Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Fitriya N A Dewi, Peneliti Daun Katuk untuk Cegah Kanker Payudara

20 Mei 2015   20:03 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:46 1696
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_418894" align="aligncenter" width="567" caption="Fitriya Nur Annisa Dewi, peneliti di Pusat Studi Satwa Primata - LPPM, IPB, Bogor. (Foto: Dokpri. Fitriya N.A Dewi)"][/caption]

“Kartini” masa kini, “Kartini” peneliti. Julukan ini pantas disematkan untuk Drh Fitriya Nur Annisa Dewi PhD, yang berprofesi sebagai dokter hewan untuk bidang penelitian biomedis. Salah satu penelitian yang kini tengah coba dituntaskannya, terbilang serius. Karena Pipit, begitu ia akrab disapa, sejak awal tahun ini tengah sibuk meneliti potensi daun katuk untuk mencegah kanker payudara. “Harapannya, bisa selesai pada akhir tahun ini,” ujarnya kepada penulis yang menemuinya usai mengajar mahasiswa pascasarjana di kantornya di Pusat Studi Satwa Primata – Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (PSSP-LPMM) Institut Pertanian Bogor, di Jalan Lodaya II, Bogor Tengah, Jawa Barat, pada Selasa (19/5) kemarin.

Pipit, sosok wanita cerdas. Urusan belajar dan sekolah, wanita kelahiran Jakarta, 25 Juni 1982 ini pasti serius. Saking seriusnya, ia kerap bertabur prestasi membanggakan. Sewaktu tamat SMAN 8 Jakarta, pada tahun 2000 lalu misalnya. Ketika teman-teman Pipit masih harus berjuang mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa baru, Pipit justru enak saja melenggang. Ia mengantongi ‘tiket masuk’ Fakultas Kedokteran Hewan IPB, melalui jalur undangan berdasarkan prestasi tanpa perlu repot ujian seleksi.

Kuliah S-2, Justru Lulus S-3

Tekad Pipit untuk menjadi seorang dokter hewan, memang sudah bulat sejak masih kecil. Salah satu rahasianya, karena Pipit senang memperhatikan aktivitas sang ibunda, Drh Wiwiek Bagja, yang tak lain adalah juga seorang dokter hewan. Sementara ayah Pipit, (almarhum) dr Bagja Waluya Hardiwinangun, berprofesi sebagai dokter umum dan semasa hidupnya turut mengabdi di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.

“Sedari kecil, cita-cita saya memang ingin jadi dokter hewan. Kebetulan, ibu saya juga seorang dokter hewan. Profesi dan aktivitas ibu saya ini akhirnya banyak mempengaruhi hingga akhirnya saya terinspirasi untuk menjadi dokter hewan juga. Saya melihat sendiri bagaimana sepak-terjang Ibu, yang penuh komitmen dan tanggung-jawab dalam menunaikan profesi. Termasuk, mencurahkan kepedulian terhadap profesi, melalui organisasi Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI), dimana Ibu pernah menjabat Ketua Umum,” ujarnya.

[caption id="attachment_418896" align="aligncenter" width="567" caption="Fitriya Nur Annisa Dewi ketika bertugas di laboratorium. (Foto: Dokpri. Fitriya N.A Dewi)"]

14321260271510481996
14321260271510481996
[/caption]

Selain itu, Pipit menilai profesi dokter hewan adalah sangat mulia. “Saya melihat, profesi dokter hewan itu mulia, karena melindungi, mengoptimalkan kesehatan, dan memberikan kesejahteraan hewan, bagaimanapun setting-nya, entah itu dalam penelitian, kebun binatang, sampai alam bebas. Apalagi, bila dibandingkan dengan manusia, hewan itu tidak berdaya. Ia tidak bisa bicara,” jelasnya penuh welas asih.

Meski demikian, persepsi profesi dokter hewan masih belum dipahami secara mendalam oleh Pipit. Maklum, ia sebatas terinspirasi ingin berprofesi seperti sang ibu. Padahal, dibalik pemahaman Pipit yang belum mendalam, sejatinya bidang pekerjaan dokter hewan amatlah luas. Syukurlah, seiring berjalannya waktu, pemaknaan Pipit akan profesi dokter hewan semakin bertambah. Hingga akhirnya, ketika kuliah di tingkat tiga, Pipit semakin paham, bahwa ternyata gambarannya selama ini tentang profesi dokter hewan masih dangkal. Benar kata pepatah, tak kenal maka tak sayang. Pandangan Pipit tentang profesi dokter hewan kemudian makin terus tergali, seiring ia mulai magang kerja di PSSP-LPPM IPB.

Ya, baru ketika kuliah tingkat tiga, sambil nyambi magang kerja di PSSP, saya mulai memahami bahwa ternyata bidang kerja dokter hewan itu luas. Logikanya saja, spesies hewan amat sangat banyak jumlahnya. Sehingga profesi dokter hewan dapat bekerja secara lebih spesifik, misalnya bidang anjing, kucing atau hewan kesayangan, satwa liar, unggas, hewan pangan, hewan aquatic dan lainnya,” tutur bungsu dari tiga bersaudara ini.

Bekerja magang di PSSP, rupanya juga menajamkan intuisi Pipit untuk menentukan bidang profesi masa depannya. Jatuhlah pilihan pada bidang yang hingga kini menjadi bahagian dari dunianya, yaitu dokter hewan untuk bidang penelitian. “Artinya, saya berkecimpung untuk bidang hewan-hewan laboratorium yang akan diteliti untuk kepentingan kesehatan hewan dan manusianya. Dengan kata lain, saya menjalankan profesi dokter hewan bidang penelitian biomedis. Saya memang ingin menjadi peneliti,” tukasnya.

[caption id="attachment_418897" align="aligncenter" width="567" caption="Fitriya Nur Annisa Dewi dalam satu acara bersama ibunda tercinta, Drh Wiwiek Bagja yang merupakan mantan Ketua Umum PB Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia. (Foto: Dokpri. Fitriya N.A Dewi)"]

14321261251166497649
14321261251166497649
[/caption]

Selama kuliah, Pipit sempat memborong sejumlah prestasi, mulai dari Mahasiswa Berprestasi, hingga Lulusan Terbaik Sarjana IPB. Tahun 2007, cita-cita Pipit untuk jadi dokter hewan terkabul. Sementara rutinitas pekerjaannya di PSSP, juga terus berlanjut.

Dua tahun kemudian, tepatnya 2009, Pipit terbang ke Negara ‘Pam Sam’. Ia berhasrat menyelesaikan program studi S-2 di Wake Forest University, Winston-Salem, North Carolina. Begitu niatan awal Pipit. “Tadinya, berangkat ke Amerika Serikat untuk ambil S-2, tapi alhamdulillah ternyata saya berhasil ‘loncat’, transfer, pindah langsung ke program S-3 tanpa harus menyelesaikan S-2. Jadi, saya justru ambil S-3, dan lulus tahun 2013,” kisahnya dengan nada bahagia.

Adapun program studi S-3 yang dijalani Pipit, istilahnya disebut dengan Kedokteran Komparatif. “Gambarannya, mirip dengan ilmu multi-disiplin untuk memanfaatkan ilmu pengetahuan kita tentang kedokteran hewan untuk kepentingan manusia. Jadi, penelitian saya lebih banyak arahnya ke arah kesehatan manusia dengan mempelajari hewan sebagai model,” jelasnya.

Bagi Pipit, acapkali melakukan penelitian maka hal itu sama saja dengan memacu dirinya untuk terus belajar. “Kenapa saya menjadi peneliti, karena saya senang belajar. Artinya, pada bidang tempat saya bekerja pun, saya harus belajar dan terus belajar. Sedangkan untuk profesi dokter hewan di bidang hewan penelitian, saya melihat area ini merupakan sesuatu yang harus dikembangkan. Bukan berarti profesi ini adalah baru, tidak. Tapi saya melihat ruang lingkupnya masih kecil dibandingkan dengan cabang bidang dokter hewan lainnya. Itulah mengapa tantangannya juga lebih banyak,” ujar Pipit yang menikah dengan Fajar Solihin MSc, pada 2007.

[caption id="attachment_418898" align="aligncenter" width="567" caption="Fitriya Nur Annisa Dewi, berdiri nomor tiga dari kanan, berfoto bersama rekan mahasiswa dan peneliti di Wake Forest University, North Carolina, Amerika Serikat. (Foto: Dokpri. Fitriya N.A Dewi)"]

14321263041503091014
14321263041503091014
[/caption]

Potensi Daun Katuk untuk Cegah Kanker

Baru-baru ini, Pipit kembali meraih penghargaan. Kali atas usaha dan kerja kerasnya melakukan penelitian. Penghargaan ini diberikan oleh salah satu produk kecantikan bekerjasama dengan Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO (KNIU), dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Penelitian Pipit yang berjudul “Pengaruh Kaempferol dari Daun Katuk (Sauropis Androgynus) untuk Potensi Pencegahan Kanker pada Sel Epitek Kelenjar Susu” membuat wanita berambut pendek ini berhak memperoleh penghargaan, berikut dana hibah penelitian senilai Rp 80 juta.

“Untuk penelitian daun katuk ini, saya ingin melihat, apakah daun katuk ada pengaruhnya terhadap regulasi hormon estrogen di payudara, untuk nantinya bisa mempengaruhi resiko kanker payudara. Estrogen itu sendiri adalah senyawa yang berfungsi sebagai hormone seks wanita. Untuk mempelajari itu semua, saya menggunakan kultur sel yang dikembangkan dari payudara satwa primata. Tapi jangan dibayangkan bahwa kita mengambil seluruh hewannya ini, tidak. Kita hanya mengambil sedikit jaringan dari hewan itu, lalu kita kultur dan dikembangkan. Hewannya sendiri kita kembalikan ke koloni penangkaran dalam kondisi sehat. Pengembalian ke koloni penangkaran ini dikarenakan dalam suatu penelitian, kita tidak diperbolehkan mengambil langsung hewannya dari alam. Alasannya masuk akal, yaitu karena kita harus memperhatikan aspek konservasi, itulah mengapa harus di-breeding atau ditangkarkan. Selanjutnya, kita hanya meneliti dengan menggunakan kulturnya, kemudian ekstrak daun katuk itu dicobakan di kultur tersebut. Penelitian ini menjembatani, antara tumbuh-tumbuhan indigenous Indonesia dengan model yang dikembangkan dari satwa asal Indonesia untuk kepentingan kesehatan wanita,” urai Pipit.

Ketika penulis bertanya, sudah sejauhmana penelitian tentang daun katuk tersebut, Pipit menyebutkan sejumlah tahapan kegiatan yang tengah digeluti. “Perkembangannya? Saya belum bisa menyimpulkan, karena masih dalam tahap ekstraksi, kuantifikasi senyawa aktif yang ada di daun katuk, dan optimasi kondisi sel. Sehingga sampai detik ini, belum ada hasil yang bisa saya share,” ujarnya.

Satu hal yang pasti, penelitian daun katuk yang dilakukan Pipit cenderung untuk melihat, apakah terdapat potensi untuk mencegah kanker payudara. “Arah penelitian saya, ingin melihat potensi pencegahan kanker payudara dengan mengonsumsi daun katuk. Dasarnya, karena saya tertarik dengan tanaman yang mengandung senyawa flavonoid yang berbentuk seperti estrogen. Jadi, flavonoid ini bisa berikatan ke reseptor estrogen. Ibaratnya, seperti kunci dengan lubang kuncinya. Artinya, hormon estrogen harus ketemu dengan reseptornya untuk kemudian bekerja. Karena estrogen mempengaruhi regulasi dan resiko kanker, disinilah saya ingin melihat tanaman yang punya senyawa aktif atau senyawa secara alami yang bentuknya mirip seperti estrogen itu, apakah kira-kira dapat mempengaruhi kerja estrogen atau tidak di payudara. Sebenarnya banyak tanaman yang mengandung flavonoid. Tidak hanya katuk. Seperti yang saya gunakan dalam penelitian sebelumnya, yaitu kacang kedelai, meskipun jenis flavonoid-nya beda dengan yang ada di katuk,” ulas Pipit.

[caption id="attachment_418900" align="aligncenter" width="550" caption="Daun Katuk yang kaya manfaat. (Foto: fitokimiaumi.wordpress.com)"]

14321264491793561532
14321264491793561532
[/caption]

Menurut Pipit lagi, sisi lain yang juga tak kalah menarik dari daun katuk adalah, telah banyak dikonsumsi wanita-wanita Indonesia, karena sudah banyak diketahui---dari studi-studi sebelumnya termasuk literatur---bahwa, manfaat katuk ini mempengaruhi laktasi atau produksi Air Susu Ibu.

“Untuk hal yang satu ini sudah banyak ahlinya yang kemudian memproduksi ekstrak daun katuk dalam bentuk kapsul suplemen dan sebagainya. Artinya, sudah banyak dikonsumsi dan terbukti bahwa daun katuk dapat mempengaruhi laktasi. Nah, diluar itu semua, saya ingin melihat ada atau tidak efek lain di payudara dengan mengonsumsi daun katuk itu? Apakah daun katuk hanya mempengaruhi laktasi saja, atau justru ada potensi lain yang berhubungan dengan kesehatan? Belum banyak studi yang meneliti ke arah sana, sehingga ini yang membuat saya penasaran. Penasarannya, karena daun katuk yang sudah diketahui mengandung flavonoid, maka mungkinkan flavonoid ini bisa mempengaruhi pengaturan hormon estrogen di payudara, sehingga kemudian dapat digunakan untuk mencegah kanker payudara,” tutur Pipit.

Dalam penelitian daun katuk ini, Pipit bertindak selaku peneliti utama, dan tentu saja banyak dibantu sesama rekan peneliti dari PSSP-LPPM IPB yang spesialis menangani bidang pekerjaan molekuler dengan kultur sel dan sebagainya. Selain itu, penelitian Pipit juga memperoleh bantuan Prof Nuri Andarwulan dari Pusat Penelitian South East Asia Food and Agricultural Science and Technology (SEAFAST) Center IPB, yang merupakan seorang ahli pangan dan terlibat aktif untuk meneliti dari aspek tanaman katuk. Dengan bantuan para rekan peneliti, Pipit optimis akhir tahun ini, penelitian daun katuk dan potensi pencegahan kanker payudara akan dapat diselesaikan.

“Untuk penelitian daun katuk dan potensi pencegahan kanker ini, insya Allah di akhir tahun 2015 nanti, sudah ada hasilnya. Secara sederhana, hasil akhir penelitian daun katuk yang tengah saya lakukan ini akan menyimpulkan dua hal, mampukah katuk membawa potensi pencegahan kanker payudara, atau tidak. Tapi, menurut saya, menariknya penelitian itu adalah it’s not always black and white. Karena, pada akhir penelitian saya pun tidak bisa secara langsung menyimpulkan, apakah daun katuk dapat mencegah kanker payudara, atau tidak. Belum bisa sampai ke situ. Karena, baru sampai pada keinginan saya untuk melihat, apakah daun katuk dapat mempengaruhi regulasi reseptor hormon estrogen di kultur, kemudian nanti saya mau lihat kalau kultur selnya ditantang dengan agen yang memicu kanker dan kalau sebelumnya dia pernah dipapar dengan katuk, apakah jadi lebih terlindungi atau tidak? Memang bisa dilihat nanti ada efek melindungi atau tidak, tapi seberapa itu bisa disimpulkan dengan mudah bahwa, artinya daun katuk mampu mencegah kanker payudara atau tidak, menurut saya masih akan memerlukan studi-studi lebih lanjut terlebih dahulu untuk mem-validasi hasil tersebut,” tutur Pipit sembari minta didoakan.

[caption id="attachment_418901" align="aligncenter" width="567" caption="Fitriya Nur Annisa Dewi, berfoto dengan banner Pusat Studi Satwa Primata-LPPM, IPB. (Foto: Gapey Sandy)"]

14321265651024438415
14321265651024438415
[/caption]

Bangga Mengabdi untuk Indonesia

Sebagai seorang peneliti, Pipit bangga dengan kekayaan alam dan budaya yang dimiliki bangsanya. Itu juga yang membuatnya tidak tergiur dengan bujuk-rayu untuk bekerja sebagai peneliti di luar negeri. Sekalipun tawaran itu datang, Pipit masih memiliki rasa Nasionalisme tinggi, dan memilih untuk menjalankan penelitiannya di negeri sendiri, Indonesia. Secara kebetulan, artikel sosok Pipit ini ditulis dan dipublikasikan pada 20 Mei 2015, bertepatan dengan peringatan Hari Kebangkitan Nasional. Dan sosok peneliti seperti Pipit, yang mencintai bangsanya sendiri, yang memilih untuk bekerja dan mengabdi untuk negerinya sendiri, menjadi teramat pas momentumnya.

“Mengerjakan penelitian di berbagai negara, tantangannya pasti berbeda-beda juga. Indonesia memiliki potensi yang sangat luar biasa bagi para peneliti untuk ranah mengabdi, karena negeri ini memiliki biodiversity atau keanekaragaman hayati yang tinggi. Indonesia ini memiliki keanekaragaman hayati yang banyak sekali plus kearifan lokal yang diwariskan secara turun-temurun, seperti misalnya dengan mengonsumsi jenis tanaman tertentu, maka akan membawa dampak pada kondisi kesehatan dan sebagainya. Hal-hal seperti ini sangat menarik buat saya, terlebih faktanya, Indonesia yang kaya keanekaragaman hayati ternyata juga kaya dengan budaya kearifan lokal. Nah, disinilah, saya ingin memberikan basis potensi ilmiah dari tanaman-tanaman yang selama ini konon dianggap membawa potensi maupun faedah bagi kesehatan wanita,” jelas Pipit.

Khusus terhadap profesinya yang berkecimpung pada bidang Kedokteran Komparatif, Pipit mengakui, jumlah tenaga ahlinya masih belum begitu banyak. Kondisi ini ditambah lagi dengan kenyataan yang menunjukkan bahwa, Indonesia masih kekurangan jumlah dokter hewan. “Untuk tenaga ahli di bidang Kedokteran Komparatif saya rasa belum terlalu banyak. Mungkin, karena bidang ini juga relatif lebih baru, sehingga belum terlalu banyak jumlah ahlinya. Apalagi Indonesia mengalami kekurangan jumlah dokter hewan, padahal bidang profesi kami ini luas sekali. Jadi, dengan proporsi jumlah dokter hewan yang masih kurang dan jumlah dokter hewan yan berdedikasi mengkhususkan diri pada riset biomedis atau Kedokteran Komparatif ini juga belum terlalu banyak,” ujar Pipit yang kini mulai menggemari olahraga Offroad bersama suami tercinta. “Suami saya suka Offroad, dan kini saya mulai menyukainya juga. Kami biasa Offroad di track Sentul,” ungkapnya.

Sejauh ini, Pipit mengakui, kontribusi Pemerintah kepada dunia penelitian sudah cukup baik. Persoalannya, tinggal bagaimana para peneliti meningkatkan potensi diri sehingga dapat lebih bersaing dengan peneliti-peneliti dari luar negeri. “Kontribusi positif dari pemerintah kepada para peneliti, saya pikir sudah ada. Berbagai dana hibah untuk penelitian juga kerapkali diserahkan dari berbagai kementerian. Semua ini saya rasa cukup membantu untuk pengembangan penelitian kedepannya. Semoga semua selalu mengembangkan potensi diri, sehingga semakin mampu bersaing dengan peneliti-peneliti dari luar negeri. Termasuk, harapan agar lebih semangat untuk melakukan penelitian dengan cara saling berkolaborasi dan bekerjasama untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada di Indonesia,” asa Pipit.

[caption id="attachment_418903" align="aligncenter" width="567" caption="Fitriya Nur Annisa Dewi, peneliti potensi daun katuk untuk pencegah kanker payudara. (Foto: Gapey Sandy)"]

14321266841425537683
14321266841425537683
[/caption]

Menjawab pertanyaan penulis, siapa peneliti yang menjadi idolanya. Agak lama Pipit merenung, untuk kemudian menyebut nama pembimbing dan mentornya selama menyelesaikan program studi S-3 di Wake Forest University, North Carolina, Amerika Serikat, yaitu Prof J Mark Cline DVM PhD DACVP.

“Saya sangat kagum dengan mentor saya, Prof J Mark Cline. Beliau yang membimbing saya selama di Amerika Serikat. Saya belajar banyak dari beliau, dan termasuk berhasil membuat saya tertarik dengan bidang kesehatan wanita. Beliau itu yang ingin sangat saya teladani dalam hal sepak-terjangnya, selain karena yang bersangkutan sangat smart, penelitiannya banyak dan termasuk high quality research sehingga sudah diapresiasi banyak pihak. Beliau juga sangat open atau terbuka untuk melakukan penelitian secara berkolaborasi dengan berbagai pihak. Makanya kemudian, saya juga sangat senang, apabila melakukan penelitian secara bersama-sama, karena tentu akan semakin memperkaya penelitian dan hasil penelitian itu sendiri,” ungkap pemilik hobi kuliner dan nonton film ini. “Saya suka makan masakan khas Indonesia, dan masakan Jepang,” kata Pipit yang mengaku sebagai ‘pemakan segala’ alias bukan vegetarian.

Sebagai peneliti yang penuh loyalitas dan disiplin tinggi, Pipit berusaha untuk mengatur ritme aktivitas rutinnya dengan cermat. Ia tak ingin ada target yang meleset. Begitupun, Pipit tak ingin ada agenda tertentu terkait penelitiannya yang terlewatkan. Uniknya, ketika memasuki lobby ruang kantornya, terdapat tulisan ringkas mengenai profil Pipit. Dalam naskah itu dikutip pernyataan Pipit yang mengatakan bahwa, “Penelitian itu sudah menjadi jiwa saya. Jadi setiap bangun tidur saya terus teringat dengan proyek penelitian yang sedang saya garap”.

Ketika kutipan naskah itu diklarifikasi ke Pipit, peneliti pada PSSP-LPPM IPB ini sontak tertawa. Ia merasa, pernyataannya dikutip memang pada bagian yang unik, meskipun hal itu benar-benar merupakan fakta. “Hahahaaa … tapi saya enggak sampai memimpikan hal-hal yang sedang saya teliti. Memang, kalau sore hari atau sebelum tidur, saya biasa berusaha rileks, santai bersama keluarga dan sebagainya. Tapi kalau bangun pagi, saya biasanya kemudian akan berusaha fokus, apa saja to do list hari ini, apa yang harus saya selesaikan hari ini, apa target saya hari ini, semua sudah saya persiapkan sejak dari bangun tidur sampai perjalanan menuju kantor. Boleh dibilang saya ini orangnya organized, bukan berarti ingin terlalu perfect. Ada sih yang bilang saya perfeksionis, meskipun saya rasa ya enggak juga, hanya sekadar ingin menjalani hidup lebih terorganisir saja,” terang Pipit yang rajin dua hingga tiga kali seminggu melakukan treadmill di gym.

[caption id="attachment_418904" align="aligncenter" width="567" caption="Fitriya Nur Annisa Dewi bangga dengan Indonesia yang memiliki keanekaragaman hayati dan kearifan lokal. (Foto: Dokpri. Fitriya N.A Dewi)"]

14321267851214490987
14321267851214490987
[/caption]

Sekilas, wanita peneliti yang tampil tomboy & chic ini memang selalu diburu target kerja. Tapi, dengan segala target yang telah ditetapkan itu, bukan berarti hidup Pipit menjadi terbebani. “Dengan target harian, mingguan, bulanan dan tahunan yang harus saya capai, bukan berarti saya menjalani hidup dengan terbebani. Tidak. Karena dari semua target itu, justru diri saya sendiri yang mengharuskan agar seluruh target tercapai, bukan paksaan atau tekanan dari pihak lain. Justru disitulah kemudian mengapa hidup saya menjadi tidak merasa penuh dengan beban. Artinya, karena keinginan-keinginan itu datang dari diri saya sendiri, maka semuanya saya jalankan dengan tidak menganggap sebagai beban, justru sebaliknya, seolah alamiah saja,” jelas Pipit, sang “Kartini” Masa Kini, “Kartini” Peneliti.

Dengan usianya yang masih sangat muda, masa depan Pipit masih panjang untuk melakukan semakin banyak lagi penelitian. Penelitian yang tematiknya spesifik dengan target dan sasaran yang nyata, yakni memberi kontribusi pada kesehatan wanita. (*)

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun