[caption id="attachment_416228" align="aligncenter" width="576" caption="Lusia Efriani Kiroyan bersama karya Batik Girl. (Foto: Gapey Sandy)"][/caption]
Beginilah keelokan rupa boneka ala Barbie yang diberi nama Batik Girl. Dalam bahasa Indonesia, artinya wanita yang mengenakan batik. Kenapa musti menggunakan nama berbahasa Inggris? Antara lain, karena pangsa pasarnya, selain domestik juga mengincar mancanegara alias diekspor. Ekspor boneka Batik Girl sudah merambah ke sejumlah negara seperti Amerika Serikat, Singapura dan Malaysia. Belakangan, Australia dan Timur Tengah.
Batik Girl bukan sekadar boneka. Inilah buah karya hasil kreativitas dan keterampilan tangan dari sekitar 100 warga binaan atau narapidana wanita di tiga Rumah Tahanan (Rutan). Ketiga Rutan itu adalah Baloi - Batam, Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Barelang - Batam, dan Rutan Wanita Pondok Bambu - Jakarta Timur. Narapidana wanita yang kini menjadi semakin berdaya dengan kemahiran membuat Batik Girl, sebagian besar atau 80 persennya adalah merupakan korban pemakaian Narkotika dan Obat-obatan (Narkoba), dan sisanya merupakan napi wanita yang single parent. Tahun kemarin, satu Rutan lagi ditambahkan dalam daftar lokasi pemberdayaan, yaitu Rutan kelas IIA Tanjung Pinang. Di Rutan keempat ini, program Cupcake Love diselenggarakan bersama para Napi wanita.
Selain para Napi wanita, turut terlibat dalam program pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui Batik Girl ini adalah sekitar 50 relawan (volunteer) wanita yang tiada jemu melatih dan membimbing pembuatan Batik Girl. Para Napi wanita yang telah menerima pelatihan pembuatan Batik Girl, dan memiliki kemampuan serta kecakapan mumpuni, kemudian melakukan program pemberdayaan ekonomi. Dengan sukacita mereka memproduksi busana untuk boneka Batik Girl. Setiap satu busana boneka yang berhasil diselesaikan, dipastikan mereka akan memperoleh upah sebesar Rp. 10.000. Adapun keuntungan penjualan Batik Girl, dipergunakan kembali untuk mendanai kegiatan-kegiatan sosial berikutnya. Asal tahu saja, di luar negeri, boneka Batik Girl dijual dengan harga US$ 10 hingga US$ 15. Sedangkan untuk pasar dalam negeri, Batik Girl ditawarkan seharga Rp.100.000 per boneka.
[caption id="attachment_416249" align="aligncenter" width="341" caption="Lusia Efriani Kiroyan berpose dengan Batik Girl. Foto diambil pada Jumat, 8 Mei 2015 di Hotel Dharmawangsa, Jakarta. (Foto: Gapey Sandy)"]
Sudah barang tentu, terjadi sebuah nilai ekonomi dari produksi boneka secara hand made dengan pemasaran Batik Girl. Meski demikian, hasil keuntungannya bukan melulu komersial, karena seperti sudah dikatakan sebelumnya, profit yang ada dipergunakan kembali untuk mendanai berbagai kegiatan sosial berikutnya. Luar biasanya lagi, nilai-nilai ekonomi yang kemudian bergulir kepada nilai-nilai sosial ini terasa sekali manfaatnya, selain untuk kesejahteraan ekonomi para napi wanita, tapi juga dapat memenuhi pendanaan pelaksanaan program Save Street Children, program motivasi untuk para ODHA atau Orang Dengan HIV AIDS, dan program entrepreneurship bagi mereka yang single parent dan hidup di bawah ambang batas kemiskinan. Bahkan manfaat Batik Girl juga disalurkan untuk membantu meringankan beban ekonomi para Pekerja Seks Komersial (PSK), anak-anak penderita HIV/AIDS, kanker, dan thalassemia atau penderita kelainan darah yang sifatnya menurun karena faktor genetik.
Pendek kata, Batik Girl membawa dampak positif yang teramat sangat luar biasa! Lantas, siapa pencetus Batik Girl, dan bagaimana cerita awal mulanya memperjuangkan program pemberdayaan ekonomi para Napi wanita, serta program-program aksi sosial lainnya ini?
Penulis mengajak untuk berkenalan dengan Lusia Efriani Kiroyan, akrab disapa Lusi. Perempuan kelahiran Surabaya, 1 Agustus 1980 ini merupakan pendiri sekaligus pemilik rumah singgah Cinderella From Indonesia Center (CFIC) yang berlokasi di Kompleks Ruko Dutamas Trafalgar No.186 Batam, Kepulauan Riau.
Tekad Membangun Training Center
“Awalnya, pada tahun 2013, saya membangun training center yang membawa misi untuk membantu kaum wanita yang single parent dan tidak mampu. Kalau hanya diberi bantuan uang saja, maka tidak akan menyelesaikan masalah. Mereka harus diberi pendidikan kewirausahaan. Jadi mereka punya usaha dan dapat mandiri, apalagi mereka ini single parent. Rata-rata, single parent ini di Batam memiliki anak banyak. Tapi uang saya enggak cukup, hanya cukup untuk membayar down payment pembelian property-nya saja. Saya kemudian mengajukan kredit ke bank. Bersyukur saya mendapat kucuran Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dari sebuah bank swasta milik asing,” cerita Lusi.
[caption id="attachment_416257" align="aligncenter" width="576" caption="Baju batik anak-anak ini diproduksi Yayasan CFIC hasil karya ibu-ibu dari anak-anak jalanan yang diberdayakan. Baju batik ini sebagai alternatif bagi pengunjung Batik Girl yang ingin berpartisipasi dalam kegiatan sosial CFIC. (Foto: Gapey Sandy)"]
[caption id="attachment_416285" align="aligncenter" width="560" caption="Program CFIC mengadakan pengajian bersama dan pembagian sembako kepada ibu-ibu anak-anak jalanan dan anak-anak jalanannya. (Foto: Lusi Efriani Facebook)"]
Menurutnya lagi, training center yang dibangun berada di sebuah kawasan town house di Batam. “Bentuknya, saya buat seperti ruko dengan tiga lantai, dan saya namakan Yayasan Cinderella From Indonesia Center (CFIC). Tiga lantai ini saya setting ruangannya. Lantai pertama untuk ibu-ibunya belajar. Lantai dua adalah untuk anak-anaknya bermain dan beraktivitas. Sedangkan lantai tiga, untuk tempat saya tinggal. Bank asing ini menyetujui pengajuan kredit saya, antara lain karena saya adalah juga seorang pengusaha yang track record tidak mengecewakan. Tapi ya namanya juga perbankan, mereka tetap menghendaki training center ini dapat menghasilkan benefit secara materi. Pikir saya, whatever-lah, yang penting training center ini pembangunan Cinderella From Indonesia Center ini selesai. Begitulah win-win solution-nya. Akhirnya, pengajuan kredit saya disetujui pihak bank,” urai Lusi ketika dijumpai penulis di stand penjualan Batik Girl pada sebuah exhibition di Nusantara Ballroom, Hotel Dharmawangsa, Jakarta, Jumat, 8 Mei 2015.
Di CFIC, mulailah Lusi berjuang melakukan pembinaan kewirausahaan. Kaum wanita single parent yang kurang mampu ini dibimbing membuat berbagai kerajinan tangan. “Bahan baku untuk training saya siapkan, dan trainer saya datangkan. Enggak cuma itu, mereka juga saya beri makan dan uang transport. Semuanya all in, asal mereka mau belajar. Karena niat saya memang murni melakukan pembinaan kewirausahaan, dan tadinya saya pikir jumlah mereka ini paling-paling hanya beberapa orang saja. Tapi nyatanya, dari hari ke hari, CFIC yang didirikan semakin memperoleh perhatian banyak orang. Jumlah wanita yang belajar pun terus bertambah. Dari situ, Pemda Kepri melihat program training center CFIC ini dalam kacamata positif. Pihak Pemda kemudian menitipkan sebanyak 50 ibu-ibu anak jalanan. Nah, pada saat dititipkan ibu-ibu anak jalanan ini, mau tidak mau saya merawat anak-anak mereka juga, yang tak lain adalah anak-anak jalanan. Enggak mungkin saya mengurus ibu-ibu anak jalanan, tanpa mengurus anak-anaknya juga. Nah, jumlah anak-anak ini mencapai 100 orang, sehingga praktis beban saya semakin bertambah, apalagi setiap minggu saya punya kegiatan rutin untuk memotivasi para narapidana wanita” tuturnya.
Awalnya, menurut Lusi, program kegiatan rutin mingguan yang difokuskan kepada sekitar 20 hingga 30 narapidana wanita di rumah tahanan Baloi, Batam, hanya sebatas penyampaian motivasi berikut pemberian buku CFIC, dan makan bersama. “Program motivasi Napi wanita ini, akhirnya mau tidak mau, jadi semakin banyak mengeluarkan dana kegiatan. Disitulah kemudian saya merenung, bahwa ternyata semakin banyak kegiatan sosial yang dilakukan, membuat beban biaya saya semakin berat. Apalagi, saya enggak punya donatur tetap, dan saya bukan tipe orang peminta-minta. Mulailah dari situ ada keinginan ada usaha untuk mereka. Akhirnya, untuk setiap komunitas yang saya bantu, saya bangunkan usaha. Misalnya, untuk komunitas ibu-ibu anak jalanan saya buatkan usaha pembuatan kue, es cream, sarung bantal, dan masih banyak lagi. Sedangkan untuk para Napi wanita, saya juga buatkan usaha pembuatan kue, cupcake, es cream dan banyak lagi. Pendek kata, semua bentuk usaha saya coba untuk mereka. Pada perjalanannya, bangunan usaha untuk para napi wanita ini yang lebih cepat meraih simpati dan apresiasi masyarakat, dalam hal ini usaha pembuatan boneka Batik Girl ini,” beber Lusi dengan logat Surabaya yang masih kental.
[caption id="attachment_416260" align="aligncenter" width="550" caption="Sejumlah warga binaan di Rutan Batam memperoleh pelatihan membuat boneka Batik Girl. (Foto: Lusi Efriani Facebook)"]
[caption id="attachment_416261" align="aligncenter" width="550" caption="Kegiatan pelatihan membuat boneka Batik Girl oleh warga binaan di Rutan Batam. (Foto: Lusi Efriani Facebook)"]
[caption id="attachment_416262" align="aligncenter" width="550" caption="Produksi boneka Batik Girl di Rutan Batam siap dipasarkan di dalam dan luar negeri. (Foto: Lusi Efriani Facebook)"]
Mengapa pembuatan boneka Batik Girl ini lebih cepat berkembang? Menurut Lusi, para Napi wanita yang terlibat dalam pembuatan Batik Girl kebanyakan adalah mereka para korban penyalahgunaan Narkoba. Para napi ini didominasi anak-anak muda yang secara finansial tidak terlalu membutuhkan uang, mereka hanya butuh perhatian, eksistensi dan apresiasi. “Akhirnya saya pikir, ya sudah mereka lebih baik diarahkan untuk membuat boneka Batik Girl saja, karena diharapkan juga dapat menjadi semacam terapi kepada mereka agar tidak berpikir yang aneh-aneh sewaktu berada di dalam penjara. Mulailah dari situ kita buat training pembuatan boneka Batik Girl. Para napi wanita ini senang sekali. Ternyata, hasilnya juga memuaskan, bahkan lebih dari yang kita harapkan. Boneka Batik Girl hasil karya mereka ini memuaskan, apalagi kita memang menetapkan bahwa antar boneka tidak boleh ada yang sama. Kenapa? Supaya mereka setiap hari selalu berpikir untuk membuat tampilan kreasi baru, karena kalau bonekanya ada yang sama, maka tidak akan lolos quality control. Artinya, desain boneka itu harus diperbaharui kembali. Aturannya, motif boleh sama, tapi model tidak boleh sama,” urai Lusi dengan mata berbinar.
Pada awal pembuatan boneka Batik Girl, kisah Lusi lagi, kotak kemasan bonekanya tidak se-eksklusif seperti sekarang dengan material kotak karton dan plastik tembus pandang. “Waktu pertama kita buat, kemasannya cuma plastik biasa. Plastik yang biasa dipakai bungkus kerupuk, atau plastik yang biasa membungkus mainan anak-anak itu lho, tinggal kemudian saya jepret-jepret memakai stapler saja. Bersyukur kemudian saya ada uang sedikit untuk membuat boks kemasan boneka dengan menggunakan bahan mika. Agak cakep, cuma kendalanya masih belum bisa di-print merek dan keterangan produksinya. Jadi, masih dengan tulis tangan saja,” cerita Lusi sembari menyebut dengan pembiayaan swadaya seperti ini, boneka Batik Girl yang diproduksi dapat mencapai 300 boneka per tahun.
Dana Hibah untuk Pemberdayaan Napi Wanita
Peluang kesuksesan boneka Batik Girl semakin terbuka lebar. Momentumnya hadir ketika pada akhir 2013, Lusi berhasil memenangkan kompetisi dan berhak atas dana hibah atau grant dari Kementeria Luar Negeri Amerika Serikat di Washington DC. Jumlahnya lumayan fantastis, US$ 19.483. “Dana hibah ini dimaksudkan untuk kegiatan selama 2014, untuk melatih 100 napi wanita di tiga rumah tahanan yaitu Rutan Baloi dan Barelang di Batam, serta Rutan Pondok Bambu di Jakarta Timur. Waktu itu, saya ditargetkan untuk memproduksi sebanyak 1.000 boneka dalam satu tahun. Tapi ternyata, saya justru bisa memproduksi 1.500 boneka Batik Girl dalam satu tahun. Dari sini, mulai nampak ada dana usaha yang bisa saya putar,” jelas alumnus Fakultas Sastra Inggris Universitas Airlangga, Surabaya ini.
[caption id="attachment_416265" align="aligncenter" width="550" caption="Kegiatan Training of Trainer boneka Batik Girl di Rutan Batam, April 2014. (Foto: Lusi Efriani Facebok)"]
[caption id="attachment_416266" align="aligncenter" width="550" caption="Berfoto bersama usai kegiatan Training of Trainer boneka Batik Girl di Rutan Batam, April 2014. (Foto: Lusi Efriani Facebok)"]
Tak berhenti sampai disitu, pada 2014 kemarin, Lusi kembali berjuang demi memperoleh dana hibah untuk program kegiatan CFIC sepanjang 2015. "Saya memenangkan kompetisi yang diselenggarakan International Republik Institute dengan program YSEALI atau Youth South East Asia Leader Initiative dengan hadiah dana hibah sebesar US$ 10.000. Dana hibah yang kala itu diserahkan langsung oleh Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia ini dimaksudkan untuk lebih mempromosikan dan mempeluas pemasaran Batik Girl. Program yang saya ajukan adalah melakukan roadshow untuk menyampaikan misi sosial dari boneka Batik Girl di Indonesia dan Singapura. Kenapa saya pilih Singapura? Karena negara ini seperti pintu bisnis di dunia. Lagipula lokasinya tidak terlalu jauh dari Batam, kota tempat tinggal saya. Sedangkan Jakarta, saya pilih karena merupakan trendsetter untuk Indonesia. Semoga bila saya menyampaikan misi sosial ini di Jakarta, akan lebih cepat gaung penyebaran informasinya. Alhamdulillah, perkembangan roadshow-nya sangat bagus. Ada beberapa rekanan yang merespon positif, selain itu semakin banyak orang care untuk kemudian memberi saya booth gratis, exhibition gratis sehingga lebih membantu roadshow ini. Termasuk di Singapura, tentu saja. Malah pihak Singapura yang saat ini tidak sabar menanti pelaksanaan roadshow. Padahal, roadshow di Jakarta, target saya baru akan selesai pada Mei. Kemudian menyusul di Singapura pada Juli - Agustus. Lalu penutupannya di Batam pada September 2015. Target roadshow-nya adalah menyampaikan misi sosial boneka Batik Girl yaitu mengampanyekan tagline One Friend, One Doll. Artinya, mendukung kegiatan Batik Girl, dimana setiap satu orang yang membeli satu boneka Batik Girl sudah cukup untuk membantu kegiatan-kegiatan di CFIC," urai Lusi rinci.
Lusi memaparkan, kegiatan utama CFIC saat ini adalah pemberdayaan Napi wanita, pemberdayaan ibu-ibu anak jalanan, dan motivasi untuk anak-anak jalanan. “Kegiatan yang kami lakukan di CFIC misalnya, setiap bulan ada pengajian bersama, nonton film dan berenang bersama untuk anak-anak jalanannya. Juga pembagian sembako. Kalau kegiatan yang difokuskan untuk ODHA, kita masih melakukannya dalam tahap motivasi. Hal ini karena saya concern terhadap ibu-ibu rumah tangga yang notabene baik, tapi kena HIV/AIDS, itu kan perlu dijaga. Setiap bulan kita ada pertemuan dengan Komunitas Peduli ODHA yang namanya Angel Heart. Jadi setiap bulan, Angel Heart ini datang ke CFIC, untuk saling memotivasi karena mereka harus minum obat, enggak boleh telat, setiap hari,” jelasnya.
Bagaimana dengan kepedulian CFIC terhadap mereka penderita thalassemia? “Ceritanya begini. Sebenarnya, boneka Batik Girl ini tidak boleh dijual. Harus bermisi sosial murni. Tapi, saya bilang, kalau tidak dijual ya enggak sustained, enggak berkelanjutan. Kecuali, Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat bersedia menjamin, bahwa tiap tahun saya dikasih bantuan. Tapi, kalau tidak ada jaminan seperti itu ya harus saya putar dananya. Akhirnya, untuk win-win solution saya bilang, yang untuk misi sosialnya, boneka Batik Girl saya berikan secara gratis kepada anak-anak yang sakit dari kalangan tidak mampu. Misalnya, anak-anak yang kena kanker, HIV/AIDS dan thalassemia. Jadi, kita punya program pemberian boneka, gratis. Contoh lain misalnya, pada saat ada acara pameran amal seperti ini, bila ada pembeli Batik Girl yang membeli boneka tapi mereka sudah tidak memiliki anak-anak perempuan yang masih kecil lagi, maka mereka men-support kampanye One Friend, One Doll, mereka bayar harga bonekanya, lalu nanti boneka yang sudah mereka bayar ini akan kami sampaikan kepada anak-anak yang sakit tadi,” tutur Lusi.
[caption id="attachment_416267" align="aligncenter" width="378" caption="Stand Cinderella From Indonesia Center dalam Pameran Produk Unggulan Lapas 2015 di lingkungan Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Kepulauan Riau. (Foto: Lusi Efriani Facebook)"]
[caption id="attachment_416268" align="aligncenter" width="560" caption="Lusia Efriani Kiroyan paling kanan. Stand Cinderella From Indonesia Center dalam Pameran Produk Unggulan Lapas 2015 di lingkungan Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Kepulauan Riau. (Foto: Lusi Efriani Facebook)"]
Dalam konteks pemberian boneka gratis kepada anak-anak yang sakit dan tidak mampu secara ekonomi tadi, Lusi menyatakan bantuan yang diberikan memang bukan dalam bentuk dana. “Bukan dalam bentuk dana. Begini. Anak-anak yang sakit kanker, HIV/AIDS, dan thalassemia itu, mereka setiap bulan harus menjalani treatment medis. Selama treatment itu, mereka umumnya tidak didampingi orangtua, apalagi teman. Makanya, boneka Batik Girl ini bisa menjadi teman hiburan mereka,” jelasnya.
Hingga kini, sudah ada empat varian boneka Batik Girl, yaitu seri Coklat, Merah Muda, Hijab Series, dan Batik Girl yang membawa alat musik angklung. Untuk yang seri Batik Girl dengan angklung, CFIC bekerjasama dengan Saung Angklung Mang Udjo dari Bandung. Empat varian Batik Girl ini diekspor ke mancanegara, utamanya Amerika Serikat, Singapura, Malaysia, Australia, dan Timur Tengah. Untuk pasar di Timur Tengah itulah, salah satu alasan dibuat varian Hijab Series. Kerjasama dengan Saung Angklung Mang Udjo jelas menjadi nilai lebih dari sisi kebudayaan yang ditampilkan melalui Batik Girl, selain busana batik itu sendiri. Apalagi, Batik Indonesia, pada 2009 lalu, telah diakui UNESCO dengan dimasukkan dalam Daftar Representatif sebagai Budaya tak Benda Warisan Manusia atau Representative List if the Intangible Cultural Heritage of Humanity. Hal yang sama berlaku untuk Angklung Indonesia, yang diakui UNESCO pada 2010 untuk kategori yang sama. Selain itu, secara pelestarian alam dan lingkungan hidup, Batik Girl sukses menyerap dan memanfaatkan kain batik bekas dan perca batik.
“Berawal dari kendala yang saya temui ketika hendak menjual Batik Girl di kalangan moslem community. Akhirnya saya buat varian Hijab Series, dan ternyata alhamdulillah, laris. Terutama ketika saya coba menjual varian Hijab Series kepada para ekspatriat asal Australia yang beragama muslim dan ada di Indonesia, kebetulan saya alumni Moslem Exchange Programme (semacam program pertukaran kelompok muda muslim potensial Australia - Indonesia) di Australia pada tahun 2012, dan ternyata mereka suka dan beramai-ramai membelinya. Selain itu, saya juga bisa lebih gampang berjualan ke Kedutaan Besar Australia yang ada di sini. Mereka mengatakan, boneka Batik Girl ini cute. Menurut pengamatan saya, mereka sebenarnya sangat mengapresiasi sesuatu yang baru. Kalau boneka Barbie mereka sudah sering lihat. Begitu juga dengan boneka ala Barbie yang memakai baju batik dan membawa angklung. Tapi, untuk boneka yang mengenakan hijab, mereka belum pernah lihat dan mereka menganggap ini sebagai karya terbaru,” urai Lusi seraya menyebutkan bahwa pihak Australian Embassy baru saja memesan sebanyak 25 boneka Batik Girl.
[caption id="attachment_416271" align="aligncenter" width="560" caption="Kegiatan pelatihan membuat boneka Batik Girl di Rutan Pondok Bambu, Jakarta Timur. (Foto: Dok. Lusi Efriani)"]
[caption id="attachment_416274" align="aligncenter" width="560" caption="Kegiatan pemberdayaan Napi wanita berupa pelatihan membuat boneka Batik Girl di Rutan Pondok Bambu, Jakarta Timur. (Foto: Dok. Lusi Efriani)"]
[caption id="attachment_416275" align="aligncenter" width="560" caption="Lusia Efriani Kiroyan, ketika mulai melakukan pemberdayaan di Rutan Pondok Bambu, Jakarta Timur. ((Foto: Dok. Lusi Efriani)"]
Terkait masalah ekspor Batik Girl ke mancanegara, Lusi menyatakan masih menemui kendala. “Hal ini dikarenakan adanya larangan untuk melakukan ekspor boneka. Apalagi, kalau tujuan ekspornya ke Amerika Serikat. Mungkin ini dikarenakan mereka ingin melindungi produk asal negara mereka sendiri, yaitu boneka Barbie. Akibatnya, ekspor yang dimaksud adalah dengan cara menitipkan sejumlah boneka Batik Girl kepada siapa saja, teman-teman saya yang ingin ke luar negeri. Tapi, cara hand and carry ini ‘kan terbatas. Maksimal boneka yang boleh dibawa sebanyak 20 buah, itu akan dianggap sebagai oleh-oleh atau souvenir yang akan dibagi-bagikan bukan untuk diperdagangkan. Tapi ‘kan tidak semua teman saya bersedia untuk membawa 20 boneka Batik Girl ketika terbang ke luar negeri. Beda dengan saya, yang akan siap membawa 50 boneka sekalipun ke luar negeri, karena memang saya paham sekali misi sosial dari boneka Batik Girl ini. Lha kalau orang lain, belum tentu mereka semua paham mengenai misi sosial Batik Girl ini. Bahkan, ketika saya hendak mengekspor boneka Batik Girl dengan menggunakan jasa kurir internasional pun ditolak. Jadi ya begitulah, satu-satunya cara mengekspor boneka Batik Girl hanya dengan hand and carry, dan itu tergantung dari bersedia atau tidaknya orang yang dititipkan boneka saja. Nah, ini kan enggak balance, antara kecepatan produksi dan pemasaran ke luar negeri. Saya menyebutnya masih ‘berdarah-darah’ pemasarannya dalam arti, kecepatan produksi dan pemenuhan kebutuhan pasar tidak imbang karena boneka ini diproduksi hand made. Makanya saat ini harus ada stock,” keluhnya sembari menyebutkan bahwa saat ini sedang diproses untuk menjual Batik Girl dalam setiap rute penerbangan nasional dan internasional maskapai Garuda Indonesia.
Ke depan, Lusi berharap kampanye One Friend, One Doll dapat semakin mendunia, sehingga kegiatan-kegiatan sosial di CFIC dapat bergulir terus. “Sebenarnya saya malu kalau seandainya mengemis ke pihak luar negeri untuk membantu sosial di negara kita. Tapi kalau kita menjual sesuatu dengan produk yang mereka hasilkan, lalu saya mengampanyekan itu, maka kitakebanggaan. Artinya, saya mendidik mereka bukan untuk meminta-minta. Selain itu, saya juga dapat memberi masukan kepada pihak asing untuk jangan memberikan bantuan berupa uang yang hanya akan memanjakan penerimanya. Lebaih baik, ciptakan orderan. Saya mempelajari hal ini ketika mengikuti program Corporate Social Responsibility (CSR) dari Boeing. Perusahaan produsen pesawat ini tidak pernah memberikan bantuan dalam bentuk uang, melainkan dengan cara membangun pabrik di negara-negara miskin, seperti misalnya di India. Hasilnya banyak orang-orang yang terserap bekerja di India, dan Boeing juga memperoleh keuntungan. Begitu juga saya berharap, kampanye sosial melalui One Friend, One Doll yang mendunia akan menurunkan permasalahan sosial masyarakat,” harap Lusi yang juga memiliki tekad untuk lebih memberdayakan Napi wanita yang sudah menyelesaikan masa hukuman dengan mempekerjakan mereka sebagai trainer dan shop assistant di CFIC.
[caption id="attachment_416276" align="aligncenter" width="341" caption="Varian boneka Batik Girl dengan Angklung Series. (Foto: Gapey Sandy)"]
[caption id="attachment_416277" align="aligncenter" width="560" caption="Sejumlah varian boneka Batik Girl. (Foto: Lusi Efriani Facebook)"]
[caption id="attachment_416279" align="aligncenter" width="576" caption="Boneka Batik Girl dengan Hijab Series. (Foto: Lusi Efriani Facebook)"]
Selain itu, Lusi juga memiliki angan-angan untuk dapat menambah lokasi rumah tahanan sebagai tempat pemberdayaan warga binaan didalamnya. “Ya semoga. Karena di Indonesia ini, ada 504 rumah tahanan, dan saya baru garap empat yaitu di Baloi dan Barelang, Batam, lalu di Pondok Bambu, Jakarta Timur, dan Rutan kelas IIA Tanjung Pinang. Jadi masih ada 500 rumah tahanan lagi yang belum saya garap. Untuk yang di Rutan Tanjung Pinang, saya baru memulainya pada 2014 kemarin, dan bentuk pemberdayaannya adalah dengan cara berlatih membuat cupcake dan memasarkannya. Nama program pemberdayaannya, Cupcake Love. Baru sekitar 10 Napi wanita yang terlibat program pelatihan dan pemberdayaan di Rutan Tanjung Pinang, kebanyakan mereka adalah korban penyalahgunaan Narkoba, dan usianya masih muda-muda. Kenapa cupcake? Karena cupcake belum terlalu booming di Tanjung Pinang, padahal dimana-mana cupcake sudah booming. Alat pembuatannya sederhana, bahan bakunya murah, hanya butuh kreativitas membuat cupcake dan itu bisa mnejadi terapi. Penjualannya juga gampang karena bentuknya kue, dan sudah ada satu café yang siap menampung cupcake buatan para Napi wanita tersebut,” tutur Lusi yang pada 2012 pernah menerbitkan buku berjudul Cinderella From Indonesia, dan memuat tentang catatan perjalanannya selama berada di Amerika Serikat dalam rangka mengikuti Experience Learning International Visitor Leadership Program (IVLP) pada 2011. Hingga kini, sudah 10 ribu eksemplar buku yang menginpsirasi ini habis terjual.
Titik Balik Kehidupan Lusi
Sebagai wanita muda dan memiliki rekam jejak sebagai pengusaha, memang cukup mengherankan, mengapa Lusi bersedia memperjuangkan program pemberdayaan orang-orang yang ada di sekelilingnya. Padahal, andaikata Lusi fokus pada bisnis pribadi yang dimilikinya semata, kesuksesan luar biasa tentu akan semakin mudah direngkuh. Sementara, para Napi wanita, ibu dari anak-anak jalanan, anak-anak jalanan itu sendiri, dan anak-anak yang menderita penyakit serta berasal dari kalangan tidak mampu, tentu sudah akan ada yang mengurusnya, termasuk Negara yang sesuai amanah payung hukum, memiliki kewajiban untuk memelihara mereka. Cukup membuat penasaran, mengapa Lusi mau untuk terus berbagi?
“Saya melihatnya begini. Saya itu, di usia yang cukup muda sudah mengalami berbagai macam cobaan hidup. Nah mengapa saya ingin terus berbagi, karena sebagai bentuk rasa syukur saya telah berhasil melewati macam-macam cobaan hidup itu tadi. Selain itu, di usia muda, saya juga mengalami kegagalan hidup berumah tangga pada 2008, saya pernah mengalami kebangkrutan usaha berkali-kali, saya menanggung hutang yang cukup banyak, bahkan saya pernah sakit tuberculosis sehingga saya harus menjalani treatment pengobatan selama satu tahun tanpa pernah boleh terlewatkan satu hari pun, termasuk ‘berpisah’ dari suami dan anak-anak demi menjaga agar mereka tidak tertular penyakit TBC. Semua itu, kayaknya kalau dilihat, saya dengan segala cobaan itu, enggak akan ada harapan untuk hidup lebih lama lagi. Tapi alhamdulillah saya bisa membuktikan bahwa saya bisa melewati itu semua. Malah pengalaman saya menghadapi beraneka cobaan hidup itu berhasil memotivasi teman-teman lain, mereka jadi belajar bahwa sebenarnya garis hidup saya jauh lebih parah bila dibandingkan dengan cobaan hidup yang dialami oleh teman-teman saya itu. Mereka juga mengambil pelajaran dari usaha saya melakukan restrukturisasi atas hutang-hutang milik saya, sambil me-manage finansial dengan baik. Kalau dulu, saya tidak pernah berhitung, mana uang untuk perusahaan pribadi saya, dan mana uang untuk kegiatan-kegiatan sosial, hingga akhirnya ya bangkrut. Kini, saya sudah tahu, kapan saya harus berlaku profesional, dan kapan harus berlaku sosial. Terus terang, kalau sudah diberi kesempatan hidup sekali lagi seperti ini, itu kan luar biasa dan saya harus pandai-pandai bersyukur,” urai ibu dari dua anak, perempuan 10 tahun dan lelaki delapan tahun ini.
[caption id="attachment_416280" align="aligncenter" width="560" caption="Sejumlah selebritis nasional juga tertarik dengan Batik Girl. (Foto: Lusi Efriani Facebook)"]
Menariknya, Lusi kini merasa bahwa dirinya harus terus menyalakan api semangat berbagi dan menolong penderitaan orang lain sebanyak-banyaknya. Herannya, bila api semangat itu padam atau terlupakan, akan ada ‘peringatan’ yang akan segera ia terima, yakni tubuhnya akan merasa sakit. “Daripada saya ngurus bisnis pribadi saja tapi saya sakit, mendingan saya ngurus sosial tapi saya sehat. Saya tidak menyalahkan teman-teman saya yang cerewet dan menasehati saya yang terlalu asyik mengurus kegiatan-kegiatan sosial. Waktu yang saya miliki itu, 80 persen adalah untuk kegiatan sosial, dan 20 persen lagi untuk mengurus berbagai bisnis pribadi. Tapi saya bersyukur, dengan menjalani semua itu saya justru menjadi sehat,” ungkap Lusi yang memutuskan untuk memeluk Islam pada 2003 lalu. Lusi adalah anak kelima dari pasangan JB Max Kiroyan dan Maria Susanti.
Selain manifestasi rasa syukur atas segala apa yang pernah mendera dalam perjalanan hidupnya, Lusi juga menganggap berbagi itu memiliki rahasia tersendiri. “Banyak orang takut berbagi dengan alasan tidak akan membuat jadi kaya, dan dengan berbagi maka harta kekayaan kita akan berkurang. Tapi, saya justru ingin membuktikan bahwa dengan berbagi harta kita akan semakin bertambah. Termasuk, kesehatan tubuh kita juga akan tetap terjaga. Saya itu, kalau lupa dan tidak mengunjungi mereka dalam kegiatan-kegiatan sosial yang sudah saya agendakan, maka tubuh saya akan segera jatuh sakit. Jadi, semacam ada self reminder dalam tubuh saya. Karenanya, saya percaya, bahwa dengan berbagi itu justru akan memberi efek penyembuhan atas suatu penyakit juga. Contohnya saja, kalau saya sibuk melakukan roadshow Batik Girl yang mengharuskan saya melakukan sosialita, bisa saja membuat saya lupa untuk mengunjungi mereka yang saya bina dan berdayakan melalui CFIC. Efeknya, tubuh saya kemudian sakit, dan meski sudah minum obat macam-macam ya enggak sembuh-sembuh. Nah, dulu saya kurang memahami masalah ini. Sekarang, saya jadi paham sekaligus percaya bahwa ada keterkaitan, antara berbagi dengan efek kesehatan tubuh,” ujar Lusi yang pergi umroh pada 2013.
Dari Upik Abu Menjadi Cinderella
Seperti sudah disinggung sebelumnya, Lusi sebenarnya merupakan sosok pengusaha muda. Awalnya, ia bekerja sebagai profesional sebagai Public Relation Manager di salah satu perusahaan karbon pada 2008. Perusahaan ini memproduksi bahan bakar briket untuk diekspor ke mancanegara. Sambil sibuk menjadi PR perusahaan, Lusi mempelajari seluk beluk arang ini. Sampai suatu ketika, pada 2010, Lusi memutuskan untuk mengajukan resign dari perusahaan, demi memenuhi hasrat dirinya untuk membuka bisnis sendiri dengan core business yang masih terkait arang.
[caption id="attachment_416281" align="aligncenter" width="550" caption="Seolah menjadi Upik Abu dengan berbisnis arang tempurung kelapa. (Foto: Lusi Efriani Facebook)"]
Jatuh bangun berbisnis ia jalani, termasuk mencari sendiri supplier arang yang berkualitas. Hingga pernah pada suatu hari di tahun 2010 itu, Lusi diberi kepercayaan oleh UKM Apindo Kepulauan Rian untuk mengikuti World Expo di Shanghai, China. Ketika di Shanghai itulah, Lusi berhasil memperoleh kontrak pesanan sebanyak 1 juta ton arang. Sayang seribu sayang, Lusi belum siap memenuhi kontrak tersebut karena memang pasokan di Indonesia yang masih belum mencukupi.
Beberapa bulan berikutnya, Lusi kembali mengikuti acara China – RI Business Gathering, disitulah Lusi menandatangani permintaan pasokan arang dari tempurung kelapa, kala itu di hadapan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono bersama enam menteri lainnya. Seperti diketahui arang tempurung kelapa banyak dipergunakan untuk dijadikan sebagai bahan bakar proses barbeque, bahan baku penjernihan air, dan pembakaran sisha atau rokok khas Timur Tengah. Arang ini juga bisa diolah kembali menjadi energi terbarukan berupa karbon aktif, dengan pemanfaatan sebagai isi batu baterai, maupun juga menjadi bahan obat-obatan khususnya untuk penyakit diare. Arang tempurung kelapa ini juga menjadi bahan pembuatan kosmetika, bahan bakar di pertambangan emas, hingga bahan baku penyerapan radiasi nuklir. Luar biasa potensi kemanfaatannya!
Pada 18 Oktober 2012, Lusi pernah meraih penghargaan The International Alliance for Woman 100 World Differences di Washington DC, Amerika Serikat, untuk kategori Entrepreneur. Waktu itu, dewan juri menilai, Lusi membuat langkah kecil yang membawa perubahan terhadap dunia ke arah yang lebih baik melalui pembuatan arang tempurung kelapa.
[caption id="attachment_416282" align="aligncenter" width="560" caption="Buku karya Lusia Efriani Kiroyan berjudul Cinderella From Indonesia yang diterbitkan pada 2012. Sudah 10 ribu buku ludes terjual. (Foto: Lusi Efriani Facebook) "]
[caption id="attachment_416284" align="aligncenter" width="527" caption="Buku karya Lusia Efriani Kiroyan berjudul Cinderella From Indonesia yang diterbitkan pada 2012. Sudah 10 ribu buku ludes terjual. (Foto: Lusi Efriani Facebook) "]
Ya, Lusi pernah mengilustrasikan dirinya sebagai Upik Abu yang berubah menjadi Cinderella. Disebut Upik Abu karena ia berjibaku dengan bisnis yang dilakoninya yaitu arang tempurung kelapa, yang tak jarang membuatnya jadi ikut berkotor hitam legam di lapangan. Sedangkan menjadi Cinderella, sesuai dengan pencitraan yang ada pada diri Cinderella itu sendiri, yakni perempuan yang cantik, baik hati, tapi juga pekerja keras dengan hidup yang penuh perjuangan. Sekaligus ini merupakan citra diri Lusi yang terus bersemangat memajukan Yayasan CFIC, diantaranya dengan megampanyekan aneka kegiatan bermisi sosial, diantaranya melalui pemberdayaan Napi wanita dengan tagline One Friend, One Doll melalui boneka Batik Girl.
o o o O o o o
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H