Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Beginilah, Bila Sesama Tunanetra Saling Peduli

23 Mei 2015   07:51 Diperbarui: 4 Januari 2016   15:30 1266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_419467" align="aligncenter" width="576" caption="Melalui perabaan, Ade Ismail, Ketua Umum Yayasan Raudlatul Makfufin memeriksa hasil pencetakan Al Quran Braille. (Foto: Gapey Sandy)"][/caption]

“Tiada Mata Tak Hilang Cahaya”. Andai ada yang bisa mengartikan, apa maksud kalimat tersebut? Tidak punya mata, tapi bisa melihat cahaya, bahkan tidak kehilangan cahaya. Coba, siapa yang tahu penjabarannya?

Untuk meresapi makna kalimat “Tiada Mata Tak Hilang Cahaya”, mari melihat apa yang sudah dilakukan Yayasan Raudlatul Makfufin (YRM), sebuah yayasan keagamaan yang berlokasi di Jalan Raya Puspiptek, Gang Rais RT 2 RW 5 No.10A, Kampung Jati, Buaran, Serpong, Kota Tangerang Selatan. Ketika penulis berkunjung ke YRM, pada Jumat (22 Mei 2015), tampak suasana hunian yang asri dan “menghijau”. Kantor YRM---yang didominasi warna hijau---, berdiri di atas lahan seluas 1.000 m2. Dikelilingi tembok yang tidak tinggi, pekarangannya luas dan ditanami beberapa tanaman penghasil buah serta tanaman hias. Ada banyak ruangan didalam kantor. Termasuk yang dimanfaatkan untuk kantor pengelola, dan asrama para santri. Asrama santri? Ya, hal ini dikarenakan kegiatan YRM antara lain menyelenggarakan program pesantren, penghafal Al Qur’an, Arabian Club – Muhadashah, pendidikan terjemah Al Qur’an, kajian aqidah – akhlak, pembinaan seni musik marawis, pelatihan mengetik 10 jari, pelatihan komputer dengan screen reader, dan pendidikan Kejar Paket A, B, dan C.

Sesuai namanya, “Raudlatul Makfufin” berarti “Taman Tunanetra”. Itu artinya, sejumlah santri yang mondok di YRM adalah para tunanetra. Mereka berasal dari berbagai wilayah di Indonesia. Nah, kini mungkin kita sudah mulai memahami, makna kalimat yang disodorkan sejak awal, “Tiada Mata Tak Hilang Cahaya”. Benar! Di YRM inilah, mereka yang ditakdirkan Allah SWT memiliki keterbatasan dalam penglihatan, justru memiliki keluasan dan kelapangan mata hati untuk menimba ilmu dan menebarkannya.

[caption id="attachment_419468" align="aligncenter" width="576" caption="Papan nama yang bermaterikan status hukum, profil singkat dan kegiatan rutin Yayasan Raudlatul Makfufin di Gang Rais, Kampung Jati, Buaran, Serpong, Kota Tangsel. (Foto: Gapey Sandy)"]

14323397101092937786
14323397101092937786
[/caption]

Ada satu lagi kegiatan YRM yang teramat sangat bermanfaat, inspiratif sekaligus membawa efek motivasi. Kegiatan itu adalah penyusunan dan pencetakan Al Qur’an menggunakan huruf Braille. Untuk penyusunannya, sebenarnya sudah berlangsung sejak 1996 lalu, sementara pencetakannya baru dimulai pada tahun 2000, dan masih dilakukan hingga kini. Perjalanan YRM mulai mencetak Al Qur’an dengan huruf Braille, sebenarnya tidak sim salabim seketika itu saja. Ada proses penjang perjalanan yang melibatkan tokoh sentral pendiri YRM, almarhum Raden Halim Saleh, yang merupakan seorang Guru Agama Islam pada Sekolah Luar Biasa (SLB) bagian tunanetra di Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Beliau pula yang menjadi salah seorang penggagas pencetakan Al Qur’an berhuruf Braille. Sekadar catatan, almarhum Raden Halim Saleh adalah juga seorang tunanetra, dan terlahir di Jakarta, pada 15 April 1944. Istrinya bernama Bariroh, dan pasangan ini dikaruniai seorang anak wanita, Ilma Khazanah.

Pendirian ‘Taman Tunanetra’

Kepada penulis, Ketua Umum Dewan Pengurus YRM, Ade Ismail SPd menukilkan sekelumit sejarah berdirinya YRM. “Awal mula berdirinya YRM, adalah berkat inisiatif almarhum Pak Halim Saleh, beserta sejumlah rekan tunanetra lain, termasuk Pak Ahmad Joni Watimena. YRM berdiri 26 November 1983 di Jakarta Timur. Ketika itu, yayasan kami belum memiliki kantor sekretariat sendiri, jadi masih berpindah sana-sini. Barulah pada 1991, Pak Munawir Sjadzali, yang waktu itu menjabat Menteri Agama, memiliki perhatian khusus, dengan memberikan pinjaman sebidang tanah milik Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di kawasan Kertamukti, Ciputat, atau seberang Gedung Kampus Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta berada. Tak hanya itu, Pak Munawir juga ikut andil dalam mensukseskan pembangunan gedung untuk pusat kegiatan YRM. Nah, pada 1992, Pak Munarir jualah yang meresmikan kantor sekretariat YRM. Sejak itu, seluruh kegiatan YRM dapat terpusat di satu lokasi,” tutur pria yang mengaku sejak lahir telah mengalami penglihatan mata tidak normal. “Akhirnya, saya menjadi benar-benar tunanetra pada umur tiga tahun”.

Seiring waktu berjalan, pada 2009, muncul kebijakan dari Pemerintah yang mengharuskan YRM berpindah lokasi. “Kebijakan ini memang mengharuskan seluruh aset-aset negara, termasuk lahan yang ditempati sebagai kantor sekretariat YRM, dikembalikan lagi kepada negara, dalam hal ini Departemen Agama untuk kepentingan pembangunan Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kami sepenuhnya menyadari, tanah yang selama ini dimanfaatkan YRM hanya sebatas pinjaman dengan status Hak Guna Pakai, sehingga ketika lahan tanah ini diminta kembali, ya sudah tentu kami kembalikan kepada yang memang berhak memilikinya,” urai Ade.

[caption id="attachment_419469" align="aligncenter" width="576" caption="Gedung Yayasan Raudlatul Makfufin yang sekaligus menjadi tempat pencetakan Al Qur"]

1432339886878470347
1432339886878470347
[/caption]

Kebijakan pengembalian lahan tanah pinjaman tadi memang mengharuskan YRM berpikir keras untuk mencari lokasi baru dan membangun kembali gedung sekretariat baru. Masalahnya, untuk membangun kembali gedung sekretariat baru, tentu butuh dana yang tidak sedikit. Melalui jalur perundingan dengan pimpinan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, akhirnya disepakati bahwa UIN akan membantu pembangunan gedung sekretariat baru saja. Artinya, tanpa disertai upaya pengadaan lahan tanahnya.

“Pada perjalanannya, alhamdulillah, kami mendapatkan tanah wakaf dari seorang hamba Allah, seluas 1.000 meter persegi, yang kami tempati sekarang ini. Itu berarti, lahan tanahnya sudah ada, tinggal membangun gedungnya. Bersyukur, pihak UIN Syarif Hidayatullah Jakarta aktif mengumpulkan dana sosial dengan tujuan pembangunan gedung sekretariat YRM, salah satu caranya dengan melaksanakan fund raising ke banyak pihak. Sekaligus ini membuktikan tanggung-jawab pihak Kampus UIN untuk mengganti bangunan gedung YRM sebelumnya,” papar pria lajang kelahiran Samarinda, 6 Maret 1983 ini.

Pembangunan gedung baru sekretariat YRM pun akhirnya terlaksana secara baik. Hingga akhirnya, pada 2010, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Komaruddin Hidayat membubuhkan tanda-tangannya dengan tinta emas di atas batu prasasti berwarna hitam, sebagai pertanda peresmian gedung. “Meski diresmikan oleh Rektor UIN, tapi yayasan kami ini tidak ada sangkut-pautnya secara formal kelembagaan dengan Kampus UIN. Kehadiran Pak Komaruddin waktu itu, hanya sekadar meresmikan gedung baru, sebagai tindak lanjut dari kebijakan perapihan aset milik negara dan membuat gedung lama sekretariat YRM dibongkar. Hingga kini, hubungan secara nonformal dengan Kampus UIN tetap terjalin baik, bahkan beberapa dosen UIN menjadi staf pengajar di YRM,” jelas Ade.

[caption id="attachment_419470" align="aligncenter" width="443" caption="Dokumentasi arsip perihal sosok R Halim Saleh yang dimuat Tabloid Dialog Jumat, Republika, edisi 10 Juni 2005, terpampang di lobby yayasan. (Foto: Gapey Sandy)"]

1432340078187124886
1432340078187124886
[/caption]

Ide Mencetak Al Qur’an Braille

Kembali ketika masa-masa YRM baru didirikan, tepatnya pada 1983, sudah banyak kegiatan dilaksanakan, mulai dari gelaran majelis taklim, sampai pembelajaran kepada jamaah tunanetra untuk dapat membaca Al Qur’an dengan huruf Braille. Pembelajaran ini tidak mudah. Karena, kitab Al Qur’an Braille itu sendiri masih belum banyak, bahkan boleh dibilang langka. “Yayasan kami pernah mendapatkan pinjaman satu set Al Qur’an Braille dari Departemen Agama. Kami pun mempelajari dan membacanya secara bergantian. Ya, namanya juga pinjaman, akhirnya Al Qur’an Braille itu pun juga harus dikembalikan kepada pihak yang meminjamkan,” kisah Ade penuh prihatin.

Meski begitu, semangat para jamaah tunanetra ini untuk mempelajari cara membaca Al Qur’an Braille tak pernah surut. Hingga lama kelamaan, jumah jamaah yang sudah fasih membacanya semakin bertambah banyak. Tapi apa daya? Kitab Al Qur’an Braille-nya justru tidak dimiliki.

Berbekal keprihatinan itu, almarhum Pak Halim Saleh, yang kala itu memang sudah banyak memberi ceramah dan kajian keagamaan di berbagai tempat di Jakarta, bersepakat dengan rekan-rekannya untuk mencetak sendiri Al Qur’an Braille. Embrio ide ini jelas mulia. Meski untuk mewujudkannya ternyata tak semudah membalik telapak tangan.
[caption id="attachment_419474" align="aligncenter" width="576" caption="Mesin cetak Al Quran berhuruf Braille milik Yayasan Raudlatul Makfufin yang masih mempergunakan kertas bertipe continuous form. (Foto: Gapey Sandy)"]

14323406082045730095
14323406082045730095
[/caption]

“Pada 1996, seiring kecanggihan dunia komputer dan percetakan, akhirnya kami mulai untuk mewujudkan ide mencetak sendiri Al Qur’an Braille. Penggunaan komputerisasi jelas sangat vital, karena Al Qur’an Braille yang lama, produksi salah satu perusahaan di Bandung, hanya dibuat secara manual dengan teknologi press saja. Akibatnya, banyak terjadi kekeliruan penulisan huruf. Bukan berarti salah menulis ayat, tapi menulis hanya huruf-hurufnya saja,” ungkap Ade yang menamatkan pendidikan SD di Samarinda, setingkat SMP di SLB Negeri di Lebak Bulus, Jakarta, dan berlanjut ke Program Inklusif SMAN 66 di Pondok Labu, Jakarta.

Sejak itu pula, tim khusus YRM pimpinan almarhum Pak Halim Saleh bekerja secara konsisten dan penuh konsekwen. Pekerjaannya tidak sederhana, lantaran harus mengetik seluruh isi Al Qur’an---yang berbentuk kitab Al Qur’an normal pada umumnya---, untuk kemudian di-input menggunakan komputer, dan dikonversi menjadi data atau naskah dengan huruf Braille. “Gambaran cara meng-input, Al Qur’an itu kita baca huruf demi huruf, ayat demi ayat, lalu kita salin ulang ke dalam bentuk huruf Braille. Misalnya, kalimat “Bismillah”, kita baca hurufnya satu per satu dan di-input ke komputer untuk kemudian diubah menjadi data dengan huruf Braille,” terang Ade.

Ternyata, pekerjaan meng-input tulisan Al Qur’an secara utuh ke komputer untuk diubah menjadi Braille, juga tidak bisa berlangsung kilat. Karena keterbatasan jumlah personil, alat dan dana, proses meng-input isi Al Qur’an secara utuh memakan waktu selama empat tahun. Alias, baru selesai pada tahun 2000.
[caption id="attachment_419487" align="aligncenter" width="383" caption="Tampak depan. Mesin cetak Al Quran Braille milik Yayasan Raudlatul Makfufin yang masih menggunakan kertas continuous form. (Foto: Gapey Sandy)"]

14323421201537358121
14323421201537358121
[/caption]

“Dengan sudah selesainya proses input dan mengonversi seluruh isi Al Qur’an yang sebanyak 30 juz itu ke dalam huruf Braille, akhirnya kami siap untuk melakukan proses pencetakan. Bantuan dana awal pencetakan ini terutama mendapat dukungan penuh dari Ibu Tuti Alawiyah, pimpinan Universitas Islam As-Syafi’iyah di Jatiwaringan, Pondok Gede, Jakarta Timur. Pencetakan perdana ini diperkenalkan kepada publik juga dengan mengambil tempat di kampus tersebut,” ujarnya sembari mengingat bahwa pada masa-masa awal pencetakan itu almarhum Pak Halim Saleh giat mencari dana untuk kelancaran proses produksi pencetakan Al Qur’an Braille. Maklum, waktu itu, untuk mencetak satu set Al Qur’an Braille, ongkos produksinya mencapai Rp 1 juta. Sebuah nominal yang cukup mahal bagi para tunanetra untuk dapat membeli atau memiliki Al Qur’an berhuruf Braille. Sekadar tambahan, huruf Braille selesai diciptakan oleh Louis Braille---seorang tunanetra berkebangsaan Perancis---, pada 1834.

Lulus Lajnah Tashih Al Qur’an

Di Indonesia, setiap penerbitan Al Qur’an wajib mendapatkan tanda lolos dari lembaga tashih yang memang berwenang mengesahkan penerbitan Al Qur’an. Lembaga itu nama lengkapnya Lajnah Pentashihan Mushaf Al Qur’an Balitbang Kementerian Agama RI. Aturan mengenai tanda lolos dari lembaga tashih ini berlaku mutlak tanpa kecuali, termasuk penerbitan Al Qur’an Braille. “Alhamdulillah, Al Qur’an Braille yang kami ketik ulang sendiri, kami input data sendiri, kami konversi menjadi huruf Braille sendiri, dan kami cetak sendiri, memperoleh tanda lulus dari Lajnah Pentashihan Al Qur’an tersebut. Untuk itu, pada setiap kita Al Qur’an Braille yang selesai kami cetak, selalu kami lampirkan tanda lulus dari lajnah tersebut,” ujar Ade penuh syukur.

Pencetakan Al Qur’an Braille yang dilaksanakan YRM bahkan menuai prestasi, dimana pada kurun 2012 – 2013, Kementerian Agama melalui Lajnah Pentashihan Mushaf Al Qur’an membuat standar Al Qur’an Braille di Indonesia, dengan merujuk pada hasil pencetakan Al Qur’an Braille yang diproduksi YRM. “Alasannya, setahu saya, karena kita sudah mempergunakan teknologi komputer alias tidak manual lagi, sehingga bila terjadi kesalahan maka proses editing akan jadi lebih mudah, dan proses pencetakannya juga jauh lebih mudah,” jelas Ade sembari menyatakan pihaknya sempat berpikir untuk mematenkan soft copy yang berisi hasil input data dari Al Qur’an berhuruf Arab dan dikonversi ke huruf Braille. “Keinginan itu sempat terlintas, tapi hingga kini tidak atau belum direalisasikan. Yang jelas,master file komputer berisi Al Qur’an Braille ini tidak dapat di-copy atau diperbanyak”.
[caption id="attachment_419476" align="aligncenter" width="576" caption="Kapasitas mesin cetak Al Quran Braille ini mampu mencetak hingga tiga set Al Quran Braille dalam satu hari. (Foto: Gapey Sandy)"]

1432340954279472806
1432340954279472806
[/caption]

Al Qur’an Braille tentu juga dicetak di negara-negara lain, tidak saja Indonesia. Pertanyaannya, bagaimana perbandingan antara Al Qur’an Braille yang dicetak YRM, dengan hasil penulisan dan produksi cetakan luar negeri? “Kita punya standar Indonesia sendiri, dan sudah kita sesuaikan dengan kenyamanan untuk tunanetra Indonesia. Kalau tulisan Braille sendiri, secara kodifikasi huruf dan tanda, sudah ada standar internasionalnya. Tapi, bagaimana lafaz dan huruf-huruf itu dituliskan, memang ada perbedaan di beberapa negara. Misalnya dalam bacaan panjang atau istilah bahasa Arabnya, mad. Contoh, untuk menulismaa, di Indonesia hanya cukup dengan huruf mim dan alif. Sedangkan di Arab, dia tetap menuliskan dengan simbol fathah yang sesuai dengan aslinya. Simbol-simbol itu semua ada di tulisan Braille, hanya tinggal bagaimana menuliskannya yang kemudian saling berbeda. Inilah yang kemudian membuat kami bersama sejumlah negara lain, tahun kemarin di Turki, membahas kesepakatan bersama, agar perbedaan-perbedaan penulisan itu dapat dituliskan dengan cara yang lebih mudah dipahami,” tutur Ade yang menamatkan Pendidikan Sejarah di Universitas Nasional Jakarta, pada 2009 ini.

Perbedaan lain antar Al Qur’an Braille dari masing-masing produksi antarnegara, menurut Ade, adalah tentang penulisan antara mereka yang sudah biasa menggunakan Bahasa Arab, dengan yang tidak biasa berbahasa Arab semisal India, Turki, Afrika Selatan, Thailand dan lainnya. Kalau mereka yang sudah biasa berbahasa Arab, biar bagaimanapun bahasanya, tentu mereka akan mudah mengerti sekaligus dapat membacanya dengan tepat. Beda dengan mereka yang tidak biasa berbicara Bahasa Arab. “Mereka ini tetap butuh penulisan yang diberi tanda lengkap. Tanpa itu, mereka akan kesulitan dan berpotensi salah dalam membaca Al Qur’an Braille itu,” jelas Ade.

Sementara itu, dari sisi ongkos produksi, hitung punya hitung, selalu saja terdapat kenaikan bahan baku, terutama kertas, yang biasanya dipicu oleh melemahnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang dolar Amerika Serikat. Saat ini, untuk pencetakan satu set Al Qur’an Braille, ongkos produksinya mencapai Rp 1,5 juta. Belum termasuk biaya sebesar Rp 200 ribu lagi, untuk ongkos kirim ke para tunanetra yang membutuhkan kiriman Al Qur’an Braille. Ongkos kirim ‘kok mahal? Begini. Jangan bayangkan wujud Al Qur’an berhuruf Braille itu seperti Al Qur’an normal yang ada di rak-rak buku di rumah kita. Amat sangat beda. Kalau mau tahu, bentuk Al Qur’an berhuruf Braille yang dicetak YRM, butuh dua kardus besar seukuran kira-kira televisi tabung ukuran 32 inch. Kenapa dua kardus? Ya, kardus pertama berisi Al Qur’an Braille dari juz 1 sampai 15, sedangkan kardus kedua berisi juz 16 sampai 30. Dengan kata lain, satu buku Al Qur’an Braille itu baru mencakup 1 juz. Kalau 30 juz, artinya akan ada 30 buku. “Itulah alasan mengapa ongkos kirimnya mahal. Kami pun masih mengandalkan jasa layanan Kantor Pos, yang biayanya bisa lebih murah ketimbang jasa kurir swasta lain. Maklum, berat dua kardus paket Al Qur’an Braille ini kalau ditimbang totalnya mencapai 24 sampai 28 kilogram,” ungkap Ade sambil meringis.
[caption id="attachment_419477" align="aligncenter" width="576" caption="Lembar hasil cetakan Al Quran Braille. (Foto: Gapey Sandy)"]

1432341146178651819
1432341146178651819
[/caption]

Komponen lain yang membuat harga satu set Al Qur’an Braille menjadi cukup mahal, adalah faktor kertas. Untuk mencetak Al Qur’an Braille, kata Ade, butuh kertas khusus dengan ketebalan minimal 160 gram. “Selain itu, teknologi pencetakannya juga butuh biaya besar, dan jarang ada pihak-pihak yang memiliki. Alhamdulillah, sejak 1998, kami sudah memiliki mesin pencetakan itu, yang merupakan hibah dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Meskipun sebenarnya, mesin pencetakan yang kita operasionalkan sekarang sudah termasuk mesin ‘tua’, ketinggalan zaman. Sebagai contoh, tipe kertas yang digunakan untuk mesin cetak yang kami miliki, masih menggunakan tipe continuous form, atau kertas memanjang yang saling bersambungan. Sedangkan kalau mesin pencetakan yang teknologinya terbaru, sepertinya sudah mempergunakan kertas dengan tipe pencetakan lembar demi lembar. Meskipun antar keduanya, kualitas hasil pencetakan tetaplah sama,” ujar Ade.

Adapun kecepatan dan kapasitas mesin pencetakan Al Qur’an Braille yang dimiliki YRM, adalah sebanyak 400 karakter Braille per detik. Sehingga dalam satu hari, mampu dicetak tiga set Al Qur’an berhuruf Braille. “Mesin cetak untuk Al Qur’an Braille ini mempergunakan jarum untuk membuat titik demi titik sesuai tulisan Braille. Jarum-jarum pada mesin cetak inilah yang biasanya, kalau sudah lama dipergunakan akan mengalami penurunan performa. Sehingga, kalau tidak segera direparasi atau di-‘setel ulang’, malah akan menghasilkan kesalahan penulisan. Karena, tulisan Braille terdiri dari titik demi titik. Nah, pada saat ada jarum-jarum mesin cetak yang kendur, akan membuat titik yang salah, atau justru sama sekali tidak membuat tanda titik. Ini jelas fatal,” terang Ade sembari menyebut mesin cetak yang dimiliki YRM adalah buatan Norwegia. “Kalau sekarang, taksiran harga mesin cetak ini antara Rp 1 miliar sampai Rp 1,5 miliar”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun