Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Money

Momentum Indonesia Mandiri dengan Minerba Olahan

23 Juni 2015   22:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:02 512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tak kurang, Sidney Morning Herald edisi 13 Januari 2014 bahkan mengutip pernyataan Chairman Alcoa, Klaus Kleinfeld yang mengatakan, larangan ekspor yang dilakukan Indonesia berdampak pada kapasitas produksi dan refinery China. “China kelihatan gugup dengan kebijakan Indonesia itu. Anda bisa melihat dengan aksi mereka,” tulis koran terbesar di Australia itu. Alcoa adalah perusahan Amerika Serikat yang memproduksi aluminium, dan menempati posisi terbesar ketiga di dunia, setelah Rio Tinto dan Rusal.

Nah, dengan gonjang-ganjing yang berlangsung di Indonesia, tak salah kalau kemudian China mulai bermain mata dengan industri pertambangan bijih mineral mentah, termasuk bauksit ke Filipina.

Sebenarnya, dengan mengekspor mineral olahan---tidak hanya ekspor bijih (raw material atau ore)--, para pengusaha memiliki peluang untuk mengerek pendapatannya. Misalnya, seperti yang diungkapkan Ketua Working Grup Kebijakan Pertambangan Perhapi, Budi Santoso, tentang produk bauksit olahan yang dinamakan wash bauxite. Meskipun dianggap tidak bisa dikategorikan sebagai hasil olahan, karena hanya melewati serangkaian proses sederhana tanpa menghasilkan peningkatan nilai tambah mineral, wash bauxite cukup mendatangkan ‘Apel Washington’ alias dolar.

(Mantan Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas, Faisal Basri usai menjadi pembicara pada Kompasiana Seminar Nasional bertema “Kondisi Terkini, Harapan dan Tantangan di Masa Depan Industri Pertambangan Bauksit dan Smelter Alumina Indonesia”, di Jakarta, Senin (25/5/2015) Foto: Kompasiana)

Sebelum washing, kadar bauksit 2% dan harganya sekitar US$ 10 per ton. Sesudah dilakukan washing, kadarnya naik jadi 15%, sedangkan harganya juga bertambah jadi US$ 23 dolar per ton. “Washing secara konsep termasuk proses tetapi seharusnya tidak dianggap sebagai peningkatan nilai tambah, karena masih kadar bauksitnya saja yang meningkat, dan harganya memang meningkat tetapi linier terhadap kandungan bauksitnya. Kenaikan harga sama dengan kenaikan kadarnya. Ini sih sama saja dengan, bukan nilai tambah. Tapi cuma menyiasati aturan,” tegasnya seperti dikutip pmeindonesia.com.

Kemelut dan Jerit Bauksit

Secara kasat mata, kisruh ekspor Bauksit yang terjadi belakangan kemarin, cukup menegangkan. Empunya kebijakan dan pendukung larangan ekspor barang mentah berdalih---bahkan dengan nada tinggi---, bahwa hal itu sama saja seperti menjual tanah air. Sikap ketidaksetujuan ini mengacu pada UU No.4/2009 tentang Pertambangan, Mineral dan Batubara. Diantara yang menyatakan dukungan atas penolakan ekspor barang mentah, terutama yang terkait dengan mineral dan batubara (Minerba) adalah Ketua MPR RI, Zulkifli Hasan.

Selain itu, Zulkifli tegas menyatakan, sesuai dengan semangat UU No.4/2009, maka diharuskan untuk dibangun smelter di tanah air yang dapat menghasilkan nilai tambah, sekaligus menyerap tenaga kerja. “Untuk jangka pendek, pembangunan smelter tentu tidak memberikan hasil seketika, tapi untuk jangka panjang, jelas hal ini sangat menguntungkan,” katanya.

Guliran kehebohan makin menjadi-jadi, manakala ada semacam tudingan, bahwa dibalik pelarangan ekspor bauksit, justru tercium aroma tak sedap berupa ‘tekanan’ asing yang pandai mengambil keuntungan. Hal ini terutama dilontarkan Mantan Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas, Faisal Basri, yang tanpa tedeng aling-aling menyebut mantan Menko Perekonomian, Hatta Radjasa sebagai biang keladi kekacauan industri bauksit nasional saat ini.

Berbicara dalam acara Kompasiana Seminar Nasional bertema “Kondisi Terkini, Harapan dan Tantangan di Masa Depan Industri Pertambangan Bauksit dan Smelter Alumina Indonesia”, di Jakarta, Senin (25/5/2015), Faisal mengungkapkan bahwa pada awal 2014 lalu, peranan Hatta Radjasa melarang ekspor mineral mentah (raw material) termasuk bauksit sangat besar. Berbagai pembahasan aturan pelarangan ekspor bauksit dibahas di Kantor Menko Perekonomian secara lintas kementerian. Akhirnya, terbitlah Permen ESDM No.1/2014 tertanggal 12 Januari 2014 yang bikin heboh itu.

“Akibat pelarangan ekspor bauksit itu, pasokan sebanyak 40 juta ton bauksit dari industri nasional untuk mancanegara menghilang. Dampaknya, harga saham alumina Rusal, perusahaan milik Rusia, mengalami lonjakan. Mereka untung ratusan juta dolar,” tukas Faisal Basri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun