Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Money

Nonton Parade Iklan Terpopuler di Ubud, Bali

12 Juni 2014   16:47 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:05 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_341972" align="aligncenter" width="614" caption="THEATRE. Beginilah ruangan bioskop mini di Museum of Marketing 3.0, Ubud, Bali. (Foto: Gapey Sandy)"][/caption]

“Silakan Pak, ada tombol merah di sisi kiri dekat pintu masuk bioskopnya, tekan saja tombolnya, dan nikmati tayangan filmnya,” ujar salah seorang staf penerima tamu kepada saya dengan nada ramah, Kamis siang, 5 Juni kemarin.

Tombol merah? Nonton bioskop? Tekan sendiri? Weleh-weleeeh, bioskop apa ini? Asyik juga kayaknya ...

Saya pun melaksanakan titah tersebut. Tombol merah, saya tekan. Sekejap kemudian, film tertayang di layar besar. Tak hanya tombol merah untuk menayangkan film yang saya pencet, bahkan saklar putar untuk meredupkan lampu ruangan bioskop pun, saya putar posisinya sedemikian rupa. Sempurna! Film mulai tayang, lampu sudah redup, penyejuk ruangan berfungsi maksimal. Saya pun menikmati tayangan film berdurasi sekitar 15 menit ini. Meski tempat duduknya yang ‘hanya’ terbuat dari bilah potongan kayu gelondongan besar dan kurang nyaman diduduki, lengkap tanpa sandaran punggung dan tanpa sandaran lengan, tapi hal ini tak mampu mengurangi kekhusyukan saya memelototi adegan demi adegan filmnya.

Uniknya, selama tayangan film ini diputar, saya tak perlu bersusah-payah membaca teks terjemahan conversation seperti biasa, karena di kanan dan kiri layar lebar, ada dua orang pemandu film, laki dan perempuan mengenakan busana tradisional, yang memberi penjelasan mengenai alur tayangan dan kandungan inti materi. Tapi, sepasang pemandu film ini tidak tampil secara nyata, keduanya hanya muncul dalam layar yang ukurannya lebih kecil dibandingkan dengan layar lebar utama. Duuh, senangnya nonton film ‘didampingi’ kedua pemandu ini.

[caption id="attachment_341974" align="aligncenter" width="614" caption="MUSEUM OF MARKETING 3.0. Inilah Museum Puri Lukisan di Ubud, Bali, tempat dimana Museum of Marketing 3.0 berada, persisi di sisi kiri, atau gedung beratap hijau muda kekuningan itu. (Foto: Gapey Sandy)"]

14025399491087957782
14025399491087957782
[/caption]

Lantas apa sih cerita filmnya?

Sebuah pertanyaan penasaran yang menarik. Film pendek ini mengetengahkan sejumlah contoh kampanye pemasaran atau periklanan yang meraih sukses di mancanegara. Sebut saja misalnya, iklan televisi Coke (1971), dan Apple Macintosh (1984), serta kampanye periklanan program RED yang mengumpulkan dana dari para relawan melalui Global Fund untuk memerangi wabah penyakit HIV/AIDS di berbagai negara seperti Ghana, Kenya, Lesotho, Rwanda, Afrika Selatan, Swaziland, Tanzania, dan Zambia.

Iklan televisi Coke berjudul I’d Like to Buy the World a Coke and Keep It Company pertama kali ditayangkan di Eropa. Mendapat sambutan hangat, lalu iklan televisi ini mulai merambah Amerika Serikat pada Juli 1971. Hasilnya? Luar biasa! Hanya dalam tempo lima bulan, produsen Coca-Cola telah menerima kiriman lebih dari seratus ribu surat dari publik yang mengapresiasi iklan tersebut. Bahkan sejumlah stasiun radio, diminta oleh para pendengarnya untuk memutar berulang kali jingle iklan Coke. Tak pelak, jitunya tayangan iklan dan strategi pemasaran yang mumpuni, telah menggugah dunia untuk ber-’Coke’. Iklan yang diproduksi oleh Billy Davis ini pun dianggap sebagai iklan terbaik sepanjang masa dengan popularitas yang abadi.

Berdasarkan permintaan publik, jingle iklan Coke ini kemudian dirilis ulang tanpa mereferensikan produk Coke. Dan hasilnya? Sudah bisa ditebak, single lagu ini kemudian laris di tanggal-tangga lagu hits mancanegara. Bahkan pada tahun 1971 itu pula, single ini sukses menduduki tangga pertama di Britania Raya, dan posisi ketujuh di Amerika Serikat. Hebatnya lagi, Coca-Cola Company menolak untuk menerima pemberian royalti atas lagu ini, dan sebaliknya, mereka malah menyumbangkan dana sebesar US$ 80.000 kepada UNICEF.

[caption id="attachment_341975" align="aligncenter" width="614" caption="HUMAN SPIRIT. Suasana di dalam Museum of Marketing 3.0. Kampanye pemasaran yang sukses atas sejumlah brand produk dan bertalian dengan aspek human spirit, dapat disaksikan di museum yang terletak di Ubud, Bali ini. (Foto: Gapey Sandy)"]

14025400171053426106
14025400171053426106
[/caption]

Penasaran untuk melihat bagaimana tayangan iklan televisi berjudul I’d Like to Buy the World a Coke and Keep It Company (Aku ingin membelikan dunia sebotol Coke dan menjadikannya sahabat) yang sukses itu? Silakan click saja, di sini.

Penayangan film yang memaparkan contoh-contoh kampanye pemasaran atau periklanan yang mendulang sukses dan menyabet berbagai prestasi mendunia ini memang menjadi salah satu layanan istimewa yang diberikan secara khusus kepada pengunjung Museum of Marketing 3.0 yang berlokasi di sisi kiri area kompleks Museum Puri Lukisan di Jalan Raya Ubud, Ubud, Gianyar, Bali.

Nah ... ssssssstttttt, sekarang sudah mahfum ‘toh, kenapa tontonan filmnya bertema kampanye periklanan? Maklum, kita sedang berada di Museum of Marketing 3.0, yang mulai resmi dibuka pada Jumat, 27 Mei 2011. Tiga tahun lalu itu, peresmian museumnya dihadiri langsung oleh Philip Kotler, sekaligus menandai hari ulang tahun yang ke-80 Sang Bapak Pemasaran Modern Dunia ini.

Masih di dalam theatre, tayangan berikutnya adalah kisah sukses iklan televisi pada dekade 1980-an. Iklan tersebut bertajuk “1984” dan menjadi kampanye periklanan above the line untuk peluncuran produk Personal Computer (PC) Apple Macintosh. Iklan yang dibuat oleh Steve Hayden (penulis iklan), Lee Clow (pengarah kreatif), Brent Thomas (pengarah seni), dengan arahan Ridley Scott ini diproduksi oleh Fairbanks Films, New York.

[caption id="attachment_341976" align="aligncenter" width="369" caption="THE 3i MODEL. Terpajang pula cuplikan dari buah pemikiran Philip Kotler yaitu The 3i Model of Marketing 3.0, yang tiada lain adalah Brand Integrity, Brand Identity, dan Brand Image. (Foto: Gapey Sandy)"]

1402540079534213669
1402540079534213669
[/caption]

Para praktisi pemasaran mancanegara beranggapan, iklan yang dibintangi Anya Major sebagai atlet wanita yang melemparkan palu bergagang panjang dan berhasil menghancurkan layar kaca ketika tayangan Big Brother yang diperankan David Graham sedang berlangsung ini, adalah merupakan iklan yang menandai sebuah “titik perubahan” dan penciptaan “mahakarya”. Mengapa demikian? Tepat pada saat palu yang dilemparkan Anya Major menghantam dan menghancurkan layar lebar siaran Big Brother, maka momentum ini kemudian dianggap sebagai “pembebasan umat manusia” dari cengkeraman kekuasaan dan ideologi ‘Unifikasi Pikiran’ ala Big Brother. Tentu saja, semua pembebasan umat manusia ini sekaligus menyimbolkan kehadiran produk Apple Macintosh.

Isi pesan provokatif Big Brother itu sendiri adalah sebagai berikut: “Today, we celebrate the first glorious anniversary of the Information Purification Directives. We have created, for the first time in all history, a garden of pure ideology. Where each worker may bloom secure from the pests of contradictory and confusing truths. Our Unification of Thoughts is more powerful a weapon than any fleet or army on earth. We are one people, with one will, one resolve, one cause. Our enemies shall talk themselves to death and we will bury them with their own confusion. We shall prevail!”

Pada saat pengucapan “We shall Prevail!” oleh Big Brother melalui tayangan layar lebar, ketika itu pula hantaman palu Anya Major menghancurkan layar. Bersamaan dengan itu, pada tayangan iklan televisi terdengar penuturan -- berikut running text -- yang menjadi fenomenal bahkan hingga masa kini. Selengkapnya penuturan tersebut adalah sebagai berikut: On January 24th, Apple Computer will introduce Macintosh. And you’ll see why 1984 won’t be like “1984”.

Untuk menyaksikan tayangan iklan televisi Apple Macintosh bertajuk “1984” yang bersejarah ini, silakan click di sini.

[caption id="attachment_341977" align="aligncenter" width="614" caption="INTERIOR. Kondisi di dalam Museum of Marketing 3.0 di Ubud, Bali, yang kental dengan teknologi bernuansa futuristik. (Foto: Gapey Sandy)"]

1402540144396879342
1402540144396879342
[/caption]

Selain kampanye pemasaran Coke dan Apple Macintosh yang ditampilkan dalam film, ada lagi kampanye periklanan yang dinilai berhasil menggugah simpati sekaligus aksi positif dari publik di seantero kolong jagat raya. Iklan tersebut bertajuk The Lazarus Effect yang diluncurkan oleh (RED) yang berkolaborasi dengan The Global Fund to Fight AIDS, Tuberculosis and Malaria (GFATM).

Lantas apa itu (RED)? (RED) berdiri pada 2006 dengan pemrakarsa Bono (vokalis kelompok band U2) dan Bobby Shriver (aktivis, pengacara, jurnalis). Ini adalah sebuah gagasan mulia yang menyatukan banyak konsumen sehingga menjadi kuat karena sifatnya yang kolektif demi menyelamatkan banyak nyawa di berbagai belahan dunia. Ambil contoh saja begini, para konsumen yang membeli coffee di outlet Starbuck, apabila mereka membeli dengan produk yang kemasannya berlabel warna merah, maka praktis uang yang dibayarkannya sudah termasuk (memberi) sumbangan sebesar 40 sen, untuk dikumpulkan melalui GFATM tadi.

Kampanye iklan (RED) ini luar biasa sambutannya di dunia. Iklannya sendiri bertabur selebriti mancanegara, seperti Bono, Penelope Cruz, Javier Bardem, Jualianne Moore, Naomi Watts, Gwen Stefani, Claire Danes, Bryan Cranston, Kerry Washington, John Turturro, Toni Collette, Hugh Jackman, Orlando Bloom, Lucy Liu, Gabourne Sidibe, Jane Lynch, LeAnn Rimes, Michelle Rodriguez, Hayden Christensen, dan masih banyak lagi. Iklan multi-platform di TV, media online dan cetak ini disutradarai oleh fotografer kondang Brigitte Lacombe.

[caption id="attachment_341978" align="aligncenter" width="614" caption="BERGAYALAH. Para pengunjung akan dipotret oleh staf museum untuk kemudian dipublikasikan kunjungannya melalui situs Museum of Marketing 3.0 yaitu mm3-ubud.org. (Foto: Gapey Sandy)"]

14025403241955612846
14025403241955612846
[/caption]

Dalam iklan (RED) Lazarus Effect ini, terlihat masing-masing selebriti mengartikan nilai uang 40 sen dengan berbagai hal yang bisa dibeli, seperti permen karet, kantong kertas makan siang, tiket parkir, lipstick dan sebagainya. Kecuali Bono, yang justru menegaskan, bahwa sebenarnya dengan uang 40 sen dari setiap kita, dapat turut membantu mengobati banyak penyakit yang diderita oleh masyarakat di berbagai belahan dunia, utamanya Afrika. Salut, Oom Bono!

Hingga kini, (RED) telah memberikan kontribusi lebih dari US$ 250 juta untuk mendukung aksi Global Fund memerangi HIV/AIDS di Ghana, Kenya, Lesotho, Rwanda, Afrika Selatan, Swaziland, Tanzania dan Zambia. Aksi nyata ini dilakukan melalui berbagai program lokal seperti counseling dan tes HIV, aksi mencegah HIV, melakukan terapi antiretroviral untuk ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS), merawat dan menyantuni anak-anak yatim piatu karena AIDS, dan masih banyak concern dari para relawan lainnya.

Museum of Marketing 3.0

“Dinamakan Museum of Marketing 3.0 karena memang mengacu pada buku berjudul Marketing 3.0 yang ditulis secara bersama antara Philip Kotler, Hermawan Kartajaya, dan Iwan Setiawan. Buku tersebut berjudul Marketing 3.0 : Dari Produk ke Pelanggan ke Human Spirit,” ujar seorang staf museum ketika menjawab pertanyaan saya kenapa museumnya diberi nama Marketing 3.0.

[caption id="attachment_341980" align="aligncenter" width="614" caption="WALL OF FAME. Grameen Bank, organisasi kredit mikro di Bangladesh yang didirikan oleh Muhammad Yunus, termasuk yang terpampang di Museum of Marketing 3.0. (Foto: Gapey Sandy)"]

1402540419175883870
1402540419175883870
[/caption]

Menurutnya lagi, ide untuk membangun museum ini mulai terbetik pada tahun 2009. “Ketika itu, dalam sebuah santap sarapan pagi, Hermawan Kartajaya mengusulkan konsep untuk membangun museum kepada Philip Kotler. Ubud menjadi lokasi pilihan karena merupakan salah satu pusat spiritual di Bali, yang terkenal dengan filosofi Tri Hita Karana, menyeimbangkan antara Tuhan, Manusia, dan Alam. Atau, dengan kata lain, spiritualisme vertikal dan horizontal,” jelas staf museum itu lagi membuat saya terangguk-angguk.

Suksesnya pembangunan Museum of Marketing 3.0 di kompleks Museum Puri Lukisan, Ubud, juga tidak lepas kaitannya dari andil Tjokorda Gde Raka Sukawati, pangeran Ubud yang terobsesi dengan masalah pemasaran, bersama dengan dua pangeran lainnya, Tjokorda Gde Putra Sukawati dan Tjokorda Gde Oka Artha Ardana Sukawati.

Mengusung konsep informatif, entertaining, dan interaktif, museum ini terdiri dari sembilan bagian, mulai dari Pengantar Marketing 3.0 Konsep; Korporasi 3.0 Wall of Fame; Marketer 3.0 Walk of Fame; Great Theatre Kampanye Pemasaran; United Nations Global Compact; Pemberdayaan Minoritas; Bawah Piramida; Kelestarian Lingkungan; dan, Perusahaan Asia. Sejumlah perusahaan dan institusi nampak ada di wall (walk) of fame yang dimaksud, seperti misalnya Grameen Bank, Mayo Clinic, Air Asia, Astra International, dan masih banyak lagi.

[caption id="attachment_341981" align="aligncenter" width="614" caption="PENAMPAKAN. Bersandar di teras depan Museum of Marketing 3.0. I was here, beib! (Foto: Gapey Sandy)"]

1402540562282494755
1402540562282494755
[/caption]

Oh ya, sampai lupa ... lokasi Museum Marketing of 3.0 tak begitu jauh dari obyek wisata Sacred Monkey Forest Sanctuary, atau hanya sekitar dua kilometer mengarah ke Utara, melintasi Jalan Hanoman, lalu berbelok kiri melintasi Jalan Raya Ubud. Setelah melewati Ubud Palace dan Ubud Market yang saling berseberangan – dan selalu ramai oleh wisatawan --, maka Museum Puri Lukisan dapat ditemui di sisi sebelah kanan jalan. Sedangkan Museum of Marketing 3.0, ya berada di sisi kiri kompleks Museum Puri Lukisan ini. Harga tiket masuk ke Museum Puri Lukisan? Lumayan juga, Rp 75 ribu per orang (include panganan kecil dan minuman segar). Sedangkan kalau ingin sekalian jamuan makan siang, harga tiket masuknya adalah Rp 115 ribu per orang. Pokoknya, puas keliling area museum, lalu meneguk lime juice di cafetarianya, glekkk ... rasanya, mak nyuusssss!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun