Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kiswanti dan Inspirasi Cerdaskan Anak Negeri

27 Mei 2015   15:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:32 631
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_420664" align="aligncenter" width="576" caption="Kiswanti, pendiri Warung Baca Lebak Wangi di Desa Pemagarsari, Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. (Foto: Gapey Sandy)"][/caption]

“Today a Reader, Tomorrow a Leader!” Tulisan menggugah dan meyakinkan tentang pentingnya membaca ini, penulis jumpai di Warabal kependekan dari Warung Baca Lebak Wangi, Selasa (26 Mei 2015) pagi. Lebak Wangi adalah nama salah satu kampung yang ada di Desa Pemagarsari, Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Bila dilihat menggunakan Google Maps, jaraknya sekitar 18 km dari Pasar Ciputat, Tangsel, atau 42 menit menggunakan mobil. Di sini, penulis menjumpai Kiswanti, pendiri “Warabal”.

Kiswanti, sosok yang ramah. Perempuan kelahiran Bantul, 4 Desember 1963 ini mendirikan “Warabal” dengan segenap usaha teriring doa. Sebagai sebuah ‘surga buku’, taman baca “Warabal” saat ini memiliki koleksi buku hingga 8.815 eksemplar. Sebuah angka yang tak terbayangkan, ketika pada 1997 dulu, Kiswanti memulai langkah kaki mengajak masyarakat untuk membaca, sambil ia sendiri menggendong bakul jamunya. Istri dari Ngatimin yang dikarunia dua anak, Afief Riyadi (24)---sudah lulus kuliah jurusan Teknik Sipil, Universitas Indonesia---, dan Dwi Septiani (20)---mahasiswi Univeristas Gunadarma---ini memang mengawali perjuangannya menumbuhkan minat baca masyarakat, melalui peminjaman buku gratis kepada para pelanggan bakul jamu gendongnya.

Dari bakul jamu gendong, Kiswanti yang hanya tamatan SD di Bantul, Yogyakarta ini, kemudian semakin memperluas wilayah kelilingnya dalam rangka ‘menawarkan’ peminjaman aneka buku bacaan koleksinya. Kali ini ia menggunakan sepeda. Menggowes saban hari, menjual jamu, sambil menawarkan peminjaman buku. Botol-botol jamu ada di bagian depan sepeda, sedangkan buku ditempatkan di boncengan belakang. Semua aliran peminjaman dan pengembalian buku dicatat rapi. Untuk semua kegiatan itu, hebatnya lagi, Kiswanti tidak mengutip dana sepeser pun. Semua dedikasi ini gratis, demi bertumbuh-kembangnya minat baca masyarakat.

[caption id="attachment_420665" align="aligncenter" width="576" caption="Kiswanti, ketika masih berkeliling menjajakan minuman jamu kunyit asem sekaligus membawa koleksi buku-buku bacaannya untuk dipinjamkan kepada masyarakat. (Foto: Dok. Warabal)"]

1432716166382793837
1432716166382793837
[/caption]

[caption id="attachment_420666" align="aligncenter" width="576" caption="Sambil berjualan jamu, Kiswanti membawa koleksi buku-buku bacaannya untuk dipinjamkan kepada masyarakat secara gratis. (Foto: Dok. Warabal)"]

14327162251420832756
14327162251420832756
[/caption]

Jumlah anggota “Warabal”, berdasarkan formulir pendaftaran tercatat 1.700 orang. Tidak saja berasal dari Lebak Wangi, tapi juga ada yang dari wilayah Gunung Sindur, Ciseeng, Pengasinan, dan sekitarnya. Kebanyakan memang anak-anak usia sekolah. Tapi ada juga mahasiswa, ibu-ibu rumah tangga, dan bapak-bapak juga tidak ketinggalan. “Bapak-bapak ini jumlahnya memang sedikit, hanya puluhan saja, tapi yang mereka cari adalah buku-buku yang berisikan informasi seputar dunia ikan, misalnya pemeliharaan ikan hias Cupang, Lohan, dan sebagainya. Karena mereka memang berprofesi sebagai pembudidaya ikan,” jelas Kiswanti yang tamat SD pada 1980. “Saya kemudian melanjutkan ke SMP, tapi pada saat kenaikan kelas 2 SMP, ibu saya meninggal dunia, dan akhirnya saya pun juga tidak melanjutkan sekolah lagi”.

Meski sudah hampir berusia 52 tahun, tapi semangat Kiswanti menuntut ilmu tidak pernah berhenti. Terbukti, pada 2008 kemarin, ia berhasil menyelesaikan Ujian Kejar Paket B atau setara SMP. “Saya bertekad ingin menyelesaikan Kejar Paket C, dan kemudian berkuliah, mungkin di Universitas Terbuka untuk jurusan Pendidikan Anak Usia Dini,” ujarnya semangat.

Bakul Jamu Gendong Pembawa Buku

Kepada penulis, Kiswanti menyingkap cerita jatuh bangun perjuangannya mendirikan “Warabal”. Semuanya berawal dari 1997, ketika ia mulai memutuskan untuk melakukan sosialisasi kepada setiap orang yang ditemuinya, untuk lebih memperkenalkan koleksi buku-buku bacaannya.

[caption id="attachment_420667" align="aligncenter" width="576" caption="Kegiatan Warabal yang masih berada di teras rumah Kiswanti, pada 2008. (Foto: Dok. Warabal)"]

143271627961783038
143271627961783038
[/caption]

[caption id="attachment_420668" align="aligncenter" width="576" caption="Semakin banyak warga tertarik untuk membaca dan meminjam buku koleksi milik Warabal yang masih memanfaatkan teras rumah Kiswanti, pada 2008. (Foto: Dok. Warabal)"]

14327163181027416519
14327163181027416519
[/caption]

”Mulainya karena saya suka baca buku, dan saya ingin buku yang saya baca juga dibaca oleh orang lain. Karena, dari membaca buku, saya lumayan bisa punya pengetahuan meski tidak selengkap seperti teman-teman yang punya kesempatan sekolah dan kuliah. Maka itu saya ingin hal yang saya rasakan dengan membaca buku, juga dirasakan oleh orang lain, terutama kepada mereka yang tidak punya kesempatan bersekolah atau kuliah karena faktor ekonomi.Insya Allah, kalau kita rajin membaca, maka pengetahuan akan kita peroleh dan dapat diterapkan sesuai dengan bidang yang kita suka. Intinya, saya hanya ingin menularkan membaca saja,” tutur Kiswanti.

Motivasi dan tekad membaja demi mengajak warga masyarakat mereguk manfaat dari membaca, mulai diperjuangkan Kiswanti. Terhitung sejak 1997, ia mulai aktif menularkan virus membaca. Caranya, dengan melakukan sosialisasi pentingnya budaya membaca kepada para langganan bakul jamu gendongnya.

Jamu gendong? Ya, Kiswanti dulu jualan jamu gendong. Jamu olahannya sendiri. Ia cukup pandai meramu minuman herbal kunyit dan asem. Bersama botol-botol jamunya, ia keluar-masuk kampung menjajakan jamu sambil kampanye budaya baca. “Selain jamu gendong yang saya bawa, waktu itu saya keliling bawa buku, dan catatan koleksi buku yang saya miliki,” ujarnya. Jadi, ketika ada pelanggan jamunya yang hendak meminjam buku berdasarkan catatan koleksi buku yang Kiswanti miliki, keesokan harinya barulah buku tersebut dibawakan. Kiswanti tak mengutip uang untuk semua buku yang dipinjam pelanggannya, alias gratis.

[caption id="attachment_420669" align="aligncenter" width="363" caption="Melalui Warabal, Kiswanti juga mengajarkan kaum ibu untuk menjahit. (Foto: Dok. Warabal)"]

14327163762060958662
14327163762060958662
[/caption]

[caption id="attachment_420670" align="aligncenter" width="576" caption="Warabal juga mengajarkan kaum ibu untuk menyulam. (Foto: Dok. Warabal)"]

14327164231539709727
14327164231539709727
[/caption]

Kemahiran Kiswanti membuat minuman herbal kunyit asem memang diwariskan dari sang ibu. Ketika masih di bangku SD, Kiswanti sering melihat sang ibu menumbuk rempah-rempah untuk membuat jamu. Tak jarang, ia justru bermanja dengan sang ibu yang sedang kerepotan. Kalau sudah begitu, sang ayah tiri, Trisno, yang kemudian membujuk rayu Kiswanti untuk tidak merecoki pekerjaan sang ibu membuat jamu. Biasanya, sang ayah membacakan buku cerita, terkadang membuatkan puzzle dengan cara menggunting gambar dari koran bekas. Jahilnya sang ayah, terkadang satu atau dua keping puzzle justru disembunyikan di peci yang dipakai sang ayah. Beberapa kali, sang ayah juga membacakan buku cerita tentang Keraton Solo. Kalau ingin melihat isi keraton, tak perlu datang ke sana, cukup dengan membaca buku saja juga sudah bisa. Begitu ucapan sang ayah, masih dikenang Kiswanti. Kelak, pada suatu saat, Kiswanti pergi wisata ke Keraton Solo, hasilnya, seluruh apa yang dilihat ternyata sama persis dengan apa yang pernah disampaikan sang ayah. Ayah tiri Kiswanti memang luar biasa. Meski Kiswanti hanya lulusan SD, tapi buku-buku pelajaran SMP dan SMA tak luput dibacakan juga oleh sang ayah. Bukannya kesulitan, Kiswanti malah senang menyimak dan ikut pula membacanya.

Pada tahun 2000, Kiswanti beli sepeda baru. Ia modifikasi sepeda itu sedemikian rupa. “Bagian depannya saya pasang keranjang besi untuk menyimpan botol-botol jamu. Sedangkan di belakang, saya tempatkan kotak kayu bekas kemasan buah, untuk mengangkut sejumlah buku. Tidak ketinggalan, buku catatan yang berisi judul-judul buku yang saya sudah saya koleksi. Seperti biasa, pelanggan jamu saya tinggal melihat daftar koleksi buku yang saya punya, mereka pesan untuk dipinjam, dan besoknya saya bawakan bukunya,” terang Kiswanti.

Hasil penjualan kunyit campur asem ini dipergunakan untuk membeli buku. Karena dirinya tidak tahu harus kemana dan menemui siapa, untuk membeli buku-buku bacaan bagi masyarakat. Apalagi, waktu itu juga belum ada social media seperti saat ini. Belum lagi, toko-toko buku itu pun yang masih menempati lokasi-lokasi eksklusif. “Kenapa saya keliling menjual jamu sambil menawarkan peminjaman buku bacaan gratis? Alasannya, karena saya sendiri tidak punya tempat untuk men-display semua koleksi buku di rumah. Tambah lagi, kalau saya hanya men-display buku di rumah saja, maka tidak akan mungkin banyak orang yang tahu bahwa koleksi buku saya boleh dipinjam cuma-cuma. Selain itu, semakin jauh jarak tempuh berkeliling maka semakin banyak warga sekitar saya temui untuk silaturahim, karena saya sadar, saya tidak terlahir di sini (Parung, Bogor - red) alias warga pendatang. Juga, saya ingin mewujudkan amal ibadah dengan bersedekah melalui peminjaman buku. Saya enggakada risih apalagi malu melakukannya, karena saya mendapatkan kepuasan tersendiri,” tuturnya sembari menyebut maksimal 50 eksemplar buku dan buku daftar koleksi pustaka, yang senantiasa dibawa berkeliling dengan sepeda. “Justru banyakan bukunya yang saya bawa, daripada jamunya”.

[caption id="attachment_420671" align="aligncenter" width="576" caption="Kegiatan belajar membuat kue juga menjadi salah satu kegiatan Warabal untuk memotivasi kaum ibu dapat menambah penghasilan keluarga. (Foto: Dok. Warabal)"]

14327164761128614282
14327164761128614282
[/caption]

Terhitung sejak 2000 hingga 2008, Kiswanti menggenjot sepedanya, menjual jamu sambil menawarkan buku bacaan. Siapa saja yang ditemuinya, ia selalu mengolah kata berolah rasa untuk bagaimana supaya warga berminat baca. “Lama juga saya keliling bersepeda, delapan tahun. Khusus pada tahun 2000 sampai 2001, saya melakukannya secara terus-menerus selama sembilan bulan, pada setia Senin, Rabu, dan Sabtu. Kenapa sembilan bulan? Karena, saya berkeyakinan, segala sesuatu itu memiliki nilai tertinggi yakni sembilan. Kalau saya berkeliling dengan sepeda selama sembilan bulan, itu sudah ibarat seorang wanita yang dalam kondisi mengandung untuk kemudian melahirkan anaknya. Begitulah maknanya, saya berharap dengan berkeliling sepeda selama sembilan bulan secara terus-menerus, maka ibarat seorang perempuan melahirkan, saya juga “melahirkan” tapi entah itu dalam bentuk minat baca warga masyarakat, atau “melahirkan” warga yang jadi pecandu baca. Setelah memenuhi target saya untuk berkeliling sepeda selama sembilan bulan non-stop, saya kemudian mulai mengurangi intensitas berkeliling menjadi dua kali seminggu, hingga sekali seminggu saja,” jelasnya.

Semangat Kiswanti memang luar biasa. Sampai-sampai ia rela untuk tidak makan daripada tidak menabungkan uang hasil penjualan jamu. Pikirannya sederhana, dapat uang sedikit, lalu dikumpulkan untuk nanti bisa beli buku-buku baru. Begitu seterusnya. Gaya hidup melalaikan asupan makan ini akhirnya membuat Kiswanti jatuh sakit. Pada 2005, dokter mendiagnosa liver Kiswanti bermasalah.

“Saya mendapat “teguran” dari Allah SWT dengan sakit liver. Mulai dari situ, saya mulai mengurangi untuk bersepeda. Terkait penyakit liver ini, saya pikir tadinya karena dipicu karena kecapekan dan jarang makan. Badan terasa lemas, perut agak membesar, pusing, tidak bisa makan dan minum, bahkan untuk minum air putih pun saya muntah. Sebelum dokter mendiagnosa sakit liver, tadinya karena perut saya agak membesar, saya pikir itu adalah busung lapar. Dulu, di desa, kalau busung lapar dipicu oleh karena kelaparan. Pikir saya, jangan-jangan ini ada kaitannya antara saya memilih untuk tidak makan selama berkeliling sepeda, asalkan bisa menyisihkan uang sebesar Rp 3.000 per hari, untuk dikumpulkan demi bisa beli buku-buku baru. Ternyata, setelah ke dokter, saya divonis sakit liver sehingga harus istirahat total,” urai Kiswanti.

Apa yang memicu Kiswanti hingga rela tidak makan, demi menyisihkan uang hasil pendapatan jualan jamunya Rp. 3.000 per hari supaya nantinya bisa beli buku-buku baru? “Karena, anak-anak dan orang dewasa yang datang ke teras rumahnya untuk membaca buku, jumlahnya semakin hari kian banyak. Dari hanya sekitar lima sampai sepuluh orang, belakangan terus bertambah jadi hingga ratusan. Melihat perkembangan ini saya jadi berpikir untuk musti bertanggung-jawab menyediakan lebih banyak lagi buku-buku baru. Ibaratnya, saya yang menyajikan, lalu mereka mencicipi sajian saya, kemudian mereka suka, maka kemudian saya harus menunjukkan rasa tanggung-jawab. Maka itu, semangat makin tumbuh, saya yang memulai, maka saya jugalah yang melanjutkan, dan bukan mengakhiri,’ tutur Kiswanti yang mengenakan kemeja lengan panjang bermotif kotak-kotak warna-warni.

[caption id="attachment_420672" align="aligncenter" width="576" caption="Kiswanti, masih bercita-cita membangun sekolah untuk umum dan gratis. (Foto: Gapey Sandy)"]

14327165191999869989
14327165191999869989
[/caption]

Tekad Ingin Punya Perpustakaan Gratis

Selama keliling bersepeda, Kiswanti menemukan fakta bahwa sebenarnya minat baca masyarakat itu tidak rendah. Kalaupun dijumpai satu-dua penolakan, ia menganggap karena mereka memang belum paham, selain karena mereka juga tidak mengerti harus kemana untuk meminjam buku bacaan. Akibatnya, persepsi membangun budaya baca jadi malah negatif. “Mereka beranggapan, buku masih dianggap sebagai barang mahal, lokasi perpustakaan itu jauh, dan syarat untuk menjadi anggota perpustakaan harus membayar,” ungkapnya.

Soal menjadi anggota perpustakaan, rupanya ada pengalaman pahit yang membekas dalam diri Kiswanti. Tahun 1972, ketika ia masih kelas 2 SD di Bantul, Yogyakarta, dirinya mengalami kesulitan dan penolakan untuk mendaftar anggota perpustakaan. Pasalnya, uang pendaftaran sebesar Rp 2,5 per siswa tak mampu Kiswanti bayar. Waktu itu, perasaan sedih, kesal, marah bercamuk jadi satu. Puncaknya, Kiswanti bertekad, kelak akan membangun perpustakaan sendiri, dan masyarakat umum dapat memanfaatkannya secara gratis. Tekad dan cita-cita memiliki perpustakaan gratis, masih diingat Kiswanti dengan baik, karena ia sempat menuliskan cita-cita itu pada bilik bambu di rumahnya, tepat pada hari ulang tahunnya yang ke-9, pada 4 Desember 1972. “Ternyata, untuk mewujudkan semua itu, butuh waktu sangat lama dan proses sangat luar biasa. Barulah, ketika usia saya 45 tahun, cita-cita punya perpustakaan sendiri tercapai,” ujar Kiswanti penuh syukur.

Perjuangan Kiswanti membangun perpustakaan memang tiada banding. Bayangkan, dari tahun 1997, ia hanya menggelar seluruh koleksi buku miliknya di teras rumah. Aktivitasnya membuka taman baca, yang kemudian pada 2003 diberi nama “Warabal” atau Warung Baca Lebak Wangi ini, berlangsung terus hingga 2005. Sampai suatu ketika, “Warabal” semakin tidak muat menampung warga yang membludak untuk membaca, teras rumah Kiswanti terasa sempit dan perlu perluasan lahan. Bersyukur, Kiswanti mampu melunasi cicilan harga sebidang tanah ukuran 4x10 meter, persis di sebelah kiri rumahnya. Cicilan itu bergulir selama lima tahun, dengan harga Rp 100.000 per meter. Uang cicilan tanah ini dikumpulkan Kiswanti dari upahnya sebagai buruh pencuci piring, apabila ada warga lain yang menyelenggarakan pesta hajatan. “Untuk setiap satu piring yang saya cuci, saya minta upah Rp 200. Uangnya saya kumpulkan, dan alhamdulillah sanggup melunasi sebidang tanah memanjang persis di sebelah kiri rumah saya,” kata Kiswanti.

[caption id="attachment_420673" align="aligncenter" width="576" caption="Salah satu kegiatan Kelas Kreasi pada Minggu sore yang membangun kekompakan antar sesama. (Foto: Dok. Warabal)"]

14327165681061814646
14327165681061814646
[/caption]

[caption id="attachment_420674" align="aligncenter" width="576" caption="Salah satu kegiatan Kelas Kreasi pada Minggu sore yang membangun kekompakan antar sesama. (Foto: Dok. Warabal)"]

14327166511994798342
14327166511994798342
[/caption]

Suami Kiswanti, Ngatimin, yang merupakan pekerja bangunan, tahu betul bagaimana cara mendirikan bangunan berikut segala keperluannya. Bantuan warga sekitar juga tidak sedikit, termasuk bantuan finansial dari Majelis Taklim Nurul Qolbu di Jakarta, pimpinan Ibu Hajjah Dewi Indro. Semua bergotong-royong membantu pelaksanaan pembangunan perluasan “Warabal”. Hingga akhirnya, pada 2005 itu juga, “Warabal” memiliki bangunan permanen sendiri yang lumayan luas. Seiring dengan itu, berbagai kegiatan terus dikembangkan dan dikreasikan oleh Kiswanti beserta segenap relawan “Warabal”. Tidak saja taman baca, “Warabal” kemudian menggagas pembelajaran keterampilan untuk seluruh warga, mulai dari belajar komputer, belajar menjahit, menyulam, memasak dan membuat kue, pengajian majelis taklim, dan masih banyak lagi. Perlahan tapi pasti, “Warabal” menjadi education and training center bagi segenap masyarakat Lebak Wangi, Parung, dan sekitarnya.

Meski sudah membangun ruang khusus untuk “Warabal” berkegiatan, rupanya animo masyarakat untuk berbagi peran dan mengambil manfaat tetap tak tertandingi. Lagi-lagi, Kiswanti harus berpikir ekstra keras, sambil melafazkan banyak doa agar “Warabal” dapat memiliki tempat beraktivitas yang semakin luas lagi. Hingga akhirnya, pada 2008, Allah SWT mengabulkan doa Kiswanti. Harapannya untuk memiliki lahan lebih besar untuk “Warabal” sehingga luas untuk men-display buku-buku, dan lapang bagi anak-anak mengeksplorasi diri, menjadi kenyataan. Adalah Yayasan Wadah Titian Harapan bersama seorang warganegara Korea bernama Mrs Margareth Njoo, yang memang concern pada bidang sosial pendidikan, tergerak hati membantu mencukupi kebutuhan “Warabal”.

Gayung bersambut, lahan yang ukurannya lebih luas telah berhasil dimiliki berkat bantuan donatur, dan kembali, bersama seluruh eksponen masyarakat, pembangunan gedung baru “Warabal” dilaksanakan. Tidak hanya menjadi semakin luas, bahkan kini memiliki dua lantai. Lantai pertama biasa dipergunakan untuk anak-anak mengeksplorasi diri dan kegiatan masyarakat lainnya, sedangkan lantai dua difungsikan sebagai perpustakaan atau tempat menaruh koleksi buku-buku. Pembangunan gedung yang kemudian diberi nama Rumah Kegiatan Belajar “Arsari Warabal” ini cukup cepat. Peresmiannya pada 9 Juli 2011 lalu. Oh ya, bangunan lama 4x10 meter tempat kegiatan “Warabal” sebelumnya, kini sudah dimodifikasi menjadi ruang khusus belajar komputer. Sejumlah komputer nampak berjejer rapi, lengkap dengan piranti lainnya, scanningprintermodem dan masih banyak lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun