Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

25 Januari 1946, Gugurnya Mayor Daan Mogot di Serpong

25 Januari 2014   15:55 Diperbarui: 4 April 2017   17:37 15738
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_318098" align="alignnone" width="567" caption="Salah satu rumah yang pernah dipergunakan oleh serdadu Jepang untuk menampung para Taruna yang masih hidup dan mengalami luka-luka pada malam hari setelah pertempuran dalam Peristiwa Lengkong, 25 Januari 1946. (Foto: Gapey Sandy). Inzet: Dua penampilan Mayor Daan Mogot. (Foto: wikipedia.org, dan sulutonline.com)"][/caption]

Nama “Daan Mogot”, pasti sudah sering kita dengar. Itu adalah sebuah nama jalan yang menghubungkan antara Ibukota Jakarta (perempatan Grogol, Jakarta Barat) dengan Kota Tangerang yang masuk wilayah Provinsi Banten.

Tapi, tahukah kita, bahwa Daan Mogot adalah seorang perwira militer berpangkat mayor, dan merupakan salah seorang pahlawan nasional yang gugur pada tanggal 25 Januari, 68 tahun silam (tepatnya, 1946), sewaktu terjadi pertempuran di area markas pasukan tentara Jepang di kawasan Kelurahan Lengkong Wetan, Kecamatan Serpong, Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten.

* * *

Daan Mogot lahir di Manado, Sulawesi Utara, pada 28 Desember 1928. Nama lengkapnya, Elias Daniel Mogot. Ia anak kelima dari tujuh bersaudara, buah cinta dari pasangan Nicolaas Mogot dan Emilia Inkiriwang. Saudara sepupu Daan Mogot, antara lain Kolonel Alex E. Kawilarang (Panglima Siliwangi, serta Panglima Besar Permesta), dan Irjen Pol A. Gordon Mogot, mantan Kapolda Sulut.

Daan Mogot memiliki serangkaian pengalaman kemiliteran, mulai dari menjadi Anggota Seinen Dojo angkatan pertama (1942-1943); Anggota Pembela Tanah Air (PETA) angkatan ke-1 (1943); Shodancho PETA di Bali (1943-1944); Staf Markas PETA i di Jakarta (1944-1945); Perwira pada Resimen IV/Tangerang (pangkat Mayor) pada 1945; dan merupakan salah seorang pendiri, sekaligus menjadi Direktur pertama Akademi Militer Tangerang (MAT) – atau Akademi Militer Tangerang -- dalam kurun waktu yang singkat (1945-1946). Demikian seperti ditulis Wikipedia.

Pada tahun 1945 ketika diproklamasikan Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, Daan Mogot menjadi salah seorang tokoh pemimpin Barisan Keamanan Rakyat (BKR), dan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dengan pangkat Mayor. Tentu saja ini menjadi sesuatu yang luar biasa, karena pada waktu itu, Mayor Daan Mogot baru menginjak usia 16 tahun. BKR yang dibentuk pada 23 Agustus 1945, mendirikan markasnya di Jalan Cilacap No. 5 untuk daerah Karesidenan Jakarta, atau empat hari sesudah pembentukannya. Moefreini Moe’min, seorang bekas syodancho dari Jakarta Daidan I ditunjuk sebagai pimpinannya.

Sejumlah perwira yang tergabung didalamnya adalah Singgih, Daan Jahja, Kemal Idris, Daan Mogot, Islam Salim, Jopie Bolang, Oetardjo, Sadikin dan Darsono (keduanya dari Resimen Cikampek), dan lainnya. Daan Mogot memang terkenal dalam sejarah zaman revolusi perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia pada pertempuran di hutan karet di kawasan Lengkong Wetan, Serpong, Kota Tangerang Selatan, ketika para Taruna MAT yang dipimpinnya berusaha merebut senjata dari pihak tentara Jepang, pada 25 Januari 1946.

[caption id="attachment_318100" align="alignnone" width="567" caption="Dua bangunan rumah yang saling berdampingan ini menjadi saksi bisu Peristiwa Lengkong di Serpong, Kota Tangerang Selatan. (Foto: Gapey Sandy)"]

13906388691663389038
13906388691663389038
[/caption]

Sebagai penggagas sekolah akademi militer, maka pada 18 November 1945, Daan Mogot dilantik menjadi Direktur Akadami Militer Tangerang pada saat baru berusia 17 tahun. Sebenarnya, di Jogjakarta juga berdiri Militer Akademi Jogjakarta hampir bersamaan, yaitu pada 5 November 1945.

Gagasan untuk mendirikan akademi militer, memang menjadi cita-cita Daan Mogot. Ide cemerlang pendirian MAT itu sendiri, berasal dari empat orang, yakni Daan Mogot, Kemal Idris, Daan Jahja dan Taswin. Dalam bukunya yang berjudul Akademi Militer Tangerang dan Peristiwa Lengkong, Mayjen TNI (Purn) R.H.A. Saleh menulis, lembaga pendidikan perwira itu mula-mula mereka namakan “Sekolah Tinggi Militer”, tapi para perwira umumnya lebih cenderung dan lebih suka untuk menggunakan sebutan “Em-A” (M.A.). Sebutan M.A. itu diilhami dari nama akademi militer Belanda yang terkenal di zaman Belanda sebutan “K.M.A.”, singkatan dari “Koninklijke Militaire Academie” (Akademi Militer Kerajaan). Jadi sebutan “M.A.” itu, yang tidak diucapkan secara lengkap, sebenarnya bukanlah singkatan dari Bahasa Indonesia “Militer Akademi”, melainkan singkatan dari Bahasa Belanda “Militaire Academie”. Pada tahap awal, ada 180 orang Calon Taruna pertama yang dilatih. Di antara mereka terdapat mahasiswa yang berasal dari Sekolah Kedokteran Ika Daigaku Jakarta. Ada di antara mereka yang menjadi komandan peleton, komandan kompi bahkan komandan batalyon. Sejumlah perwira dan bintara yang menjadi pelatih/instruktur MAT antara lain Kapten Taswin, Kapten Tommy Prawirasuta, Kapten Rukman, Kapten Kemal Idris, Kapten Oscar (Otje) Mochtan, Kapten Jopie Bolang, Kapten Endjon Djajaroekmantara, Sersan Bahruddin, Sersan Sirodz. Di Resimen Tangerang, Taswin bertugas di staf, sedangkan Kemal Idris di pasukan.

Pada tanggal 24 Januari 1946, Mayor Daan Jahja menerima informasi, bahwa pasukan NICA Belanda sudah menduduki Parung, dan akan melakukan gerakan merebut depot senjata tentara Jepang di depot Lengkong (belakangan diketahui bahwa Parung baru diduduki NICA bulan Maret 1946). Agresi provokatif NICA Belanda ini tentunya bakal mengancam kedudukan Resimen IV Tangerang, dan MAT secara serius. Karena itulah, pihak Resimen IV Tangerang berencana melakukan tindakan pengamanan. Mayor Daan Jahja selaku Kepala Staf Resimen, segera memanggil Mayor Daan Mogot dan Mayor Wibowo, perwira penghubung yang diperbantukan kepada Resimen IV Tangerang.

[caption id="attachment_318101" align="alignnone" width="567" caption="Tampak samping pada bagian rumah sekunder yang mirip bekas pos penjagaan kamp pasukan Jepang, lengkap dengan sebuah lubang sumur yang kini sudah diberi penutup pada permukaannya. (Foto: Gapey Sandy)"]

13906389361746015501
13906389361746015501
[/caption]

Keesokan harinya, tanggal 25 Januari 1946, lewat tengah hari sekitar pukul 14.00 wib, setelah melapor kepada komandan Resimen IV Tangerang Letkol Singgih, berangkatlah pasukan TKR dibawah pimpinan Mayor Daan Mogot dengan berkekuatan 70 taruna MAT, dan delapan tentara Gurkha. Selain taruna, dalam pasukan itu terdapat beberapa orang perwira yaitu Mayor Wibowo, Lettu Soebianto Djojohadikoesoemo, dan Lettu Soetopo. Kedua Perwira Pertama ini adalah perwira polisi tentara (Corps Polisi Militer/CPM sekarang). Ini dilakukan untuk mendahului jangan sampai senjata Jepang yang sudah menyerah kepada sekutu diserahkan kepada KNIL-NICA Belanda, yang waktu itu sudah sampai di Sukabumi, Jawa Barat, menuju ibukota Jakarta. Setelah melalui perjalanan yang berat karena jalannya rusak dan penuh lubang-lubang perangkap tank, serta penuh barikade, pasukan TKR tersebut tiba di markas Jepang di Lengkong sekitar pukul 16.00. Pada jarak yang tidak seberapa jauh dari gerbang markas, truk diberhentikan dan pasukan TKR turun. Mereka memasuki markas tentara Jepang dalam formasi biasa. Mayor Daan Mogot, Mayor Wibowo dan taruna Alex Sajoeti berjalan di muka dan mereka bertiga kemudian masuk ke kantor Kapten Abe. Pasukan Taruna MAT diserahkan kepada Lettu Soebianto dan Lettu Soetopo untuk menunggu di luar. Gerakan pertama ini berhasil dengan baik dan mengesankan pihak Jepang.

Di dalam kantor markas Jepang ini Mayor Daan Mogot menjelaskan maksud kedatangannya. Akan tetapi Kapten Abe meminta waktu untuk menghubungi atasannya di Jakarta, karena ia mengatakan belum mendapat perintah atasannya tentang perlucutan senjata. Ketika perundingan berjalan, rupanya Lettu Soebianto dan Lettu Soetopo sudah mengerahkan para taruna memasuki sejumlah barak dan melucuti senjata yang ada di sana dengan kerelaan dari anak buah Kapten Abe. Sekitar 40 orang Jepang disuruh berkumpul di lapangan. Kemudian secara tiba-tiba terdengar bunyi tembakan, yang tidak diketahui dari mana sumbernya. Letusan tembakan tersebut segera disusul rentetan tembakan yang menyalak dari tiga pos penjagaan bersenjatakan mitraliur yang tersembunyi dan diarahkan ke pasukan taruna yang terjebak. Serdadu Jepang lainnya yang semula sudah menyerahkan senjata, dan sempat berbaris di lapangan, sontak berhamburan merebut kembali sebagian senjata mereka, yang belum sempat dimuat ke dalam truk.

[caption id="attachment_318103" align="alignnone" width="567" caption="Kondisi dalam rumah pada bangunan kedua atau sekunder, yang mengalami kerusakan pada bagian plafon dan atap. Terlihat, bentuk jendela yang terdiri dari bilah-bilah kayu menambah kesan sebagai bangunan lawas. (Foto: Gapey Sandy)"]

13906389991314683381
13906389991314683381
[/caption]

Dalam waktu singkat, pecah pertempuran yang tidak seimbang, antara pihak Indonesia dengan Jepang. Pengalaman tempur serdadu Jepang yang cukup lama, didukung persenjataan yang lebih lengkap, menyebabkan Taruna MAT menjadi sasaran empuk bidikan senjata. Selain senapan mesin yang digunakan pihak Jepang, juga terjadi pelemparan granat, serta perkelahian sangkur seorang lawan seorang. Tindakan Mayor Daan Mogot yang segera berlari keluar meninggalkan meja perundingan dan berupaya menghentikan pertempuran namun upaya itu tidak berhasil. Dikatakan bahwa Mayor Daan Mogot bersama rombongan dan anak buahnya Taruna MAT, meninggalkan asrama tentara Jepang, mengundurkan diri ke hutan karet yang disebut hutan Lengkong. Taruna MAT yang berhasil lolos menyelamatkan diri di antara hutan pohon karet. Jelas, bahwa mereka mengalami kesulitan sewaktu menggunakan senjata karaben Terni yang dimiliki. Sering peluru yang dimasukkan ke ‘kamar-kamarnya’ tidak pas karena ukuran berbeda, atau memang macet.

