurangi angka kelahiran,” urai Airin seraya menyebutkan, bahwa ada 5.000 kader Posyandu se-Tangsel yang merangkap kader Pos KB, dan intinya membantu Pemerintah dalam hal mewujudkan Program Keluarga Berencana.
Airin menambahkan, jumlah penduduk Tangsel saat ini, meningkat dari 1,2 juta menjadi 1,4 juta jiwa. Angka ini merupakan jumlah penduduk yang tertinggi se-Provinsi Banten. “Tapi setelah kita teliti, peningkatan jumlah penduduk ini bukan karena angka kelahiran, melainkan akibat arus urbanisasi. Apalagi, setelah musim Lebaran seperti saat ini, tentu akan lebih banyak lagi orang dari daerah datang ke Tangsel,” tutur walikota kelahiran Banjar, 28 Agustus 1976 ini.
Sekadar informasi, di usianya yang ketujuh, Kota Tangsel telah banyak meraih prestasi. Beberapa diantaranya, terkait masalah (administrasi) kependudukan. Misalnya, pada tahun 2013, Tangsel didaulat menjadi satu dari tiga Kota terbaik di Indonesia dalam hal pengurusan Akta Kelahiran oleh Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI), penetapan Kota Tangsel sebagai Kota Layak Anak (KLA) tingkat Pratama dari Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada 2013, bahkan Walikota Airin Rachmi Diany telah meraih penghargaan Manggala Karya Kencana dari Pemerintah Pusat melalui Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada Harganas ke-XX di Sulawesi Tenggara tahun 2013 lalu. Lainnya lagi, Walikota Airin Rachmi Diany yang meraih penghargaan Anugerah Parahita Ekapraya (APE) 2014, kategori Madya yang secara simbolis diberikan langsung oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yambise.
Turut berbicara, Direktur Analisis Dampak Kependudukan BKKBN Pusat, Suyono Hadinoto MSc. Menurutnya, Harganas menjadi satu upaya untuk mengingatkan kembali betapa pentingnya sebuah keluarga. Karena, keluarga adalah institusi terkecil yang menjadi tempat internalisasi atas delapan fungsi keluarga yang bisa disemaikan dalam sebuah keluarga. Sekali lagi, keluarga adalah institusi terkecil, tapi sekaligus merupakan institusi terpenting, karena dari keluarga bermuara semua kepribadian, kebudayaan, perilaku dan moral seseorang.
“Ketika kita bicara tentang Revolusi Mental dan pembangunan SDM, maka hal itu akan sangat jauh dari yang diharapkan jika kita tidak memperhatikan pembangunan keluarga. Selain itu, keluarga juga menjadi hal yang penting dalam menciptakan human security terutama di Jakarta. Ironisnya, setelah saya analisa lebih jauh hingga ke lapangan, menurunnya human security di ibukota terjadi karena anak-anak yang broken home, dimana jumlah mereka cukup tinggi yaitu 80 persen. Bahkan, tidak sedikit anak-anak yang ketika ditanya “Kamu siapa?”. Mereka hanya menyebut namanya, tanpa tahu siapa pula ayah dan ibunya. Inilah produk dari keluarga yang broken home, yang ujungnya berimbas pada menurunnya human security di kota-kota besar,” urai Suyono.
Ketika banyak pihak menyuarakan pentingnya revolusi mental, menurut Suyono, wujudnya bisa berupa perubahan perilaku yang serba kurang peduli dan individualis kepada kegotong-royongan dan perilaku peduli pada orang lain. “Tapi, bagaimana seseorang itu peduli dengan orang lain, peduli pada keluarga lain, apabila diri dan keluarganya sendiri saja masih bermasalah. Artinya, revolusi mental harus berlandaskan keluarga kecil berketahanan dan sejahtera,” tuturnya mantap.
Penyerahan kumpulan tulisan Kompasianer Tangsel
Di sela acara, ada penyerahan “bingkisan” untuk Walikota Tangsel Airin Rachmi Diany, berupa kumpulan sebanyak 45 tulisan Kompasianer Tangsel, yang diberi titel ‘Mata Pena’ Untuk Tangsel Lebih Baik. Kliping setebal 322 halaman ini adalah karya tulisan 11 Kompasianer yang bermukim di Kota Tangsel dan sekitarnya. Adalah KompasianerNgesti Setyo Moerni yang menyampaikan langsung kumpulan tulisan dengan beragam tema seputar Kota Tangsel ini, langsung kepada Walikota Airin. Tepuk tangan para hadirin pun membahana, sebagai bentuk apresiasi bagi ide cerdas Kompasianer Tangsel.
Bagi Walikota Tangsel Airin Rachmi Diany, media sosial blog sekaliber Kompasiana, bukan sesuatu yang asing lagi. Maklum, Walikota Airin sebenarnya adalah juga seorang Kompasianer. Tercatat, ia bergabung dengan Kompasiana sejak 9 Februari 2010.
Sukseskan pelaksanaan Harganas XXII tahun 2015 di Kota Tangsel … !
o o o o O o o o o
Foto #1. Para pelaku pembunuhan wartawati media online Nur Baety Rofiq. Para pelaku masih berusia muda. (Foto: kompas.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H