Pada tanggal 24 Januari 1946, Mayor Daan Jahja menerima informasi, bahwa pasukan NICA Belanda sudah menduduki Parung, dan akan melakukan gerakan merebut depot senjata tentara Jepang di depot Lengkong (belakangan diketahui bahwa Parung baru diduduki NICA bulan Maret 1946). Agresi provokatif NICA Belanda ini tentunya bakal mengancam kedudukan Resimen IV Tangerang, dan MAT secara serius. Karena itulah, pihak Resimen IV Tangerang berencana melakukan tindakan pengamanan. Mayor Daan Jahja selaku Kepala Staf Resimen, segera memanggil Mayor Daan Mogot dan Mayor Wibowo, perwira penghubung yang diperbantukan kepada Resimen IV Tangerang.
[caption id="attachment_318101" align="alignnone" width="567" caption="Tampak samping pada bagian rumah sekunder yang mirip bekas pos penjagaan kamp pasukan Jepang, lengkap dengan sebuah lubang sumur yang kini sudah diberi penutup pada permukaannya. (Foto: Gapey Sandy)"]
Keesokan harinya, tanggal 25 Januari 1946, lewat tengah hari sekitar pukul 14.00 wib, setelah melapor kepada komandan Resimen IV Tangerang Letkol Singgih, berangkatlah pasukan TKR dibawah pimpinan Mayor Daan Mogot dengan berkekuatan 70 taruna MAT, dan delapan tentara Gurkha. Selain taruna, dalam pasukan itu terdapat beberapa orang perwira yaitu Mayor Wibowo, Lettu Soebianto Djojohadikoesoemo, dan Lettu Soetopo. Kedua Perwira Pertama ini adalah perwira polisi tentara (Corps Polisi Militer/CPM sekarang). Ini dilakukan untuk mendahului jangan sampai senjata Jepang yang sudah menyerah kepada sekutu diserahkan kepada KNIL-NICA Belanda, yang waktu itu sudah sampai di Sukabumi, Jawa Barat, menuju ibukota Jakarta. Setelah melalui perjalanan yang berat karena jalannya rusak dan penuh lubang-lubang perangkap tank, serta penuh barikade, pasukan TKR tersebut tiba di markas Jepang di Lengkong sekitar pukul 16.00. Pada jarak yang tidak seberapa jauh dari gerbang markas, truk diberhentikan dan pasukan TKR turun. Mereka memasuki markas tentara Jepang dalam formasi biasa. Mayor Daan Mogot, Mayor Wibowo dan taruna Alex Sajoeti berjalan di muka dan mereka bertiga kemudian masuk ke kantor Kapten Abe. Pasukan Taruna MAT diserahkan kepada Lettu Soebianto dan Lettu Soetopo untuk menunggu di luar. Gerakan pertama ini berhasil dengan baik dan mengesankan pihak Jepang.
Di dalam kantor markas Jepang ini Mayor Daan Mogot menjelaskan maksud kedatangannya. Akan tetapi Kapten Abe meminta waktu untuk menghubungi atasannya di Jakarta, karena ia mengatakan belum mendapat perintah atasannya tentang perlucutan senjata. Ketika perundingan berjalan, rupanya Lettu Soebianto dan Lettu Soetopo sudah mengerahkan para taruna memasuki sejumlah barak dan melucuti senjata yang ada di sana dengan kerelaan dari anak buah Kapten Abe. Sekitar 40 orang Jepang disuruh berkumpul di lapangan. Kemudian secara tiba-tiba terdengar bunyi tembakan, yang tidak diketahui dari mana sumbernya. Letusan tembakan tersebut segera disusul rentetan tembakan yang menyalak dari tiga pos penjagaan bersenjatakan mitraliur yang tersembunyi dan diarahkan ke pasukan taruna yang terjebak. Serdadu Jepang lainnya yang semula sudah menyerahkan senjata, dan sempat berbaris di lapangan, sontak berhamburan merebut kembali sebagian senjata mereka, yang belum sempat dimuat ke dalam truk.
[caption id="attachment_318103" align="alignnone" width="567" caption="Kondisi dalam rumah pada bangunan kedua atau sekunder, yang mengalami kerusakan pada bagian plafon dan atap. Terlihat, bentuk jendela yang terdiri dari bilah-bilah kayu menambah kesan sebagai bangunan lawas. (Foto: Gapey Sandy)"]
Dalam waktu singkat, pecah pertempuran yang tidak seimbang, antara pihak Indonesia dengan Jepang. Pengalaman tempur serdadu Jepang yang cukup lama, didukung persenjataan yang lebih lengkap, menyebabkan Taruna MAT menjadi sasaran empuk bidikan senjata. Selain senapan mesin yang digunakan pihak Jepang, juga terjadi pelemparan granat, serta perkelahian sangkur seorang lawan seorang. Tindakan Mayor Daan Mogot yang segera berlari keluar meninggalkan meja perundingan dan berupaya menghentikan pertempuran namun upaya itu tidak berhasil. Dikatakan bahwa Mayor Daan Mogot bersama rombongan dan anak buahnya Taruna MAT, meninggalkan asrama tentara Jepang, mengundurkan diri ke hutan karet yang disebut hutan Lengkong. Taruna MAT yang berhasil lolos menyelamatkan diri di antara hutan pohon karet. Jelas, bahwa mereka mengalami kesulitan sewaktu menggunakan senjata karaben Terni yang dimiliki. Sering peluru yang dimasukkan ke ‘kamar-kamarnya’ tidak pas karena ukuran berbeda, atau memang macet.
Pertempuran tidak berlangsung lama, karena pasukan Indonesia bertempur di lingkungan kamp serdadu Jepang, dengan persenjataan dan amunisi peluru yang terbatas. Dalam pertempuran, Mayor Daan Mogot terkena peluru pada paha kanan dan dada. Tapi ketika melihat anak buahnya yang memegang senjata mesin mati tertembak, ia kemudian mengambil senapan mesin tersebut dan menembaki lawan sampai ia sendiri dihujani peluru tentara Jepang dari berbagai penjuru.
[caption id="attachment_318104" align="alignnone" width="567" caption="Kerusakan pada kusen, daun pintu, dan plafon atap pada bangunan kedua (sekunder) di rumah bekas peninggalan kamp serdadu Jepang dalam Peristiwa Lengkong, yang terletak di area Taman Daan Mogot, Jalan Raya Pahlawan Taruna MA Tangerang, BSD City. Foto diambil pada tanggal 15 Januari 2014. (Foto: Gapey Sandy) "]
Apa boleh dikata, Tuhan Yang Maha Kuasa menakdirkan, sebanyak 33 taruna dan 3 perwira gugur di medan laga, dan 10 taruna luka berat serta Mayor Wibowo bersama 20 taruna ditawan, sedangkan 3 taruna, yaitu Soedarno, Menod, Oesman Sjarief berhasil meloloskan diri, dan pada tanggal 26 Januari atau keesokan paginya, tiba di Markas Komando Resimen TKR Tangerang. Pasukan Jepang bertindak penuh kebengisan, mereka yang telah luka terkena peluru dan masih hidup dihabisi dengan tusukan bayonet. Ada yang tertangkap sesudah keluar dari tempat perlindungan, lalu diserahkan kepada Kempetai Bogor. Beberapa orang yang masih hidup menjadi tawanan Jepang dan dipaksa untuk menggali kubur bagi teman-temannya. Sungguh suatu kisah yang pilu bagi yang masih hidup tersebut. Dalam keadaan terluka, ditawan, masih dipaksa menggali kuburan untuk para rekan-rekannya sedangkan nasib mereka masih belum jelas hendak bagaimana dan bakal diapakan. Empat hari setelah Peristiwa Lengkong, atau tepatnya 29 Januari 1946, dilaksanakan pemakaman kembali ke-36 jenasah yang gugur dalam Peristiwa Lengkong, ditambah kemudian seorang taruna lagi bernama Soekardi, yang luka berat dan akhirnya menghembuskan nafas terakhir di RS Tangerang.
Lokasi pemakaman ulang ini, kini menjadi Taman Makam Pahlawan Taruna yang terletak di Jalan Raya Daan Mogot No,1, tak jauh dari area Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Remaja dan Anak, juga dekat dengan Masjid Raya Al A’zhom di Kota Tangerang. Sementara itu, melalui Keppres RI No.28/BTK/Tahun 1966 tentang Pemberian Tanda-Tanda Kehormatan, tepat pada peringatan Hari Pahlawan, yakni 10 November 1966, Presiden RI Soekarno menetapkan penganugerahan Tanda Kehormatan Bintang Mahaputra Kelas III untuk Letkol Ignatius Slamet Riyadi, dan Mayor Daan Mogot, atas jasa-jasanya yang luar biasa terhadap Negara, Bangsa dan Revolusi Indonesia, khususnya pada Akademi Militer Tangerang.
[caption id="attachment_318105" align="alignnone" width="567" caption="Informasi yang terpampang mengenai Cagar Budaya Monumen Palagan Lengkong. (Foto: Gapey Sandy)"]