Pertempuran tidak berlangsung lama, karena pasukan Indonesia bertempur di lingkungan kamp serdadu Jepang, dengan persenjataan dan amunisi peluru yang terbatas. Dalam pertempuran, Mayor Daan Mogot terkena peluru pada paha kanan dan dada. Tapi ketika melihat anak buahnya yang memegang senjata mesin mati tertembak, ia kemudian mengambil senapan mesin tersebut dan menembaki lawan sampai ia sendiri dihujani peluru tentara Jepang dari berbagai penjuru.

[caption id="attachment_318104" align="alignnone" width="567" caption="Kerusakan pada kusen, daun pintu, dan plafon atap pada bangunan kedua (sekunder) di rumah bekas peninggalan kamp serdadu Jepang dalam Peristiwa Lengkong, yang terletak di area Taman Daan Mogot, Jalan Raya Pahlawan Taruna MA Tangerang, BSD City. Foto diambil pada tanggal 15 Januari 2014. (Foto: Gapey Sandy) "]

13906390891457906434
13906390891457906434
[/caption]

Apa boleh dikata, Tuhan Yang Maha Kuasa menakdirkan, sebanyak 33 taruna dan 3 perwira gugur di medan laga, dan 10 taruna luka berat serta Mayor Wibowo bersama 20 taruna ditawan, sedangkan 3 taruna, yaitu Soedarno, Menod, Oesman Sjarief berhasil meloloskan diri, dan pada tanggal 26 Januari atau keesokan paginya, tiba di Markas Komando Resimen TKR Tangerang. Pasukan Jepang bertindak penuh kebengisan, mereka yang telah luka terkena peluru dan masih hidup dihabisi dengan tusukan bayonet. Ada yang tertangkap sesudah keluar dari tempat perlindungan, lalu diserahkan kepada Kempetai Bogor. Beberapa orang yang masih hidup menjadi tawanan Jepang dan dipaksa untuk menggali kubur bagi teman-temannya. Sungguh suatu kisah yang pilu bagi yang masih hidup tersebut. Dalam keadaan terluka, ditawan, masih dipaksa menggali kuburan untuk para rekan-rekannya sedangkan nasib mereka masih belum jelas hendak bagaimana dan bakal diapakan. Empat hari setelah Peristiwa Lengkong, atau tepatnya 29 Januari 1946, dilaksanakan pemakaman kembali ke-36 jenasah yang gugur dalam Peristiwa Lengkong, ditambah kemudian seorang taruna lagi bernama Soekardi, yang luka berat dan akhirnya menghembuskan nafas terakhir di RS Tangerang.

Lokasi pemakaman ulang ini, kini menjadi Taman Makam Pahlawan Taruna yang terletak di Jalan Raya Daan Mogot No,1, tak jauh dari area Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Remaja dan Anak, juga dekat dengan Masjid Raya Al A’zhom di Kota Tangerang. Sementara itu, melalui Keppres RI No.28/BTK/Tahun 1966 tentang Pemberian Tanda-Tanda Kehormatan, tepat pada peringatan Hari Pahlawan, yakni 10 November 1966, Presiden RI Soekarno menetapkan penganugerahan Tanda Kehormatan Bintang Mahaputra Kelas III untuk Letkol Ignatius Slamet Riyadi, dan Mayor Daan Mogot, atas jasa-jasanya yang luar biasa terhadap Negara, Bangsa dan Revolusi Indonesia, khususnya pada Akademi Militer Tangerang.

[caption id="attachment_318105" align="alignnone" width="567" caption="Informasi yang terpampang mengenai Cagar Budaya Monumen Palagan Lengkong. (Foto: Gapey Sandy)"]

13906391501695748771
13906391501695748771
[/caption]

Menurut buku yang ditulis Mayjen TNI (Purn) R.H.A. Saleh, dalam bab Tinjauan (Peristiwa Lengkong) disebutkan, bahwa operasi perlucutan pasukan Jepang di Lengkong bagi Indonesia merupakan: pertama, tindakan yang logis dalam suasana perjuangan mempertahankan kemerdekaan negara hasil proklamasi 17 Agustus 1945, yaitu untuk mencari senjata bagi kepentingan perjuangan. Dan kedua, implementasi persetujuan RI dengan Sekutu dalam bulan November 1945 mengenai pemulangan tentara Jepang dan APWI (Allied Prisoners of War and Internees) yang ada di dalam daerah kekuasaan RI oleh aparat RI sendiri; bahwa pelaksanaannya kurang terkoordinir dan terorganisir baik, adalah karena situasi dan kondisi semasa revolusi.

Masih menurut R.H.A. Saleh yang juga merupakan salah seorang Taruna MAT – juga mantan Anggota MPR RI dua periode (1977-1982 dan 1982-1987) -- ini, tidak berhasilnya TRI melucuti pasukan Jepang di Lengkong disebabkan tiga faktor: Pertama, tentara Jepang umumnya sudah mendapat instruksi dari pihak Sekutu untuk tidak menyerahkan senjatanya kepada Indonesia, dan komandan pasukan Jepang umumnya tidak berani menyimpang dari instruksi ini.

Kedua, pasukan Jepang di Lengkong, walaupun ada di dalam daerah kekuasaan RI, tapi tetap ada di bawah pengawasan dan kendali langsung dari tentara Sekutu (tanggung jawab Brigade Inggris di Bogor).

Dan ketiga, pasukan Jepang di Lengkong dapat cepat menyingkap taktik penipuan dari pasukan TRI, karena mereka dapat segera dan mudah berkomunikasi dengan atasannya di Jakarta, sehingga mereka dapat “membokong” pasukan TRI yang dalam keadaan tidak siap.

“Dibokong” berarti, sebagian besar TRI ditembaki oleh pasukan Jepang secara tiba-tiba, ketika sedang berdiri tak terlindung di lapangan terbuka dan tidak dalam keadaan siap sedia. Selain itu, para korban yang gugur masih dihabisi pula dengan tembakan atau tusukan sangkur, ketika sudah dalam keadaan tak berdaya.

[caption id="attachment_318106" align="alignnone" width="567" caption="Monumen Prasasti Peristiwa Lengkong yang terdapat di Kelurahan Lengkong Wetan, Kecamatan Serpong, Kota Tangerang Selatan. (Foto: Gapey Sandy)"]

1390639215979941686
1390639215979941686
[/caption]

Saat ini, petilasan Peristiwa Lengkong dapat dengan mudah dikunjungi. Karena, di lokasi tersebut terdapat Monumen Palagan Lengkong. Lokasinya, berada di Jalan Taruna Akademi Militer Tangerang, Bumi Serpong Damai (BSD). Persisnya, apabila dari arah Mall ITC dan BSD Junction (Jalan Raya Pahlawan Seribu), saat berada di Bunderan Air Mancur BSD, berbelok kiri arah ke Damai Indah Golf, dan sekitar 500 meter kemudian, Monumen Palagan Lengkong tepat berada di sisi kiri Jalan Raya Pahlawan Taruna MA Tangerang.

Di kawasan Monumen Palagan Lengkong, juga terdapat dua buah bangunan rumah yang saling bersebelahan. Bangunan rumah yang kuno, dengan cat tembok warna putih serta kusen pintu dan jendela kayu berwarna hijau tua ini, sebenarnya tak lain adalah bahagian dari kompleks markas pasukan Jepang. Dua bangunan rumah ini, saat pecah Peristiwa Lengkong, menjadi tempat bagi serdadu Jepang untuk mengumpulkan dan menahan para Taruna yang menderita luka-luka, setelah sempat melakukan pertempuran secara tidak seimbang dengan serdadu Jepang.

Kedua bangunan rumah ini, bila kita sempat masuk dan melihat langsung didalamnya, maka jelas terasa hening, sunyi, dan cukup membangkitkan bulu roma. Kedua bangunan ini sengaja dibiarkan kosong, tanpa perabotan sama sekali. Maklum, saat penulis berkunjung, pada Rabu siang, 15 Januari 2014 kemarin, sejumlah pekerja nampak sibuk mengganti kayu atap bangunan dengan baja ringan, termasuk plafon yang lapuk dan memang rusak akibat bocoran air.

Hanya ada keremangan dan sedikit cahaya yang masuk ke dalam rumah melalui jendela dan daun pintu kayu yang antik dengan bilah-bilah kayu, serta lantai yang masih menggunakan tipe ubin atau keramik model lama yang permukaannya sama sekali tidak licin, apalagi mengkilap.

Sedianya, dua rumah yang pernah menjadi bagian dari kamp serdadu Jepang ini, memang dijadikan museum, yang sempat diisi pula dengan sejumlah arsip dokumentasi mengenai MAT dan Peristiwa Lengkong itu sendiri.

Untuk bangunan rumah induk yang terletak di depan, dan berukuran lebih besar, didalamnya hanya terdapat empat ruangan yang cukup lapang. Bangunan rumah induk ini tembus ke bahagian belakang rumah, dan hanya dengan dipisahkan oleh bangunan kamar mandi atau toilet, lalu tersambung lagi dengan bangunan rumah kedua (bangunan sekunder) yang ukurannya lebih kecil, dan mirip pos penjagaan. Hanya terdapat tiga ruangan kosong dalam bangunan rumah kedua, dimana salah satu ruangan jelas sekali dijadikan sebagai dapur.

[caption id="attachment_318107" align="alignnone" width="567" caption="Diantara tulisan yang terpahat di monumen prasasti Peristiwa Lengkong ini terdapat lirik lagu berjudul Pahlawan Lengkong. (Foto: Gapey Sandy)"]

139063927667187390
139063927667187390
[/caption]

Di sebelah kanan rumah kedua, terdapat petilasan lubang sumur berdiameter sekitar satu meter, tanpa tiang kerekan seperti sumur lain pada umumnya. Lubang sumurnya, kini dalam kondisi yang sudah ditutupi oleh beton tebal. Di belakang rumah kedua, dibangun semacam taman dengan pepohonan yang rindang. Lokasi inilah yang diberi julukan sebagai “Taman Daan Mogot”.

Terdapat papan besi berisi dua informasi yang dipasang di halaman muka depan rumah. Satu informasi mengenai Cagar Budaya Monumen Palagan Lengkong, yang intinya bercerita singkat tentang Peristiwa Lengkong, dan dua bangunan rumah yang belum mengalami perubahan berarti sejak digunakan serdadu Jepang sebagai bagian dari kamp-nya. Informasi lainnya, menegaskan tentang status monumen ini, yang secara hukum dilindungi oleh UU No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Adapun yang dikutip di papan informasi ini adalah, Pasal 66 dan Pasal 105 dari UU Cagar Budaya tersebut, yang intinya memperingatkan adanya ancaman sanksi hukuman pidana dan atau denda, bagi siapa saja yang terbukti merusak Cagar Budaya ini.

Masih di lokasi yang sama, di atas areal lahan sekitar 500 meter persegi, sejajar dengan kedua bangunan rumah bekas markas serdadu Jepang ini, dibangun sebuah monumen, yang terbuat dari tembok dengan batu keramik berwarna hitam, dan melekat pada gundukan tanah membukit dengan rerumputan yang tertanam dan terpangkas rapi. Pada bagian atas Monumen Palagan Lengkong ini, terdapat patung lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yakni Burung Garuda, yang juga berwarna hitam, senada dengan warna dinding berbatu keramiknya.

Pada dinding prasasti yang dilapisi keramik berwarna hitam itu terpahat tulisan keterangan mengenai Peristiwa Lengkong, berikut syair Lagu “Pahlawan Lengkong”, dan daftar nama tiga perwira Tentara Republik Indonesia (TRI), serta 34 Taruna Akademi Militer Tangerang yang gugur dalam peristiwa tersebut.

[caption id="attachment_318108" align="alignnone" width="567" caption="Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia, Burung Garuda, dan pahatan tulisan Peristiwa Lengkong. (Foto: Gapey Sandy)"]

1390639348857922299
1390639348857922299
[/caption]

Monumen Palagan Lengkong menjadi saksi bisu Peristiwa Lengkong, yang kejadiannya diperingati pada setiap tanggal 25 Januari. Bukan hanya peringatannya saja, bahkan sejak tahun 2005 lalu, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Ryamizard Ryacudu telah memutuskan sekaligus menetapkan bahwa, peristiwa berdarah tersebut sebagai Hari Bakti Taruna Akademi Militer. Hal itu dimaklumatkan melalui Surat Telegram KSAD Nomor ST/12/2005 tertanggal 7 Januari 2005.

Selengkapnya, beginilah, rangkaian tulisan yang terpahat di Monumen Palagan Lengkong yang mulai dibangun sejak tahun 1993:

. . .

PERISTIWA LENGKONG

Pada Hari Jumat petang, tanggal 25 Januari 1946, telah terjadi Peristiwa Berdarah Lengkong/Serpong, dimana pasukan dari Akademi Militer Tangerang yang dipimpin oleh Mayor Daan Mogot yang tengah merundingkan penyerahan senjata dari pasukan Jepang di Lengkong kepada pasukan T.R.I, secara tiba-tiba sekali telah dihujani tembakan dan diserbu oleh pasukan Jepang sehingga mengakibatkan gugurnya 34 Taruna Akademi Militer Tangerang dan 3 Perwira T.R.I, diantaranya Mayor Daan Mogot sendiri.

Untuk mengenangkan para kesuma bangsa yang telah gugur ketika menjalankan tugas untuk negara, pada bulan Maret 1946, telah diciptakan lagu “Pahlawan Lengkong” :

Jauh di sana di balik tembok / Terletak Taman Pahlawan Raya / Terus berjuang di medan Lengkong / Untuk membela nusa dan bangsa / REFF: Selamat tinggallah Ibunda / Selamat tinggallah Ayahanda / Ku pergi jauh ke sana / Mencari bahagia //

. . .

Adapun ketiga perwira TRI yang gugur dalam Peristiwa Lengkong adalah Mayor Daan Mogot (Direktur Akademi Militer Tangerang), Lettu Soebianto Djojohadikoesoemo (Polisi Tentara Resimen IV), dan Lettu Soetopo (Polisi Tentara Resimen IV).

Sedangkan ke-34 Taruna Akademi Militer Tangerang yang gugur yakni, Said Mohammad Alhadad, Mohammad Arsad bin Moesanip, Bacharoedin, R Brentel Soegito, Harsono Pramoegiri, Rudolf Maringka, Marsono, Martono, Matdoellah, Memed Danoemihardja, Oemar Ali bin Ali, Rafli Agoes, Mohammad Ramli Achmad, Rohadi, Saleh Bachroedin bin Haji Soehaemi, R Santoso Koesman, Sasmita, Sasmito Soenarjo, Sarjanto Sarnoe, Sjamsir Alam, Sjewket Salim, Soebandi, Soebijanto Hardjowijoto, Soegianto, Soegito, R.M. Soedjono Djojohadikoesoemo, Soekadi (meninggal beberapa saat setelah Peristiwa Lengkong di Rumah Sakit Tangerang), Soekiswo, Somantri Martaatmadja, Soerardi, Soerjani, R Soeseno, Soewirjo Tjokrowigeno, dan Zainal.

Perlu diketahui, diantara dua nama yang gugur yakni Lettu Soebianto Djojohadikoesoemo dan R.M. Soedjono Djojohadikoesoemo, tak lain adalah kakak beradik, dan merupakan anak kandung dari R Margono Djojohadikoesoemo, selaku pendiri BNI 1946.

[caption id="attachment_318109" align="alignnone" width="567" caption="Tulisan lirik lagu Pahlawan Lengkong, dan Daftar Anggota Tentara Republik Indonesia (TRI) serta Taruna Akademi Militer Tangerang yang gugur dalam Peristiwa Lengkong. (Foto: Gapey Sandy)"]

13906394711590237492
13906394711590237492
[/caption]

R Margono Djojohadikoesoemo juga memiliki anak bernama Soemitro Djojohadikoesoemo, seorang begawan ekonomi nasional, yang tak lain adalah ayah dari mantan Danjen Kopassus Prabowo Soebijanto Djojohadikoesoemo, dan pengusaha Hashim Djojohadikoesoemo. Artinya, terdapat dua orang paman kandung dari Prabowo Soebijanto dan Hashim, yang gugur dalam peristiwa heroik nan bersejarah di Lengkong.

Ada pula, nama Taruna Akademi Militer Tangerang yang turut gugur, yakni Sjewket Salim, yang merupakan putra kandung dari Haji Agoes Salim, seorang pejuang kemerdekaan Indonesia sekaligus pahlawan nasional, pemimpin Sarekat Islam, dan mantan Menteri Luar Negeri RI ke-3.

Akhirnya, seperti juga dinyatakan oleh Mayjen TNI (Purn) R.H.A. Saleh, Peristiwa Lengkong ini adalah peristiwa kecil apabila dilihat dari sudut besarnya usaha bangsa untuk memperoleh dan mempertahankan kemerdekaannya. Tapi, Peristiwa Lengkong mempunyai arti besar, apabila dijadikan ukuran dari pengorbanan yang dapat dan patut diberikan bagi kepentingan Nusa dan Bangsa.

Semoga semangat perjuangan dan dharma bakti kepada Bangsa dan Negara yang dimiliki oleh para pahlawan kita itu, dapat pula dimiliki oleh generasi penerus, untuk pembangunan Negara dan Bangsa.

* * *

Info dan Sharing :

Untuk dapat membaca Buku Akademi Militer Tangerang dan Peristiwa Lengkong, karya Mayjen TNI (Purn) R.H.A. Saleh, terbitan Yayasan Pustaka Nusatama bekerjasama dengan Sebelas Maret University Press, (Cetakan Kedua, Desember 2009), secara EBook, dapat melalui link ini dan,

Baca juga postingan Airin Rachmi Diany SH MH di Kompasiana, terkait Peristiwa Lengkong, di sini.

Baca juga, tulisan selanjutnya:

Pemakaman Ulang Pahlawan Lengkong, 29 Januari 1946

 

Keterangan:

Foto #1: Salah satu rumah yang pernah dipergunakan oleh serdadu Jepang untuk menampung para Taruna yang masih hidup dan mengalami luka-luka pada malam hari setelah pertempuran dalam Peristiwa Lengkong, 25 Januari 1946. (Foto: Gapey Sandy). Inzet: Dua penampilan Mayor Daan Mogot. (Foto: KIRI - wikipedia.org, dan KANAN - sulutonline.com)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun