Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Menulis Mudah, Bacalah Ini

21 Juni 2015   07:22 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:42 2042
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada yang berbeda dengan perjalanan Kompasiana Visit kali ini. Ya, kegiatan mengunjungi PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) di Sunter, Jakarta Utara, pada Rabu, 10 Juni 2015 turut dibumbui satu sessi tentang MENULIS ITU MUDAH.

Sudah pasti, sessi ini sangat ditunggu-tunggu oleh staf TMMIN yang bertugas menerbitkan in-house magazine dan mengelola situs resmi milik korporat. Termasuk, ke-20 Kompasianer yang tergabung dalam rombongan pun, ikut serius menyimak paparan yang disampaikan wartawan senior Kompas, Banu Astono.

Jujur saja, sessi jurnalistik kayak gini cukup membuat saya terkejut, enggak tahu deh kalo teman se-rombongan lain. Karena, buat saya pribadi, ini sessi yang bisa bikin api semangat menulis senantiasa hidup menyala. Paparan tentang ‘Menulis’, tak pernah membosankan. Mungkin, baru akan jadi membosankan, apabila yang menyimak presentasi tentang ‘Menulis’ ini justru mereka yang tidak (suka) pernah membuat tulisan. Mungkin juga cara pandang saya salah, tapi apa yang disampaikan Banu Astono, benar-benar seperti charger battere semangat menulis. Ganbatte!

Sebagai wartawan harian terkemuka yang sudah kenyang pengalaman, Banu mengawali paparannya tanpa berteori tentang jurnalistik yang muluk-muluk. Ia cuma bercerita tentang makna (wawasan) pengetahuan dan ‘kotoran’ ikan Paus.

Hah, ‘kotoran’ ikan Paus?

(Seorang wanita membawa kotoran ikan Paus. Foto: gstatic.com)

Alkisah suatu pagi, Banu mulai bercerita, seseorang sedang olahraga jogging di tepi pantai. Tiba-tiba ia tersandung kerang yang berisi satu mutiara. Ketika jatuh pun, badannya masih terkena ‘kotoran’ (muntahan atau feses) ikan Paus yang teronggok tak jauh dari kerang.

Kepada seluruh peserta yang menyimak, Banu bertanya:

Sudah jatuh tersandung kerang berisi mutiara, orang ini masih terjerembab badannya, tepat di atas ‘kotoran’ ikan Paus. Nah, kalau kita menjadi orang ini, pilih apa yang akan dilakukan?

  1. Kesal, lalu pulang dan membersihkan diri, tanpa mau mengambil kerang berisi mutiara.
  2. Pulang dan membersihkan diri sambil membawa pulang kerang berisi mutiara.
  3. Pulang dan membersihkan diri dengan membawa kerang berisi mutiara, berikut ‘kotoran’ ikan Paus itu juga.

Hampir semua peserta memilih untuk mengerjakan pilihan yang nomor ‘2’. Artinya, pulang dan membersihkan diri dengan membawa serta kerang berisi mutiara. Mereka pikir, ‘ngapain juga musti pulang tanpa membawa kerang berisi mutiara? Atau, ‘ngapain juga musti pulang dengan mengeruk dan membawa serta ‘kotoran’ ikan Paus ke rumah? Aeng-aeng wae kitu ‘mahkalo musti bawa feses ikan Paus!

(Seorang penyelam bercengkerama dengan ikan Paus. Foto: sains.me)

TAPI APA YANG TERJADI?

Banu Astono justru memilih untuk melakukan pekerjaan yang ke-‘3’. Itu berarti, Banu rela pulang, membersihkan diri, tapi sambil membawa serta kerang berisi mutiara, dan onggokan ‘kotoran’ ikan Paus tersebut.

ALASANNYA?

Ya, inilah pentingnya ilmu pengetahuan. Ternyata, Banu paham, ‘kotoran’ ikan Paus, apabila sudah dicuci dengan bersih dan benar, dapat menghasilkan uang senilai ratusan juta rupiah. “Pergilah saya ke pabrik pembuat parfum, minyak wangi. Tahukah Anda-anda sekalian, di pabrik parfum, ‘kotoran’ ikan Paus itu dapat dihargai senilai Rp 800 juta per kilogram!” ujar Banu membuka rahasia. Sementara seluruh peserta diskusi kontan berteriak: “Oooooo….oohhh!”

Menurut Banu, muntahan ataupun feses ikan Paus, ternyata dapat membuat aroma dan kesegaran parfum dapat menjadi lebih tahan lama. Itulah mengapa harganya sangat mahal. ‘Kotoran’ ikan Paus itu dinamakan AMBERGRIS, semacam lilin berwarna kuning-coklat-kehijauan, yang dihasilkan dari dalam usus ikan Paus atau sperma. Ambergris ini fungsinya melindungi ikan Paus dari benda-benda tajam membahayakan ketika mereka menelan makanan.

Di dunia, AMBERGRIS malah disebut-sebut sebagai gold from the sea, emas dari laut! Mahal sekali harganya, memang.

(Banu Astono memaparkan presentasi MENULIS ITU MUDAH. Foto: Kompasiana/Santo)

* * * * *

Itulah manfaat dari ilmu pengetahuan. Kata Banu, siapa sangka onggokan ‘kotoran’ ikan Paus punya nilai ekonomis sebegitu dahsyat? Tapi, dengan wawasan pengetahuan, kita justru memperoleh manfaat luar biasa. “Begitu pula dengan yang namanya MENULIS. Perlu wawasan pengetahuan yang luas dan selalu diaktualisasi. Jelasnya, wawasan dan ilmu pengetahuan sangat menentukan dalam bagaimana kita menulis,” tegasnya.

Dengan wawasan dan ilmu pengetahuan, lanjut Banu, seorang penulis tinggal menentukan pilihan, dirinya itu mau menulis dari sudut pandang yang mana?

“Menulis, menarik atau tidak menarik, bukan karena bakat. Tapi, karena kemampuan memilih kata-kata, kecerdasan, dan bagaimana mengumpulkan data,” tegas Banu yang mengenakan celana hitam, sportif dan padu padan dengan kemeja berbahan jeans.

Banu menambahkan, rombongan Kompasiana Visit ke Pabrik Toyota Sunter 1 ini, apabila ingin menuangkan tulisannya, dapat mengawali dengan menentukan, topik apa yang akan dituliskannya. Mulai dengan mengumpulkan berbagai hal yang ditemui.

“Hal-hal yang sederhana ini dikumpulkan sebagai sebuah fakta. Misalnya, bila kita ingin menulis tentang Toyota, maka tentukan akan menulis dari sisi mana, apakah sisi human, sisi tentang rules, atau sisi teknologi. Tinggal dari tangan kita, semua itu akan keluar dan tertulis. Nah, semua itu bisa menarik untuk kita tulis, asal kita memiliki pengetahuan. Dan kita bekerja dengan hati dan pikiran. Kalau itu kita punya, maka apa yang akan kita tulis menjadi mudah. Jadi menulis itu mudah, tidak ada yang sulit,” ujarnya.

(Rombongan Kompasianer yang beruntung terseleksi menjadi peserta Kompasiana Visit PT TMMIN. Foto: Kompasiana/Santo)

Banu menandaskan, yang pasti, semua orang bisa menulis. “Semua orang itu bisa menulis. Dan bakat itu bukan monopoli untuk bisa menulis. Jadi enggak usah khawatir.”

                        MENULIS ITU MUDAH:

  • Setiap orang pasti bisa menulis.
  • Bakat bukan monopoli untuk bisa menulis.
  • Keterampilan tingkat dasar.
  • Perlu latihan dan keinginan kuat untuk membaca.
  • Cerdas mengolah kata-kata dari realitas atau imajinasi.

                                              Sumber: Presentasi Banu Astono

Penulis yang Baik itu Membaca Novel

Ketika mulai menulis, Banu berujar, segeralah tentukan topik. Tak perlu khawatir bahwa tulisan kita akan menarik, atau malah tidak menarik. Karena, menarik atau tidaknya sebuah tulisan, adalah dalam kerangka berpikir kita saja, yang selebihnya harus diterjemahkan ke dalam bentuk tulisan.

“Segala hal dalam kehidupan yang kita perhatikan, dapat menjadi bahan tulisan. Lalu, ditulis menjadi tulisan yang topiknya harus ditentukan sejak awal. Kita ini mau menulis apa? Menulis itu, menarik atau tidak menarik, adalah dalam kerangka berpikir kita, dan harus bisa diterjemahkan dalam bentuk tulisan,” tutur Banu yang humoris.

Tanpa sungkan, Banu memberi contoh dirinya yang dahulu pernah menjadi wartawan pemula dan kurang memiliki skill jurnalistik yang mumpuni.

“Saya, dulu, ketika baru masuk di Kompas, berada dalam grade terendah. Saya termasuk yang kurang cerdas, juga kurang bisa menulis. Tapi saya belajar, dan saya banyak membaca. Nah, kepada orang-orang yang baru ingin belajar menulis, saya selalu menyarankan kepada mereka untuk membaca Novel. Karena, tanpa Novel, kemampuan menerjemahkan kata-kata akan sangat miskin. Dengan Novel, kita bisa berimajinasi, dan mengumpulkan banyak kata-kata,” saran Banu.

Dilanjutkannya, kalau ingin pandai berimajinasi, bacalah Novel serial bela diri, Kho Ping Hoo. “Karena, Novel ini menerjemahkan nilai-nilai keluhuran, harkat, martabat dan sebagainya. Sangat menarik! Atau, kalau kita ingin menjadi penulis yang sense-nya lebih ke arah kriminalitas, maka bacalah Novel karya John Grisham, tontonlah film serial kriminalitas CSI (Crime Scene Investigation), demi untuk pengayaan kata-kata, pengayaan imajinatif, pengayaan konsep, dan pengayaan kerangka berpikir,” urai Banu.

(Rombongan Kompasianer peserta Kompasiana Visit Pabrik Toyota Sunter 1, Jakarta Utara. Foto: Kompasiana/Santo)

Sebagai penulis, kata Banu, penting untuk melihat secara komprehensif, apa-apa saja yang akan kita tulis.

“Misalnya, saya ingin menulis tentang kondisi bisnis yang sedang memburuk. Maka kerangka berpikir saya adalah menggambarkan masih ada momentum kebangkitan bisnis. Tulisan saya akan saya mulai dengan bercerita mengenai situasi perekonomian global yang tidak menarik, yang belum juga terang. Saya gambarkan lagi situasi dan kondisi politik yang tidak stabil. Saya gambarkan nilai tukar rupiah yang terus terpuruk sehingga membuat situasi bisnis terkapar. Tapi, masih ada tiga momentum untuk kebangkitan bisnis otomotif, yaitu pertama, momentum lebaran sebagai jendela atau ruang terbuka bagi industri otomotif untuk memasarkan produk. Kenapa? Karena pada setiap lebaran, permintaan terhadap mobil baru meningkat sebagai salah satu simbol status. Kedua, setiap tahun ada ajang pameran otomotif internasional. Ketiga, momentum pergantian tahun baru yang biasanya membawa inovasi-inovasi terbaru,” jelasnya.

Dengan langkah-langkah awal menulis yang rapi, maka insya Alloh, tidak akan terjadi kita mengalami kondisi mbulet, atau hanya berputar-putar saja tak tentu arah.

“Itu gambaran mengenai langkah awal dalam menulis, kita perlu menentukan topik, kumpulkan semua bahan atau matei, dan siapkan kerangka tulisannya. Kalau topiknya saja sejak awal kita belum temukan, maka sudah pasti, kita akan mengalami situasi mbulet, alias muter-muter saja enggak keruan. Mirip seperti orang makan mie, enggak tahu mana yang mau ditarik ujungnya,” jelas Banu penuh inspirasi.

(Materi jurnalistik seperti ini musti sering-sering disodorkan oleh KOMPASIANA dalam setiap kegiatannya. Gaya si Oom Banu Astono yang enjoy dan humoris. Foto: Kompasiana/Santo)

Kalaupun tulisan sudah selesai, jangan lupa untuk dibaca kembali.

“Baca kembali hasil karya tulis itu penting, antara lain supaya bahasanya bagus, gagasannya jelas alias tidak semrawut, dan demi untuk menghimpun follower. Selain itu, dengan dibaca kembali, maka kita akan dapat selamat dari misalnya, pihak-pihak lain yang mungkin akan melakukan kriminalisasi terhadap tulisan kita. Inilah pentingnya baca kembali karya tulis kita, sebelum di-publish,” imbuh Banu.   

                        LANGKAH AWAL:

  • Tentukan topiknya.
  • Kumpulkan bahan atau materi yang akan dibuat.
  • Siapkan kerangka besar dari ide tulisan.
  • Kembangkan menjadi bentuk yang menarik untuk ditulis.
  • Baca kembali hasil karya tulis.

                                                Sumber: Presentasi Banu Astono

Biasanya, kata Banu, ada orang yang repot sendiri sebelum menulis. Musti begini dan begitu, termasuk ‘ritual’-nya yang harus ini dan itu. Padahal, untuk mulai menulis, ya kuncinya enggak harus mempersulit diri sendiri.

“Untuk mulai menulis, jangan mempersulit diri sendiri. Mulai saja. Enggak usah mumet mau mulai dari mana, atau bagaimana. Karena kalau pertama memulai saja kita sudah mumet, ya akhirnya malah enggak bisa ketemu. Jangan juga rumit menuangkan ide-ide pikiran, karena kita berangkatnya dari logika-logika yang salah. Misalnya, ingin menulis yang banyak sekali dan ditumpuk di satu tempat, sehingga akhirnya, bukan pesan yang didapat tapi malah justru kerumitan berpikir,” jelas Banu yang mengaku pernah berkunjung ke Museum Toyota di Jepang.

                          HAMBATAN MENULIS:

  • Kesulitan atau mumet untuk memulai.
  • Rumit menuangkan ide-ide pikiran.
  • Tak menemukan kata pembuka kalimat/pilihan kata.
  • Miskin kata/kalimat/kiasan/minat baca rendah.

                                    Sumber: Presentasi Banu Astono

Ketika menulis, tentukan sejak dini, bentuk tulisan yang akan dituangkan itu adalah berbentuk tulisan seperti apa. Ini penting, karena tulisan Berita, pasti berbeda dengan bentuk tulisan Feature. Tulisan Hobi, jelas berbeda dengan bentuk tulisan yang sudutnya adalah Teknologi. Begitu juga dengan bentuk-bentuk tulisan yang lain.

(Kompasianer Visit Pabrik Toyota berfoto bersama sebelum blusukan di pabrik mesin. Foto: Kompasiana/Santo)

“Beberapa contoh penulisan, bentuknya bisa berupa Berita/Hardnews, Hobi, Feature, Teknologi, dan Bisnis. Tapi intinya, siapapun bisa menjadi penulis seperti Seno Gumira Ajidarma. Jangan lupa itu. Bisa! Semua itu dimulai dari sesuatu yang bodoh. Kita selalu melangkah dengan memulai. Nah, memulai itu, harus bisa. Saya juga dulu tidak mengerti apa-apa. Selama sesuatu itu masih bisa dilihat maka pasti bisa ditulis. Kalau sudah ditulis, maka sudah bisa dimulai,” tuturnya.

                        BENTUK TULISAN:

  • Berita/Hardnews. Berkait dengan berita soal fakta keras dan untuk kepentingan informasi (kejadian).
  • Berkait dengan sesuatu untuk kelompok atau komunitas.
  • Feature. Menyangkut berbagai hal yang berkaitan dengan ketertarikan dan unik sebagai pengetahuan.
  • Sebuah rencana konsep, inovasi produk.
  • Launching produk (tampilan feature), perkembangan pasar, take over pasar dan lainnya.

                                                          Sumber: Presentasi Banu Astono

Menjawab pertanyaan Kompasianer Uli Hape tentang bagaimana menulis fiksi tanpa harus lebih dahulu atau sambil merasakan pedih tersakiti, merindu, atau galau secara nyata? Banu Astono menjawab, kesulitan menulis fiksi dalam keadaan normal dikarenakan si penulis kurang atau tidak mengimajinasi.

“Makanya, jangan berpikir bahwa menulis fiksi itu dapat sukses pada saat ketika penulisnya sedang galau, misalnya. Tulus saja. Orang yang produktif itu berpikir tulus, tapi tetap ada dasar-dasar fakta. Jangan mulai dengan yang berat-berat. Jangan pernah berpikir atau bermimpi menjadi penulis fiksi yang dahsyat. Jadilah diri kita sendiri. Karena itu, baca semua referensi, baca semua novel, baca sesuatu yang sifatnya fiksi, maka keluarkan dengan sesuatu topik tulisan yang misalnya ingin menceritakan tentang betapa kerasnya hidup di Jakarta. Terjemahkan kisah fiksi kita ke dalam kiasan kata-kata yang dalam, dan berbasiskan referensi,” tutur Banu, sang inpirator menulis berkat ambergris-nya tadi. (Heheheheeee … piss yo, Oom Banu!)

Jadi? Menulis itu gampang ‘toh.

Selamat menulis yaaaa

 

* * * * *

 

Many thanks to Kompasiana, PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN), dan Banu Astono.

 

Baca juga:

Menimba Ilmu 'Monozukuri', Melihat Langsung 'Toyota Way'

Sistem Produksi Toyota di TMMIN, Terpelihara dan Terpercaya

Penulis Muda, Bacalah Ini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun