Para petugas Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Sukamiskin, Bandung, menyebutnya sebagai blok TA 01. Kepanjangan dari blok wilayah Timur Atas kamar tahanan 01. Ya, itulah kamar tahanan dimana Bung Karno, Sang Proklamator, menjalani masa tahanan.
Menuju ke blok TA 01, tidak ada perlakuan spesial bagi para pengunjung. Siang itu, Kamis, 11 Juni 2015, saya, bersama rombongan Persatuan Wartawan Indonesia Cabang Jakarta Raya (PWI Jaya) dan sejumlah blogger lainnya, beruntung punya kesempatan masuk ke bekas kamar tahanan Koesno Sosrodihardjo, nama asli Bung Karno.
Sejak baru turun dari bus yang membawa rombongan dari ibukota, informasi sudah disampaikan dari mulut ke mulut untuk tidak membawa kamera dan telepon genggam ke dalam Lapas. Daripada rempong kena geledah di dalam, saya pun mematuhi aturan. Manut, patuh, meskipun rada kesal juga karena dalam hati berkata ”Mau jadi apaan dah atuh” kalau tulisan kunjungan ke Lapas ini tidak dilengkapi foto. Sorry, but nothing I can do.
Ketika pintu besi mulai terkuak dari dalam, saya melangkah masuk. Agak mengangkat kaki, karena pintu tidak dibuka lebar dan lagi, masih ada plang besi pada bagian dasar. Masuk deh saya dan rombongan di Lapas.
Begitu masuk di dalam, ternyata itu sudah merupakan kawasan penjagaan utama. Saya menemui ada dua petugas beratribut lengkap. Petugas di sisi kanan, mewajibkan setiap pengunjung pria, meninggalkan kartu identitas. Saya memilih untuk menyerahkan SIM A daripada e-KTP, heheheee ... bukan apa-apa, tapi karena alasan lebih gampang ditarik aja dari dalam dompet.
Uniknya, hanya pengunjung pria saja yang diharuskan menyerahkan kartu identitas diri. Perempuan? Tak usah menitipkan kartu identitas. Mungkin, karena memang kami datang secara berombongan, dan sudah mencatatkan kehadiran kunjungan Lapas ini jauh-jauh hari sebelumnya. Entahlah, tapi yang jelas, setelah menyerahkan kartu identitas, ternyata kemudian perlakukan terhadap pengunjung pria dan wanita adalah sama. Kami diharuskan mengambil Kartu Tanda Pengunjung yang tertera nomornya, lengkap dengan tali gantungan berwarna merah. Saya memperoleh nomor 274.
Bagian atas telapak tangan pengunjung memang wajib ter-stempel. Kenapa? Karena, tanpa memperlihatkan stempel tersebut, nantinya pada saat hendak akan keluar Lapas, maka stempel ini yang akan menjadi semacam “izin keluar”, exit permit. Nah, coba bayangin, kalau tangan saya tidak “dapat” stempel waktu masuk tadi, maka saya akan terus “mendekam” di Lapas. Eh, jangan deng! Thank you lah yauw …
Di kawasan penjagaan utama ini, nampak sebuah akuarium kaca yang ukurannya besar. Waaah, menyenangkan untuk dilihat. Ikan-ikan beraneka jenis yang hilir-mudik, dan rumput laut menghijau dan berlenggak-lenggok gemulai terkena arus perputaran air yang mengandung oksigen. Airnya bening dan bersih, sehingga seisi akuarium bisa kelihatan. Pikir saya, penempatan akuarium besar di kawasan ini sebagai penghilang rasa tegang, stress, terutama bagi pengunjung yang mungkin pertama kali masuk ke Lapas Sukamiskin ini.
Pokoknya, gegara akuarium itu, dijamin bikin suasana hati yang beku bisa sedikit cair, meleleh (melted) ketika pengunjung menjalani pemeriksaan, termasuk memenuhi kelengkapan persyaratan kunjungannya. Halahhh …
Ya udah, tinggalkan urusan akuarium dan hati yang meleleh. Melangkah dari kawasan penjagaan utama, kita akan langsung berhadapan dengan sebuah taman asri dan terbuka. Di sayap kiri, ada kantin kuliner. Di terasnya ada kursi dan meja kayu bundar, dengan atap payung besar yang melindungi dari sengatan terik matahari. Suasananya jauh dari persepsi menegangkan, apalagi kalau coba memadankan kata Lapas itu sendiri, dengan penjara. Pokoknya, suasananya malah seperti lokasi publik untuk hangout. Bedanya, tidak cuma anak-anak muda saja yang nampak terlihat memenuhi kursi-kursinya.
Keramaian pada sisi sayap kiri ini kelihatannya karena saya dan rombongan hadir pada saat jam makan siang, atau istirahat siang. Ya iyalah, sekian belas menit baru saja lepas dari angka 12.00 siang di arloji saya. Semua orang tampak menikmati kondisi dan suasana, enjoy, makan, minum, bercerita juga berkelakar.
Bergerak ke sisi sayap tengah, nampak bangunan yang mirip lobby utama. Besar. Pada dinding kiri terpampang tulisan Tri Dharma Petugas Pemasyarakatan. Mau tahu apa saja tri dharma itu? Nih, simak ya:
(1). Kami Petugas Pemasyarakatan adalah Abdi Hukum, Pembina Narapidana dan Pengayom Masyarakat.
(2). Kami Petugas Pemasyarakatan Wajib Bersikap Bijaksana dan Bertindak Adil Dalam Pelaksanaan Tugas.
(3). Kami Petugas Pemasyarakatan Bertekad Menjadi Suri Teladan dalam Mewujudkan Tujuan Sistem Pemasyarakatan yang Berdasarkan Pancasila.
Sedangkan pada dinding kanan terpampang tulisan Catur Dharma Narapidana. Apa tuh, catur dharma-nya?
Satu: Kami Narapidana berjanji menjadi manusia susila yang ber Pancasila dan menjadi manusia pembangunan yang aktif dan produktif.
Dua: Kami Narapidana menyadari dan menyesali sepenuhnya perbuatan yang pernah kami lakukan , berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatan yang melanggar hukum.
Tiga: Kami narapidana berjanji untuk memelihara tata karma dan tata tertib, melakukan perbuatan yang utama dan menjadi contoh tauladan dalam Lembaga Pemasyarakatan.
Empat: Kami narapidana dengan tulus iklas bersedia menerima bimbingan , dorongan dan teguran serta patuh taat dan hormat kepada Petugas dan Pembimbing Pemasyarakatan.
Memang sih, tulisan yang ada di Lapas, ya tidak berpanjang-panjang begitu. Tapi, minimal kita jadi paham dong, apa saja isi tri dharma dan catur dharma itu.
Melihat kekarnya besi dan kawah berduri, mudah dipahami, inilah akses keluar dan masuk yang membatasi privacy antara pengunjung dengan penghuni Lapas. Sengaja saya sebut privacy, karena pengunjung punya area lokasi tersendiri, dan penghuni Lapas juga demikian. Meskipun, sepertinya, ketika hari dan jam berkunjung, pintu besi tinggi dan rapat itu sengaja dibuka, untuk mempertemukan para penghuni Lapas dengan keluarga, handai-taulan, dan sanak saudaranya.
Meski pintu besi tinggi dan rapat itu terbuka gemboknya, tapi pengunjung tetap harus menghormati aturan dan tata tertib yang berlaku. Ora iso, tidak bisa, mentang-mentang punya ID Card pengunjung dan tangan ter-stempel, lantas bisa seenaknya berkeliaran. No way, Mas Bro!
Sebagai Lapas ‘Heritage Correctional Facility’
Sebelum melangkahkan kaki ke bekas kamar tahanan Bung Karno, ada baiknya kita semua tahu, Lapas Sukamiskin ini sejak 2010 lalu telah ditahbiskan sebagai aset bersejarah Kota Bandung, sebagai bangunan cagar budaya. Inisiatornya waktu itu adalah Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Jawa Barat. Nah, dengan statusnya sebagai Heritage Correctional Facility ini, LP Sukamiskin diharapkan dapat menjadi salah satu tujuan wisata andalan dari Paris van Java.
Menarik ya istilahnya, LP Sukamiskin adalah destinasi Wisata Lapas! Rada-rada gimanaaa gitu, mendengarnya. Jalan-jalan kok ya malah ke Lapas, heheheheee …
Eits … tapi sebenarnya Wisata Lapas ini bisa positif dan efektif loch. Setidaknya diharapkan berpotensi menekan angka kenakalan remaja. Anak-anak menjelang usia dewasa ini kayaknya penting deh diperkenalkan dengan Lapas. Agar mereka sanggup mengenal konsekwensi, tanggung-jawab dan resiko hidup. Sekaligus, memperlihatkan secara live kepada anak-anak remaja ini, apa dan bagaimana kondisi di dalam Lapas. Hidup dengan fisik diri terkungkung jeruji, tapi jiwa tetap berkelana liar kemana suka. Duh, puitis bingits, Bang Gapey!
Dari situs lapassukamiskin.com diketahui, kepemilikan tanah Lapas ini adalah seluas 146.355 m2. Tanah bangunannya, 54.730 m2. Perumahan Dinas, 9.360 m2. Tanah Pertanian dan Tegalan 70.920 m2, dan lain-lain seluas 11.345 m2. Lapas mulai dibangun pada 1918, dan difungsikan pada 1924. Termasuk yang ikut dibangun adalah Masjid Al Muslih dan Gereja Ebenhaejar. Adapun jumlah sel tahanan yang ada, disebut-sebut mencapai 522 unit. Beberapa sel ada yang berada di bawah tanah, meskipun kini sudah tidak difungsikan lagi.
Ya udah yuk, enggak usah kelamaan. Kita langsung aja menuju ke bekas kamar tahanan Bung Karno. Blok TA 01 dihuni Bung Karno selama sejak Desember 1929, hingga pembebasannya pada 31 Desember 1931.
Ketika melintasi taman nan asri, pada sisi kiri berjajar sejumlah ruangan dengan bangunan dan kaca-kaca jendela yang beraksen tempo doeloe. Sejumlah ruangan nampak tertulis fungsi dan kegunaannya. Mulai dari dapur, hingga gudang. Tumpukan karung beras terlihat dari luar. Sejumlah pegawai Lapas nampak sedang sibuk, sepertinya hendak memasak.
Asyik berjalan perlahan, kami nyaris disalip dua lelaki setengah baya. Seorang mengenakan kaos merah bergaris-garis, nampak santun membalas sapaan dari pegawai Lapas di dekat dapur. Si bapak yang melintas di dekat kami itu membalas sapa dan tertawa.
Kompasianer Nisa yang penasaran bertanya kepada si bapak berkaos warna merah bergaris itu. “Pak, apa bapak pegawai di sini?” Jawaban yang didapat Nisa, dan kami semua yang ikut mendengarnya, cukup membuat hati ini merasa makjleb! Bibir kami juga spontan mingkem! Maklumlah, si bapak itu menjawab, “Oh bukan Mbak. Saya justru sedang ‘bersekolah’ di sini”. Tahu dong, yang dimaksud ‘bersekolah’ di sini maksudnya, ya memang si bapak ini adalah penghuni Lapas di Sukamiskin alias narapidana.
Masuk ke Bekas Kamar Tahanan Bung Karno
Jalan menuju ke blok TA 01 dilanjutkan dengan melintasi lapangan olahraga. Kiri kanan, pokoknya lapangan olahraga yang di-cor semen, tentu cocok untuk basket, volley, bulutangkis, dan futsal. Bersih, rapi, asri, dan sedap dipandang mata, baik lapangan maupun taman hidupnya. Cozy place banget deh untuk cari keringet, alias olahraga.
Sebenarnya, blok Timur LP Sukamiskin, sudah terlihat sejak kami melintas di dekat dapur dan gudang. Begitu makin dekat, ternyata ya memang disitulah letak bekas kamar tahanan Bung Karno. Enggak jauh-jauh amat kok. Begitu masuk lobby yang mirip aula bundar, kami langsung diberi instruksi untuk berbelok ke kiri, dan langsung menaiki anak tangga besi yang panjang.
Saya mulai menghitung ada berapa anak tangga menuju ke atas. ‘Tu ‘wa ‘ga ‘pat … yup semuanya 16 anak tangga, dengan pijakan ke-17 persis ketika sudah sampai dilantai atas!
Sampai di atas, kami disambut akuarium ikan, heheheeee ... Lagi-lagi, akuarium. Ukurannya memang lebih kecil dibandingkan dengan akuarium yang ada di kawasan penjagaan utama. Tapi, menjadi sangat kontras sekali keberadaan akuarium ini dengan suasana selasar sel yang kiri-kanannya berjajar kamar-kamar tahanan. Kontras namun membawa kesejukan mata memandang.
Petugas Lapas yang memandu kami segera membuka pintu besi, mempersilakan rombongan bergantian masuk, tapi dibatasi hanya lima orang saja per ‘kloter’. Saya pun masuk, berbarengan dengan Kompasianer Fawwaz Ibrahim berikut sang ibundanya Intan Rosmadewi, Nisa, dan Yulia Yuli. Beberapa lainnya mengantri giliran masuk di luar sel.
Baru saja masuk di dalam bekas kamar tahanan Bung Karno, Yulia Yuli sudah langsung bergumam, “Aduh, suasananya beda banget ya sama di luar”. Tak berapa lama, ia memilih untuk keluar sel dengan wajah setengah kurang happy, seolah habis melihat dan merasakan getaran ‘sesuatu’ yang tak nampak.
Ah, entahlah apa yang diterawang Yulia Yuli barusan. Toh, saya, Fawwaz, Intan Rosmadewi, juga Nisa, justru asyik melihat-lihat kondisi di dalam bekas sel Bung Karno.
Sel tahanan yang luasnya hanya 3,2 m x 2,5 m ini, berlantai ubin kira-kira ukuran sejengkal tangan orang dewasa. Ubinnya berwarna abu-abu kehitaman, simbol material bangunan masa lalu. Sebenarnya ada dua pintu besi di kamar TA 01 ini. Tapi pintu sebelah kiri dibiarkan terkunci rapat, hanya pintu besi sebelah kanan yang dibuka dengan pengawasan petugas Lapas.
Begitu masuk sel ini, kita langsung disambut tempat tidur, dengan kasur tipis dan sprei warna putih. Tidak diletakkan bantal, apalagi guling. Semua ini ada di sisi kanan sel. Oh ya, jangan bayangkan tempat tidurnya lapang, karena ukurannya hanya cukup untuk seoang penghuni merebahkan diri, dan sedikit space untuk berbalik ke kiri maupun ke kanan. Satu sisi tempat tidurnya menempel pada dinding. Ya iyalah, karena ini sebenarnya adalah ranjang yang dimodifikasi khusus untuk sel. Artinya, kalau sedang tidak dipergunakan, tempat tidur bisa “dilipat” sehingga menempel di dinding. Dinding tembok yang bercat putih, perlambang kesucian.
Kegunaan lain kenapa tempat tidur ini bisa dilipat dan menempel pada dinding, karena ternyata di kolong tempat tidur ini ada kloset. Hmmmm … kebayang ‘kan, ‘gimana jadinya kalau di kolong tempat tidur yang ada di kamar Anda itu, ada juga kloset untuk tempat buang air kecil sekaligus ‘BAB’?
Ini tidak mengada-ada. Beginilah kondisi bekas sel Bung Karno. Hanya saja, kloset duduknya tentu saja sudah bukan yang pernah dipergunakan Bung Karno. Toilet yang ada saat ini, sudah sengaja ditutup kayu tebal pada ‘mulut pembuangannya’, dan sepertinya sudah merupakan kloset produk anyar yang mengkilap licin dan berwarna coklat muda.
Saya berpikir, boleh jadi dulu ini menjadi meja favorit Bung Karno untuk menulis buku yang diterbitkan selama Sang Proklamator menghuni Lapas Sukamiskin, misalnya Buku “Indonesia Menggugat”. Kenapa saya berpikir begitu?
Karena, bila kita melihat ke sisi luar dari jendela yang berhadapan dengan meja kayu ini, nampak pemandangan taman nan asri, dan lapangan olahraga tadi. Di atas meja kayu, ada rak gantung yang menempel di tembok. Sedangkan di atas rak gantung itu, ada patung Burung Garuda lengkap dengan perisai Pancasila di dada. Sangat perkasa!
Beralih ke sisi kiri. Nah, menghadap ke tembok sel sebelah kiri, lagi-lagi ada meja kayu dan bawahnya menjadi seperti rak. Di atasnya ada sejumlah buku yang sudah sangat usang.
Semua buku tentang Bung Karno, termasuk yang pernah ditulis ‘Sang Putra Fajar’ yang akhir-akhir ini menjadi kontroversi soal lokasi kota kelahirannya. Saya mencatat ada buku “Indonesia Menggugat”, “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia”, “Bung Karno Masa Muda” dan beberapa lainnya, termasuk buku “Di bawah Bendera Revolusi”. Meja kayu ini dilengkapi satu kursi kayu dengan sandaran punggung yang terdapat anyaman rotan sebagai bantalannya. Sangat antik!
Buku “Indonesia Menggugat” sebenarnya adalah pidato pembelaan yang dibacakan oleh Soekarno pada persidangan di Landraad, Bandung pada 1930. Bersama tiga rekan lainnya---yakni Gatot Mangkupradja, Maskun, dan Supriadinata---mereka tergabung dalam Perserikatan Nasional Indonesia (PNI). Mereka dikenakan tuduhan hendak menggulingkan pemerintahan Hindia Belanda. Di kamar tahanan TA 01 inilah, Soekarno menyusun dan menulis sendiri pidato tersebut. Belakangan, pidato pembelaan ini menjadi suatu dokumen politik menetang kolonialisme dan imperialisme. Luar biasa!
Di atas meja, lagi-lagi ada poster besar berbingkai kaca. Tapi jujur saja, saya kurang memperhatikan poster tersebut, karena desainnya kurang nyeni, dan terlalu banyak kalimat tertulis. Agak sulit buat pengunjung yang memiliki waktu hanya ‘sekejap’ di dalam sel, untuk memperhatikan tulisan-tulisan yang ada di poster. Di sebelah kanan meja kayu ada wastafel dengan desain jadoel, serta ada juga satu keran besi yang menempel ke dinding. Kerannya berwarna kuning pekat, seperti warna perunggu.
Terus, pada sisi sejajar dengan dua pintu besi, terdapat satu tiang bendera dari kayu. Tegak berdiri dan terpasang Bendera Merah Putih. Dua warna yang selalu dicintai Bung Karno.
Puas melihat-lihat di dalam bekas kamar tahanan Bung Karno, saya segera keluar sel. Terlihat di dekat pintu sel ada poster yang merupakan papan informasi, tertulis dalam dua bahasa, English dan Indonesia. Seperti yang tertulis pada sisi luar pintu besi yang terbuka: Bekas Kamar Bung Karno : The Former Room of Bung Karno. Kepada kami, penjaga Lapas yang memandu menyebutkan, dalam satu blok Timur Atas (TA) ini terdapat 58 kamar tahanan, dan bekas kamar Bung Karno adalah nomor 01, serta tidak boleh ditempati oleh siapapun, kecuali hanya pengunjung yang bermaksud melihat-lihat saja.
Perjuangan Indar Armanto Demi Peroleh Keadilan
Agenda kunjungan rombongan PWI Jaya bersama sekitar 20 blogger dari Jakarta dan Bandung lainnya adalah bersilaturahim dan berdialog dengan Indar Atmanto. Siapa beliau? Pak Indar, begitu ia akrab disapa, adalah penasehat PWI yang kini tengah memperjuangkan kebebasannya.
Indar Atmanto juga merupakan CEO PT Indosat Mega Media (IM2) periode 2006-2012, dan kini masih menjabat sebagai Ketua Bidang Internet dan Data Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) periode 2012-2015, dan sejak Agustus 2011 juga menjabat sebagai Chief Corporate Services Officer PT Indosat Tbk, dan Komisaris Utama PT IM2.
Dalam press release-nya, PWI Jaya menyebutkan, Indar Atmanto adalah salah satu pelopor “internet murah” yang dengan terobosannya membuat Mobile Broadband Internet, sehingga mendapatkan penghargaan internasional dari World Broadband Association (WBA). Selain itu, Indar juga memperoleh penghargaan Satya Lencana Wirakarya dari Presiden RI kala itu, Soesilo Bambang Yudhoyono atas jasa meningkatkan penetrasi internet ke pedalaman Indonesia.
PWI Jaya yang menyatakan dukungan atas pembebasan Indar Atmanro menyatakan, Indonesia saat ini membutuhkan banyak orang seperti sosok Indar Atmanto, yang memiliki keahlian khusus di bidang ICT, yang sejak awal turut berperan aktif dalam upaya meningkatkan penetrasi internet di seluruh pelosok Indonesia.
Semua pihak prihatin dan mendukung kebebasan Indar Atmanto, karena bila kasus ini terus berlanjut tanpa kepastian hukum, tentu akan berdampak serius bagi munculnya “Indar-Indar” lainnya yang telah berjuang keras di industri ICT nasional.
“Kunjungan kami ke Lapas Sukamiskin ini membuktikan bahwa Pak Indar Atmanto tidak sendirian menjalani ujian kehidupan ini. Kami semua ikut merasakan, dan berharap ahar putusan Peninjauan Kembali yang diajukan dapat menghasilkan keputusan yang diharapkan bersama,” ujar Ketua PWI Jaya, Endang Werdiningsih didampingi Ketua Dewan Kehormatan Provinsi (DKP) PWI Jaya, Kamsul Hasan.
o o O o o
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H