Kelima: Wawancara tvOne dengan Dhani juga mempunyai nilai berita sekaligus hiburan yang tinggi pula karena menyangkut peristiwa sensasional. Betapa tidak? Seorang anak berusia 13 tahun, bebas berkendara di jalan tol, tanpa sepengetahuan orangtuanya dan akibat kelalaiannya mengakibatkan enam orang sekaligus nyawa meregang nyawa. Belum lagi, para korban luka lainnya. Sungguh terasa musykil, spektakuler, luar biasa maupun sulit diterima akal.
Dan keenam: Wawancara dengan Dhani ini mencuri perhatian dan semakin bernilai positif karena menumbuhkan kesadaran masyarakat dan negara untuk kehidupan bersama yang lebih baik. Dalam hal ini, memunculkan kesadaran publik bahwa anak-anak di bawah umur yang belum memiliki SIM agar tidak diberi peluang sekaligus keleluasaan untuk mengendarai mobil atau motor seenaknya. Apalagi, Dhani sempat menyebut bahwa tanggung-jawab atas ketertiban berkendara di jalan umum juga menjadi tanggung-jawab semua pihak, termasuk penyelenggara jalan tol, dan negara! Dengan kata lain, ada nilai tanggung jawab sosial dalam wawancara ini.
PRESENTER ATAU PENYIDIK?
Kalau wawancara tvOne dengan Dhani ini dianggap mengandung nilai berita dan hiburan yang tinggi seperti di atas, lantas kenapa presenternya malah membuat narasumber menjadi sewot? Kenapa wawancara ini berubah jadi tidak menyenangkan bagi salah satu pihak? Salahnya dimana?
Wawancara dengan Dhani adalah merupakan The Factual Interview, atau wawancara yang dilakukan untuk memperoleh atau menggali fakta-fakta. Tentu saja, menyangkut kecelakaan lalu lintas maut yang menghilangkan nyawa enam orang dan melukai sekian banyak korban lainnya secara sekaligus, dimana si Dul, putra bungsu Dhani adalah tersangka pelakunya.
Dalam wawancara dengan Dhani, nampak bahwa pewawancara berusaha mencairkan suasana (ice breaking) dengan menyapa Dhani sembari menyatakan turut berduka atas kecelakaan yang menimpa si Dul sekaligus mengalami luka. Disini, ice breaking berlangsung mulus, dan menjadi makin baik dengan lontaran pertanyaan pembuka yang bertipikal terbuka, sehingga membuat narasumber rileks. Pertanyaan pembuka itu adalah: "Ketika mendengar Dul kecelakaan, apa yang ada dalam pikiran Mas Dhani saat itu?"
Tapi, apa selanjutnya? Kekacauan! Pewawancara nampak sekali kurang menunjukkan empati terhadap narasumber dengan langsung memberondong pertanyaan dengan berupaya mengorek informasi teknis sambil sesekali berusaha mendapatkan jawaban klarifikasi. Kurangnya empati makin ditunjukkan oleh interviewer dengan menjustifikasi narasumber secara sepihak, terutama saat Dhani menyatakan bahwa dirinya tidak mengetahui bahwa si Dul bisa menyetir mobil. Pewawancara seolah justru menghakimi Dhani dengan melontarkan pernyataan: "Berarti tidak terawasi. Mas Dhani tidak tahu kalau Dul bisa nyetir".
Wajar kalau Dhani merasa dirinya seolah menghadapi penyidik. Dalam kondisi fisik dan psikis yang terkuras, menyimak pertanyaan dan pernyataan pewawancara seperti itu, maklumlah bila Dhani sewot. Padahal, empati bisa ditunjukkan pewawancara misalnya dengan menanyakan: Bagaimana perkembangan perawatan medis si Dul? Apa saja rencana para dokter yang sudah disampaikan kepada pihak keluarga? Dan pertanyaan lain yang menunjukkan empati sambil membuat ice breaking secara simultan dalam sebuah bangunan yang namanya wawancara.
Bukan saja pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kurang berempati terhadap Dhani---orangtua tersangka sekaligus korban kecelakaan lalu-lintas maut ini---, tapi juga nada dan kesan dalam setiap pertanyaan yang diajukan berciri 'penekanan'. Tambah lagi, alur wawancaranya 'meloncat-loncat' sehingga membuat Dhani pun 'kesulitan' merangkai kronologis. Simak saja rangkaian pertanyaan berikut:
"Izin keluarnya bagaimana? Dul bisa keluar malam bagaimana, tanpa izin?"
"Berarti menurut Mas Dhani, diizinkannya oleh bundanya?"