Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Penulis Muda, Bacalah Ini

8 Juni 2015   22:09 Diperbarui: 4 April 2017   16:34 7763
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penulis pemula bagai kehilangan muka. Bagaimana tidak? Penulis buku biografi sekaliber Alberthiene Endah “menjewer” penulis pemula yang memiliki tabiat-tabiat buruk. Alberthiene menuangkannya dalam status Facebook–nya, tertanggal 24 Mei 2015.

Emang apa sih yang ditulis Alberthiene?

Eits .., tunggu dulu. Sebelumnya, buat yang masih asing dengan nama Alberthiene Endah, perlu dikasih tahu, kalau penulis sekaligus jurnalis ini, sudah mengeluarkan banyak buku laris. Sebut saja buku biografi orang-orang terkenal semisal Krisdayanti, Anne Avantie, Chrisye, Raam Punjabi, Dwi Ria Latifa, Venna Melinda, Merry Riana, Titiek Puspa, Probosutedjo, Joko Widodo, dan beberapa lainnya. Layak dipercaya kalau ada yang menyebutnya sebagai “biografer yang paling banyak diminta di Indonesia”.

Selain buku biografi, novel yang ditulisnya juga sudah banyak. Diantaranya, novel berjudul “Jangan Beri Aku Narkoba”, yang berhasil memperoleh penghargaan dari Badan Narkotika Nasional (BNN). Sebagai jurnalis, perempuan kelahiran Bandung, 16 September ini pernah mewawancarai Xanana Gusmao, Jennifer Lopez, dan masih banyak lagi.

Artinya, sudah terbayang dong, kapabilitas Alberthiene kalau meluapkan “jeweran”-nya kepada penulis pemula. Ibarat kata, ini bentuk pemberian sanksi dari guru kepada murid yang tidak mengerjakan tugas sebagaimana mustinya.

Nah, kalau sudah ‘kenal’ sedikit banyak siapa Alberthiene, yuk mari kita lanjutkan.

Dalam status di ef-bi itu, Alberthiene menulis, “Banyak penulis pemula datang padaku, mau belajar. Semula aku ogah karena siapalah aku. Mereka bisa berguru pada banyak penulis hebat, bukan aku. Tapi akhirnya ya sudahlah, itung-itung bergaul dengan yang muda-muda”.

Done! Singkat cerita, bisa dong kita bayangkan, Alberthiene mengajarkan ilmu menulis kepada para penulis pemula. Entah berapa lama itu berlangsung, tapi yang jelas, ada beberapa hal yang berhasil disimpulkan Alberthiene, terkait karakter penulis pemula. Kesimpulan inilah yang kemudian menjadi pembelajaran bagi kita semua, terutama mereka yang berminat untuk jadi Penulis Pro. Profesional!

 

Apa saja kesimpulan Alberthiene itu?

Menarik, karena faktanya, 90 persen penulis pemula atau penulis muda yang dijumpai oleh alumnus Sastra Belanda di Universitas Indonesia ini memiliki karakter:

Pertama, ambisius.

Menurut Alberthiene, ambisius itu bagus. Tapi kebanyakan dari mereka tidak sabar dengan proses. Social media memang memudahkan mereka untuk berkenalan dengan banyak penulis senior, penerbit dan penunjang lain di industri buku. Mereka berpikiran, jembatan sudah ada, pasti bakal cepat menanjak kariernya. Padahal, membangun karier menulis adalah perjalanan penuh kesetiaan. Butuh waktu untuk menjadi matang. Butuh jam terbang. Butuh memperkaya pikiran dan pengalaman untuk menghasilkan pola berpikir yang semakin matang.

Kedua, penulis pemula sangat maniak gadget.

Alberthiene menuturkan, beda dengan aku yang biasa menulis puluhan buku dengan laptop tua yang dekil, anak muda zaman sekarang memerlukan penggunaan perangkat modern untuk menulis. Mereka menjunjung tinggi kecanggihan IT (Information and Technology). Ukurannya, makin praktis, cepat, mudah, makin baik. Betul juga. Tapi jangan lupa, menulis bukan tentang bikin notulen yang bakal ditagih direksi lima menit lagi. Menulis adalah tentang kualitas konten. Alat boleh canggih tapi tak pernah bisa mengalahkan kualitas pikiran. So, bangun kekayaan internal berupa pengalaman dan kecerdasan batin.

Ketiga, maunya mereka, hari ini langsung jadi superstar!

Dengan nada serius, Alberthiene menyatakan, satu nasehat bagi para penulis pemula, kalau mau nge-top cepat, terjunlah dari jembatan layang. Dalam dunia menulis, tidak ada rumus nge-top dalam tempo singkat. Menulis bagus saja butuh waktu. Sudah terbit pun belum tentu disambut hangat oleh publik. Sekolah kehidupannya banyak.

Keempat, penulis pemula itu kebanyakan memiliki karakter fanatisme bodoh!

Waduh, sampe segitunyakah? Jujur, Alberthiene mengungkapkan, fanatisme bodoh ini banyak banget ditemuinya. Anak-anak muda itu nge-fans pada salah satu penulis, misalnya yang dianggap cerdas bernas. Begitu fanatiknya sampai berani men-judge, menghakimi, bahwa penulis lain bodoh. Padahal mereka belum tentu lebih pintar dari penulis yang mereka bilang bodoh. Pesan moralnya, mengkritik perlu kedewasaan dan bobot diri. Pernah suatu ketika, Alberthiene setia mendengarkan seorang penulis muda yang sibuk memuji penulis idolanya, dan tak lupa mencerca sejumlah penulis lainnya.

Lalu Alberthiene bertanya: Oke, bisa enggak cerita inti dari buku ini (saya sebut judul buku penulis idolanya). Dan, penulis muda itu gelagapan. Lalu menjelaskan dengan kadar kualitas penjelasan yang jauh dibawah kepandaian mbak-mbak Toko Gramedia.

Alberthiene kemudian bertanya lagi: Oke kamu nge-fans sama NH Dini. Dia laki atau perempuan?”

Penulis pemula itu menjawab penuh percaya diri: “NH Dini itu laki-laki dong, Mbak”.

Sontak Alberthiene kaget. Ia---yang sejak SMP bercita-cita ingin menjadi jurnalis ini---menulis: Teeeeetttttt. Bel juri pun terkaing-kaing.

Status ef-bi Alberthiene ditutup dengan petuah bijak nan menyejukkan, “Anak muda, belajarlah dengan rendah hati, percaya pada proses dan mau berjuang”.

Sungguh, empat temuan Alberthiene Endah terkait karakter buruk penulis muda atau penulis pemula, justru ibarat harta karun, berharga sekali untuk disebarluaskan. Bukan bermaksud untuk mempermalukan para penulis muda (pemula), apalagi mematahkan semangat belajar menulisnya, tidak! Tidak sama sekali. Tapi, semata untuk mengingatkan mereka agar belajar menjadi penulis dengan karakter yang baik. Termasuk, menghargai proses, ketimbang memburu secepat mungkin pencapaian hasil. Atau, kebelet mau jadi superstar!

Menuliskan kembali status Alberthiene Endah pun, jangan dikira membuat saya ingin diaku sebagai penulis bukan pemula, lagi-lagi tidak! Justru, dengan menuliskan ulang status Alberthiene, membuat saya juga turut belajar, agar tidak terjerumus memiliki karakter buruk dalam dunia persilatan tulis-menulis. Trust me deh, dong, sih!

* * * * *

Untuk makin melengkapi apa yang sering menjadi titik lemah dari para penulis muda atau penulis pemula, saya iseng tapi serius melakukan chat di Facebook dengan Kompasianer Johan Wahyudi. Chat pada Minggu (7 Juni 2015) sore itu, intinya menyoal sisi-sisi lemah para penulis pemula. Buat saya pribadi, Pak Johan Wahyudi ini “gurunya para Guru dalam menulis”. Selain memiliki akun ef-bi atas namanya sendiri, Pak JW---begitu ia saya sapa---, juga mengelola akun Facebook dengan nama Guru Menulis.

Di akun Guru Menulis itu, Johan banyak menuliskan kiat, tips ‘n trik menulis, sampai kepada bagaimana agar tulisan (utamanya dari para guru) dapat dimuat di media cetak. Tengok saja misalnya, tulisan Johan Wahyudi yang berjudul “Tips Praktis Menulis Artikel di Media Cetak”, atau opininya yang selalu bernas apabila menguak dan berusaha memajukan dunia pendidikan.

Ratusan buku pelajaran, teks, modul, pengayaan dan jurnal ilmiah sukses diterbitkan Johan, yang sehari-hari berprofesi sebagai Guru di SMPN 2 Kalijambe, Sragen, Jawa Tengah ini. Belum lagi, artikel maupun opininya, yang hampir saban pekan mejeng di koran-koran lokal maupun nasional. Jumlahnya sudah ratusan, meruyak di media-media cetak seperti Koran Kedaulatan Rakyat, Kompas, Republika, Suara Merdeka, Solopos, dan banyak lagi.

Langsung aja deh, sila baca kutipan chat ef-bi saya dengan Johan Wahyudi:

Pak JW, apa saja kesalahan yang biasa dilakukan oleh penulis pemula?

Mereka kurang menata alur cerita atau materi tulisan. Ejaan dan tanda baca juga sering salah. Juga, kurang tekun alias cepat putus asa dalam berjuang menjadi penulis yang berhasil.

Menulis alur cerita itu sebaiknya kepiye to’ Pak JW?

Buat kerangkanya, biar alur tulisannya tertata rapi dan baik. Jadi enggak mbulet, alias enggak muter-muter aja alur tulisannya.

Kalau kesalahan ejaan dan tanda baca, sejauhmana fatalnya?

Fatal sih tidak, tetapi kesalahannya sudah pasti akan sulit diterima oleh kalangan media cetak. Biasanya, kesalahan pada tanda titik koma dan pemakaian huruf kapital. Itu dominan banget.

Kalau tadi disebut penulis pemula itu kurang tekun, kepiye penjelasannya?

Contohnya begini, mereka itu baru mengirim satu-dua kali karya tulisannya ke media cetak dan enggak dimuat, lalu akan patah semangat alias mutung. Padahal, asal tahu saja, tulisanku, baru dimuat di koran, setelah 15 kali tulisan aku kirim dan selama itu pula selalu enggak pernah dimuat. Artinya, baru pada tulisan ke-15 itulah tulisanku dimuat di koran, dan berhak dapat honor tulisan.

Berapa sih, nominal honor menulis itu, Pak JW?

Kisarannya, antara Rp 150.000 sampai Rp 1.000.000 per artikel. Kalau untuk menulis buku, ya pasti angka honornya sampai jutaan, bahkan puluhan juta rupiah.

Menurut Alberthiene Endah, penulis muda itu ambisius dan pingin-nya punya karier menulis yang cepat menanjak. Komentar Pak JW?

Ambisius itu negatif. Tapi, optimis itu harus!

Masih dalam pandangan Alberthiene Endah, penulis muda itu katanya pengen jadi superstar, kalau perlu ya hari ini juga. Menurut Pak JW, bagaimana kiat penulis muda untuk jadi superstar?

Harus konsisten pada bidang penulisan yang menjadi garapan atau tematik tulisan-tulisannya. Karena toh, masing-masing penulis punya passion sendiri. Tidak usah kemaruk, rakus, serakah untuk ingin menguasai tulisan pada segala bidang.

Penulis pemula tidak sedikit yang punya penulis idola. Kalau itu sampai membuat para penulis muda berupaya menulis seperti gaya penulis idolanya, iki piye menurut Pak JW?

Punya penulis idola itu bagus-bagus saja kalau untuk memotivasi diri. Tapi harus diingat, setiap penulis punya passion sendiri-sendiri. Nah, kalau penulis pemula ingin menduplikasi perjalanan hidup penulis idolanya ya enggak masalah juga, asalkan karakter penulisannya berbeda.

Selain itu, Johan Wahyudi juga menerangkan bahwa penulis yang baik harus banyak membaca. Berapa banyak porsi membacanya, tidak ada ukurannya alias tidak terbatas. “Saya saja, di rumah, berlangganan lima media setiap harinya. Untuk memperkaya bahan bacaan dan pengetahuan,” jelas peraih beasiswa unggulan Kemendikbud Program S3 PBI UNS Solo ini.

* * * * *

Selain meminta pendapat Johan Wahyudi, saya juga menanyakan persoalan yang sama kepada Deka Amalia, seorang penulis yang juga aktif memberikan pelatihan menulis. Menurutnya, penulis muda terkadang memiliki kesalahan paradigma berpikir, sehingga harus diluruskan. “Penulis pemula seringkali memiliki paradigma berpikir jika bakat menulis itu penting, padahal bakat sebetulnya tidak penting. Karena yang penting adalah kemauan berproses dan setiap orang pada dasarnya bisa menulis,” ujarnya dalam wawancara tertulis via email.

Deka melanjutkan, dalam praktik menulis, umumnya penulis pemula juga memiliki kelemahan yang menonjol. “Yaitu, tidak sabar. Inginnya cepat-cepat bisa, padahal semua membutuhkan proses untuk bisa menulis dengan baik. Kesalahan yang sering dilakukan penulis pemula adalah kurang membaca. Padahal, kalau mau jadi penulis harus banyak membaca. Nah, untuk menghilangkan kelemahan-kelemahan seperti ini, penulis pemula wajib untuk terus belajar dan menjalani prosesnya serta menikmatinya. Rasa nikmat dalam berproses membuat penulis pemula tidak akan merasa terpaksa untuk menjalaninya,” tutur sang founder Women Script Community & Writing Training Center ini.

Heheheheeee … rasanya faktor kurang sabar yang biasa muncul dari penulis pemula (muda) kompak disebutkan oleh Alberthiene Endah, Johan Wahyudi dan juga Deka Amalia.

Nah, kepada penulis pemula atau penulis muda, Deka---yang pernah menjadi dosen di Universitas Nasional, Jakarta ini---menyarankan, agar mereka jangan sampai kendur semangat menulisnya. Salah satu kiatnya, adalah dengan berada di lingkungan yang tepat, misalnya komunitas menulis. “Jadi, bisa terus terpompa semangatnya. Ikut juga program pelatihan menulis karena ada mentor yang membimbingnya,” saran Deka yang juga kerap menulis naskah drama untuk beberapa pementasan teater di lingkungan sekolah ini.

Seorang penulis pemula harus yakin bahwa kelak dirinya akan jadi penulis profesional. Pupuk dan rawat harapan itu. Tapi, ya tentu saja musti disertai latihan-latihan efektif. “Rumusnya, 3M. Yaitu: Menulis, Menulis, dan Menulis. Karena, tanpa terasa dengan lahirnya karya maka bisa mengarah menjadi profesional,” jelas Deka seraya menambahkan, “Memiliki idola penulis itu baik-baik saja tentunya, tapi ya jangan meniru. Usahakan dong untuk bisa menemukan karakter sendiri. Biasanya, dengan berjalannya waktu, setiap orang bisa kok menemukan karakternya sendiri”.

Akhirnya, ketika penulis pemula merasa karya-karyanya sudah layak untuk diajukan ke pihak penerbit, maka lakukan secara smooth. “Maksudnya, jika naskah yang ditulis oleh penulis pemula ini sudah layak dan berkualitas sesuai standar penerbit, maka barulah siap diajukan ke penerbit. Atau, bisa juga dengan mencari first reader terlebih dahulu, yang dinilai bisa membantu memberi kritik terhadap tulisannya. Cara lain, gunakan jasa editor freelance yang bisa membantu memberi saran dan masukan secara positif. Jangan ragu untuk melakukan hal-hal seperti itu,” pungkas Deka Amalia yang juga seorang Kompasianer ini.

* * * * *

Sementara itu, saya mengutip sejumlah syarat bagi penulis, yang dipaparkan Kompasianer Much. Khoiri dalam bukunya ‘Rahasia TOP Menulis’ (Elex Media Komputindo, Jakarta, 2014).

Pada halaman 91 bukunya itu, Khoiri mengingatkan, pertama, penulis yang baik biasanya juga pembaca yang baik. Artinya, memiliki kebiasaan membaca (reading habit) yang baik pula. Bacaannya banyak dan bervariasi; kedua, note taking, yakni berkebiasaan membuat catatan-catatan (note taking habit), mencatat hal-hal penting dari yang dia baca, menuliskan poin-poin penting tentang apa yang didengar, dilihat, disentuh, dirasakan, dan dipikirkan.

Ketiga, practice. Penulis sejati selalu berlatih dan berinovasi dalam ide dan teknik menulisnya. Ia selalu menganggap proses kreatifnya sebagai proses latihan, dan latihan itu harus dilakukan secara ajek, rutin, penuh disiplin; keempat, perseverance, tahan banting, gigih, keteguhan hati. Menulis untuk dimuat---termasuk ke koran---itu penuh spekulasi. Kadang-kadang banyak tulisan yang dimuat, namun tak jarang jumlahnya sangat minim. Ujian datang ketika sekian banyak artikel terkirim, ternyata tidak ada satu pun yang layak muat. Penulis yang hebat selalu kuat menghadapi penolakan (penerbit), dan segera bangkit dan bangkit lagi jika jatuh dalam meraih impian.

Nah, ‘gimana? Capek ya mbacanya, heheheeee …cukulin, eh, bercanda deng. hehehee. Tapi, itu artinya, sudah ada benih kesuksesan sebagai penulis hebat, kalau membaca tulisan ini sampai di sini. Ya, cukuplah sampai di sini.

 

o o o O o o o

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun