Bibit-bibit pohon bakau atau mangrove itu berjajar rapi. Memang, belum seberapa menjulang batangnya. Baru sekitar satu meter tingginya. Tapi daunnya yang hijau dan terkesan licin kelihatan mulai bakal rimbun. Pada bagian akar, terbungkus bronjong kawat yang dibungkus plastik hitam. Didalamnya tentu berisi lumpur subur sebagai media tanam.
Apa yang saya saksikan di Hutan Mangrove Taman Wisata Alam (TWA) Angke Kapuk, Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara, pada Minggu, 28 Juni 2015 kemarin, memang menentramkan hati. Bagaimana tidak? Penanaman bibit pohon bakau terlihat sengaja dilakukan secara berkelompok. Ada yang ditanam oleh instansi Pemerintah, perusahaan swasta, juga kalangan kampus dan sekolah. Papan-papan nama bertuliskan nama kelompok yang menanam pohon bakau terlihat jelas. Menjadi prasasti, bahwa mereka pernah bersama-sama menyelamatkan bumi, meski hanya menanam sebatang bibit pohon bakau.
Kelak, bibit-bibit pohon bakau yang ditanam akan menjulang besar, dan mampu menjadi rumah yang nyaman, bagi para penghuni air payau di garis pantai, mulai dari ikan (kebanyakan yang saya lihat adalah jenis ikan belanak dan gurame), burung belibis, bangau, biawak, dan masih banyak lagi. Tak aneh bila berkunjung ke TWA Angke Kapuk ini, kita dapat menyaksikan biawak-biawak berukuran besar dan kecil, asyik bermunculan dan tak lama kemudian segera berenang dan menyelam.
Fungsi pohon atau hutan bakau tentu tidak cuma itu. Masih banyak lagi lainnya. Situs satwa.net membagi fungsi tersebut menjadi lima kategori.
Pertama, fungsi pohon bakau secara fisik:
- menjaga garis pantai tetap stabil dari abrasi air laut.
- menahan sedimen secara periodik hingga terbentuk lahan baru.
- melindungi pantai dari proses erosi.
- sebagai kawasan penyangga proses rembesan air laut ke danau, juga sebagai filter air asin menjadi air tawar.
Kedua, fungsi kimia pohon bakau:
- tempat terjadinya proses daur ulang oksigen.
- penyerap karbondioksida.
- pengolah bahan-bahan limbah hasil pencemaran industri dan kapal di laut.
Ketiga, fungsi biologi hutan bakau:
- kawasan berkembangbiak bagi burung dan satwa.
- sumber plasma nutfah dan sumber genetika.
- habitat alami bagi berbagai jenis biota darat dan laut.
- penghasil bahan pelapukan yang menjadi makanan penting bagi invertebrata kecil yang juga berperan sebagai sumber makanan bagi hewan yang lebih besar.
- kawasan pemijahan (spawning ground) dan daerah asuhan (nursery ground)
- daerah mencari makanan (feeding ground) bagi plankton.
Keempat, fungsi ekonomi hutan bakau:
- sebagai bahan baku industri.
- penghasil bibit ikan, udang, kepiting, dan telur burung serta madu (nektar).
- penghasil kayu bakar, arang serta kayu untuk bangunan dan perabot rumah tangga
Kelima, fungsi wisata hutan bakau:
- kawasan wisata alam pantai untuk membuat trail mangrove.
- sumber belajar bagi pelajar.
- lahan konservasi dan lahan penelitian.
Selain pembibitan pohon bakau, ketika memasuki area TWA Angke Kapuk---yang terletak di sisi kompleks Yayasan Bunda Tzu Chi Indonesia di Jalan Pantai Indah Kapuk Boulevard---, pengunjung dapat terlebih dahulu menyaksikan beberapa jenis pohon bakau.
Misalnya, Bakau Merah atau yang biasa disebut Slindur, dan Tongke Besar. Nama latinnya adalah Rhizophora Stylosa Griff. Bakau jenis ini sangat umum dijumpai karena mempunyai penyebaran yang sangat luas. Mangrove dengan akar tongkat ber-lentisel untuk bernapas ini tingginya dapat mencapai 20 meter.
Beruntung, pengelola TWA Mangrove menyediakan papan informasi mengenai jenis-jenis bakau berikut cirinya. Dengan begitu, saya bisa mencatat jenis bakau berikutnya yaitu Rhizophora Mucronata Lam. Biasanya, disebut juga dengan Bakau Besar atau Bakau Genjah. Hebatnya, bakau ini bisa mencapai setinggi 25 meter.
Ada lagi, yang biasa disebut Tancang, Timur, atau Lindur. Nama latinnya adalah Bruguiera Gymnorrhiza. Bakau ini memiliki akar lutut dan muncul di permukaan tanah. Bila dalam kondisi baik, bakau yang bunganya merah, dengan buahnya yang hijau, memanjang ramping ini, dapat mencapai tinggi 25 hingga 35 meter.
Sedangkan Avicennia Alba Blume dan A Marina, atau biasa dikenal dengan Api-Api, memiliki daun pada sisi atas berwarna hijau muda, sedangkan bawahnya abu-abu keperakan. Bunganya kecil berwarna Oranye, buahnya bulat agak berbulu dengan panjang sekitar 2,5 – 4 cm, berwarna kuning kehijauan. Akarnya berbentuk cakar ayam ber-pneumatofora untuk bernapas. Tinggi A Alba bisa mencapai 15 meter, dan A Marina lebih pendek, 12 meter.
Meski demikian, jangan anggap penanaman bibit pohon bakau di sini adalah gratis. Untuk setiap satu batang bibit pohon bakau yang akan ditanam, pengunjung dikenakan biaya Rp 150 ribu. Itulah mengapa, umumnya yang melakukan penanaman bibit pohon bakau kebanyakan adalah dari pihak korporat, baik swasta maupun pelat merah. Nah kelak, di kemudian hari, apabila pihak korporat atau institusi tadi hendak mengenang kembali masa-masa penanaman bibit pohon bakau yang pernah dilakukan, mereka dapat kembali menanam pohon bakau. Penanaman yang dilakukan untuk mengenang kembali itu dinamakan penanaman nostalgia, dimana tarifnya adalah Rp 500 ribu, dan berhak memperoleh papan nama informasi yang representatif.
Penanaman bibit pohon bakau yang melibatkan seluruh unsur masyarakat seperti ini tentu sangat menggembirakan. Apalagi, seperti dinyatakan hutanmangrovejakarta.com, Indonesia memiliki potensi mangrove terluas di dunia. Sekitar 18 juta hektar lahan mangrove di dunia, seperempatnya atau 4,5 juta hektarnya adalah milik Indonesia. Ironisnya, dari tahun ke tahun, luas hutan mangrove Indonesia semakin susut. Akibatnya, erosi pantai meningkat, habitat alami rusak, dan ekosistem flora fauna dan biota tertentu terancam punah.
Untuk Jakarta sendiri, berapa luas kawasan mangrove-nya?
Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.667/Kpts-II/1995, luas kawasan mangrove di ibukota mencapai 327,70 hektar. Semuanya, tersebar mulai dari Hutan Lindung Angke Kapuk (44,76 hektar), Suaka Margasatwa Muara Angke (25,02 hektar), Hutan Wisata Kamal Muara (99,82 hektar), Kawasan Mangrove Tol Sedyatmo ( 95,50 hektar), Kebun Pembibitan atau Arboretum Mangrove (10,51 hektar), Cengkareng Drain (28,39 hektar), hingga Transmisi PLN seluas 23,70 hektar.
Meski terkesan luas, namun sesungguhnya pertumbuhan mangrove di Jakarta dianggap kurang memuaskan. Hal ini pernah dinyatakan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, ketika masih menjabat sebagai Pelaksana Tugas Gubernur DKI Jakarta, pada akhir November 2014 lalu. “Pertumbuhan mangrove akan dikembangkan menjadi lebih baik, khususnya di kawasan pesisir Jakarta. Caranya, memperbanyak dan mempercepat proses penanaman, serta menanam mangrove yang sesuai dengan lingkungan setempat,” tutur Ahok yang pada 29 Juni ini merayakan ulang tahun ke-49. #Happy birthday ya Pak Ahok, sukses selalu!
Menyadari kurangnya pertumbuhan mangrove ini, tiada salah apabila kita memberi apresiasi kepada pihak-pihak yang telah bersusah-payah sekaligus merogoh kocek tak sedikit dari kantong demi menanam bibit pohon bakau, dan melestarikannya. Bravo!
Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama ketika memimpin penanaman pohon bakau di Jakarta. (Foto: kompas.com)
Nasib Pepohonan di Ibukota
Selain cerita mangrove di atas, sebenarnya bagaimana nasib pepohonan di Jakarta? Sebelum menjawabnya, saya mengajak pembaca untuk mundur delapan tahun ke belakang, balik ke tahun 2007. Kalau masih ingat, ada kasus yang menjadi ‘derita dan luka’ bagi pepohonan di Jakarta. Waktu itu, proyek moda transportasi Busway, harus menggusur lahan jaur hijau yang ada di separator, tengah-tengah jalan raya.
Salah satu kasus paling menarik terjadi di bilangan Pondok Indah, Jakarta Selatan. Ya, kawasan hunian elite ini cukup melakukan penolakan karena jalur hijau yang ditanami pohon Palem dan membentang elok di sepanjang jalan, segera digusur sebagian. Kasusnya bahkan sampai kepada perlawanan hukum berupa class action dari warga masyarakat yang ditujukan kepada Pemerintah, khususnya Walikota Jakarta Selatan, dengan mengacu UU No.23/1997 tentang Lingkugan Hidup. Inilah bentuk perjuangan warga, yang berlandaskan semangat demi memperjuangkan nasib sebanyak 520 pohon Palem yang rata-rata berusia 30 tahun.
Perjuangan tak menemui hasil memuaskan. Saat ini, sebagian jalur hijau sudah berubah menjadi lintasan jalan Busway. Sedangkan barisan pohon Palem tetap nampak kokoh berdiri, di area jalur hijau yang kian menyempit.
Ya, itu baru satu kejadian. Satu cerita mengenaskan tentang pepohonan yang harus tersingkir dan lenyap atas nama pembangunan dan modernisasi ibukota. Mungkin, buat para pepohonan, peribahasa ‘Sekejam-kejamnya ibu tiri, tidak lebih kejam dari ibukota’, menjadi tepat sekali. Heheheheee …
Aktivitas penebangan pohon di Jakarta. (Foto: okezone.com)
Setelah enam tahun tahun berselang, tepatnya 2013, kejadian yang nyaris sama terulang. Pepohonan di ibukota merana lagi. Kali ini, proyek pembangunan Mass Rapid Transit (MRT) yang menjadi pemicunya. Moda transportasi dengan rute dari Lebak Bulus hingga Bunderan Hotel Indonesia dan berlanjut ke Kampung Bandan ini, mau tak mau harus melenyapkan (sebagian) lahan jalur hijau berikut pepohonan di atasnya.
Hal ini telah diakui manajemen PT MRT Jakarta. Sejak 15 November 2013, penebangan sudah dilakukan. Ada sebanyak 1.560 pohon siap tebang! Untuk pembangunan MRT di Jalan Sisingamangaraja, Jalan Jenderal Sudirman, dan Jalan MH Thamrin, minimal sudah 458 pohon ditebang!
Miris ya? Pas, ketika seluruh dunia memperingati Hari Pohon Internasional pada setiap 21 November, eh … justru di Jakarta, dimulai penebangan pohon demi kelancaran pembangunan proyek MRT.
Tapi, penebangan yang dilakukan bukan asal tebang. Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo kala itu, mensyaratkan bahwa, setiap satu penebangan pohon wajib diganti dengan melakukan penanaman lagi sebanyak 10 pohon baru. Tak ayal, PT MRT pun mematuhi aturan main ini. Penanaman kembali 3.000 pohon baru dilakukan di tujuh titik di Jakarta, yaitu Jalan Swadarma, Taman Bambu, Jalan Rajiman, Jalan Manunggal, Jalan Kumis Kucing, Jalan Asyafiah, dan Jalan Aselih. Adapun jenis pohon-pohon baru yang ditanam, berupa pohon pelindung, yaitu Mahoni, Flamboyan, Bungur, dan Trembesi.
Penanaman pohon-pohon baru sebanyak 10 kali lipat dari pohon-pohon yang ditebang, memang menjadi keharusan. Malah mungkin, seharusnya tidak cukup kalau ‘hanya’ diwajibkan menanam kembali 10 pohon baru. Mustinya, lebih! Lho, kenapa? Marah? Enggak kok.
Begini alasannya. Berdasarkan ilustrasi ‘Angka’ yang dibuat TEMPO edisi 29 Maret 2015, Jakarta ternyata hanya memiliki 6 juta pohon yang berumur lebih dari 15 tahun. Sedangkan dari sisi kebutuhan ideal, Jakarta masih membutuhkan adanya 10 juta pohon lagi. Padahal, angka penebangan pohon di Jakarta, justru semakin memuncak. Pada 2007 (terjadi 518 penebangan pohon), 2010 (223 penebangan), 2011 (865 penebangan), 2012 (825 penebangan), dan puncaknya pada 2013---ketika proyek MRT berlangsung---terjadi 1.560 penebangan pohon.
Proyek MRT memang memangkas 973 pohon di sepanjang Jalan Sisingamangaraja hingga Jalan Jenderal Sudirman. Tetapi, 2.568 pohon baru disiapkan sebagai penggantinya, dimana sebanyak 228 pohon baru sudah ditanam di ruang terbuka hijau Taman Swadarma, Jakarta Selatan.
Oh ya, sebenarnya jenis pohon apa saja yang ada di Jakarta? Ternyata, ada tujuh besar pohon yang mendominasi, mulai dari Akasia (10.055 pohon), Bambu (1.355 pohon), Jati (36.405 pohon), Mahoni (2.709 pohon), Sengon (41.763 pohon), Jabon (21.000 pohon), Jati Putih (4.000 pohon), dan Suren (150 pohon).
Dari data tersebut, sebaran pohon di Jakarta terbagi secara tidak rata: Jakarta Pusat (13.440 pohon), Jakarta Barat (9.515 pohon), Jakarta Utara (500 pohon), Jakarta Timur (56.621 pohon), dan, Jakarta Selatan (36.731 pohon).
Sementara itu, menurut data Dinas Pertamanan dan Pemakaman (DPP) DKI Jakarta, terdapat 3.120 taman di seantero Jakarta. Masing-masing terklasifikasi menjadi Taman Kota, Taman Lingkungan, Taman Interaktif, Jalur Hijau Jalan, Refungsi, dan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Pemakaman. Ya, tugas pokok DPP ini adalah memang melaksanakan pengelolaan pertamanan dan pemakaman. Sedangkan diantara fungsinya adalah melakukan pembangunan, penataan, pemeliharaan dan perawatan taman, jalur hijau, keindahan kota dan makam.
Meski sudah ada instansi yang bertanggung-jawab, misalnya, untuk mengurus RTH, tapi menjadi kewajiban seluruh warga masyarakat Jakarta untuk melestarikannya. Karena, berdasarkan penelitian, terbukti bahwa, seluas 1 hektar RTH yang ditumbuhi sekitar 16 pohon besar, dapat menghasilkan 0,6 ton oksigen untuk 1.500 penduduk per hari. Selain itu, menyimpan 900 meter kubik air tanah per tahun. Juga, mampu menurunkan suhu 5°C hingga 8°C, dan meredam kebisingan 25 sampai 80 persen.
Tapi, wajib dicatat juga, bahwa ternyata rata-rata kedalaman akar pohon itu ternyata hanya menembus sampai 30 sentimeter saja dari permukaan tanah. Makanya tak aneh, kalau data dari Heru Bambang Ernanto, Kepala Bidang Peran Serta Masyarakat Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI akhir tahun kemarin mengungkap, lebih dari 100 ribu pohon di Jakarta ternyata rawan tumbang. Pohon-pohon ini umumnya sudah berusia lebih dari 10 tahun.
Akhirnya, menjadi tantangan tersendiri bagi Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama untuk semakin menghijaukan ibukota. Tugas Ahok, sapaan akrabnya, sudah ada sama-sama kita tahu, yakni Jakarta yang kekurangan empat juta pohon. Itupun, pepohonan yang berumur 15 tahun ke atas. Nah, sudah saatnya kebijakan Pemda DKI Jakarta semakin akrab dengan pohon-pohon yang tersisa. Pembangunan tetap boleh dilanjutkan, tapi sebisa mungkin jangan sampai menebang pohon, apalagi yang umurnya sudah belasan atau bahkan puluhan tahun.
Asal tahu saja, ketika usia pohon sudah 40 tahun, maka volume CO2 (karbondioksida) yang diserap dapat mencapai 1.000 kilogram. Tak hanya itu, satu batang pohon dewasa, setiap harinya mampu menyerap 100 galon air atau 378,54 liter air dari dalam tanah untuk kemudian menyebarkannya ke udara. Bukankah fakta ini sangat baik untuk keterjagaan lingkungan hidup di Jakarta? Belum lagi, bila kita menyadari fungsi pohon, seperti yang sudah dipelajari bahkan sejak duduk di bangku Sekolah Dasar. Pohon berfungsi sebagai produsen yang terkait dengan rantai dan piramida makanan; penahan laju air dan erosi; penjaga kesuburan tanah; penghasil oksigen sekaligus pengurang karbondioksida; dan masih banyak lagi.
Rasanya, dengan tipikal kepemimpinan Ahok yang selalu progresif, nyanyian pilu pepohonan di Jakarta dapat segera berubah menjadi nyanyian ceria. Semoga!
* * * * *
Baca juga tulisan sebelumnya:
Jurus Ahok Atasi Macet Jakarta
Foto #1: Pembibitan pohon bakau di Taman Wisata Alam Angke Kapuk, Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara. (Foto: Gapey Sandy)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H