Proyeksi jumlah penduduk lansia pada 2010 adalah sebanyak 18,1 juta jiwa. Angka ini akan meningkat tajam hingga 167,2% pada 2035 menjadi 48,2 juta jiwa. Pada 2010 itu pula, Indonesia termasuk lima besar negara dengan jumlah penduduk lansia terbanyak di dunia, sekaligus sudah mendekati aging population. Usia harapan hidup secara nasional juga naik dari 70,6 tahun (2010) menjadi 72 tahun (2014). Seiring dengan itu, persentase penduduk miskin Indonesia pada 2014 mencapai 11,25% atau 28,28 juta jiwa.
Paparan aktual seputar masalah kependudukan yang disampaikan Abidinsyah kemudian bermuara pada Kerangka Konsep Pembangunan Keluarga. Ada tiga flowchartyang dimunculkan, yakni INPUT yang merupakan masalah kependudukan itu sendiri, mulai dari kuantitas, kualitas, hingga masalah keluarga, misalnya pernikahan/perceraian dini, kemiskinan, stunting, Narkoba/NAPZA, seks bebas, hingga aborsi.
Lalu ada PROSES, yang tak lain adalah pola pembinaan keluarga masa depan itu sendiri. Didalamnya terdapat kolaborasi harmonis antara Pemerintah dengan masyarakat. Mulai dari penyelenggaraan pendidikan formal/informal, optimalisasi fungsi dan siklus keluarga, lalu ada juga pendidikan berbasis masyarakat.
Masih didalam PROSES, terdapat sejumlah program kegiatan yang dilaksanakan oleh BKKBN, mulai dari Bina Keluarga Balita (BKB); GenRe alias Generasi Berencana; Lansia Tangguh; Bina Keluarga Lansia (BKL); serta, pemberdayaan ekonomi keluarga melalui kelompok Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS).
Dari INPUT yang kemudian mengalami PROSES, akhirnya terwujud OUTPUT atau hasil yang diharapkan. Ada misi didalamnya yaitu menciptakan Keluarga Berkualitas (kualitas anak, remaja, Lansia, dan kesejahteraan keluarga), sedangkan visinya adalah Keluarga Kecil yang Berketahanan dan Sejahtera.
“Keluarga adalah unit terkecil di lingkungan. Tapi yang kita tuju adalah keluarga berkualitas. Dan ketika disebut berkualitas, maka bertambah definisinya menjadi yang dibentuk berdasarkan ikatan yang sah, baik secara agama, hukum maupun adat. Jadi, tidak cukup hanya berhenti pada kata ‘keluarga’, tapi harus ‘keluarga yang berkualitas’. Nah, keluarga yang kita ingin wujudkan adalah keluarga yang menjadi lingkungan pertama dan utama bagi keluarga itu dalam pembinaan tumbuh kembang anak-anak, menanamkan nilai-nilai moral dan kepribadian. Keluarga ini juga menjadi tempat belajar bagi anak, apalagi di sana ada ibu yang akan menjadi ‘gurunya’. Guru utama bagi seorang anak manusia adalah orangtuanya, terutama sang ibu, untuk mengenal kehidupan lingkungan maupun sosial,” urai alumnus International Diplome in Health Service Management di Perth Australia, dan meraih gelar S2 Kebijakan Kesehatan di Universitas Sumatera Utara (USU) dengan Cum Laude ini.
Ia menambahkan, keluarga berkualitas akan menjadi benteng dari berbagai tantangan kehidupan yang negatif. Sebaliknya, bila keluarga gagal. Maka faktor lingkungan yang akan memainkan peran sekaligus mempengaruhi seseorang. Baik atau buruk, terpulang kepada faktor lingkungan itu sendiri. Ironisnya, sebuah studi membuktikan, faktor lingkungan jauh lebih besar perannya dalam membentuk watak dan kepribadian seseorang, daripada faktor keluarga. Tak pelak, kasus pembunuhan wartawati online, dan penyekapan sekaligus pemerkosaan seorang siswi MTs, menjadi fakta tak terbantahkan tentang kegagalan menciptakan keluarga berkualitas, dan dahsyatnya faktor pengaruh lingkungan yang buruk, telah menyeret para remaja bertindak melanggar hukum.
“Hanya keluarga kecil yang berketahanan dan sejahtera yang mampu menepis semua tantangan dari luar. Jadi, bukan siapa-siapa, tapi keluarga. Saat ini, tantangan tidak lagi menunggu di luar rumah, karena tantangan saat ini sudah masuk atau justru kita ajak masuk ke dalam rumah, yaitu internet. Meskipun sebenarnya ini tergantung dari ketahanan anak-anak dalam memanfaatkan teknologi informasi termasuk internet secara positif. Disinilah peran keluarga atau orangtua sangat berpengaruh terhadap kepribadian anak. Faktor keluarga menjadi teramat menentukan untuk menghadapi banyaknya tantangan yang dihadapi anak-anak. Kalau peran keluarga ini gagal, maka faktor lingkungan dari luar akan memainkan perannya, dan sebuah hasil studi membuktikan bahwa faktor lingkungan ternyata jauh lebih besar perannya dalam membentuk watak dan kepribadian seorang anak, dibandingkan dengan apa yang bisa dilakukan oleh ayah maupun ibunya sendiri. Tapi, kalau sejak anak-anak masih kecil sudah dibentengi dengan pola pembinaan yang baik dari kedua orangtuanya maka anak-anak kelak akan mudah menepis berbagai tantangan negatif yang datang dari luar. Disinilah, kata kuncinya yaitu membangun keluarga berkualitas,” tutur pria kelahiran Banda Aceh, 25 Mei 1957 ini.