Pada teras ketujuh, tepatnya di dindin kanangapura terdapat tulisan pada batu dengan aksara Jawa Kuno yang bertuliskan pelling padamel irikang buku tirtasurya hawakira ya hilang saka kalanya wiku goh anaut iku 1397. Penafsiran dari inskripsi ini adalah fungsi candi sebagai tempat menyucikan diri (ruwat) dan penyebutan tahun pembuatan gapura, yakni 1397 Saka atau 1475 Masehi.
[caption id="attachment_344429" align="aligncenter" width="614" caption="RELIEF. Salah satu relief unik dengan gambar orang terbalik. Kenapa terbalik ya? (Foto: Gapey Sandy)"]
[caption id="attachment_344440" align="aligncenter" width="614" caption="RELIEF. Pada jajaran batu terdapat relief yang berkisah. (Foto: Gapey Sandy)"]
Di teras ketujuh ini juga terdapat banyak sekali batu-batu yang ditata mendatar di atas permukaan tanah, dan menggambarkan kura-kura raksasa. Ada juga batu yang dipahat menyerupai surya Majapahit – ada yang menafsirkan sebagai lambang Kerajaan Majapahit --, simbol phallus (penis, alat kelamin laki-laki) sepanjang dua meter lengkap dengan hiasan tindik (piercing) bertipe ampallang. Phallus, ditafsirkan sebagai simbol penciptaan manusia. Adapun kura-kura dianggap sebagai lambang penciptaan alam semesta. Selain itu, ada pula pahatan batu berbentuk simbol-simbol hewan, seperi katak, ketam dan lainnya. Simbol-simbol hewan yang ada ini, dapat dimaknai sebagai suryasengkala berangka tahun 1373 Saka, atau 1451 Masehi.
[caption id="attachment_344430" align="aligncenter" width="614" caption="JAGA KESOPANAN. Himbauan untuk berlaku sopan dan tidak mencorat-coret batu maupun kayu di Candi Ceto. (Foto: Gapey Sandy)"]
[caption id="attachment_344431" align="aligncenter" width="614" caption="TANGAN JAHIL. Meski rambu agar pengunjung menjaga kesopanan dan dilarang mencorat-coret sudah dipasang, namun coretan di kayu yang ada di Candi Ceto tetap saja dilakukan oleh tangan jahil. (Foto: Gapey Sandy)"]
Di teras selanjutnya, dijumpai jajaran batu pada dua sisi yang bersebelahan. Batu berpahat ini memuat relief cuplikan kisah Sudamala. Kisah ini cukup populer di kalangan masyarakat Jawa sebagai dasar upacara ruwatan. Nah, dua teras berikutnya berbeda dengan suasana di teras bawah, karena terdapat bangunan-bangunan pendopo yang mengapit jalan masuk candi. Pendopo-pendopo ini masih difungsikan manakala berlangsung upacara keagamaan. Sayangnya, meski sudah ada peringatan untuk bebicara dan berlaku sopan, serta tidak mencorat-coret batu maupun kayu yang ada di area candi, namun masih saja ada tangan jahil yang melakukannya.
[caption id="attachment_344432" align="aligncenter" width="410" caption="POSE JOSHUA. Kompasianer Joshua Limyadi menjadi foto model dadakan. (Foto: Gapey Sandy)"]
[caption id="attachment_344433" align="aligncenter" width="614" caption="HENING. Gapura dan keheningan di Candi Ceto. (Foto: Gapey Sandy)"]
Teras ke sembilan adalah yang paling tinggi, dan menjadi tempat untuk memanjatkan doa-doa. Di sini terlihat bangunan batu berupa kubus yang terlilit bendera merah putih. Merinding juga melihatnya, tepat di pucuk warisan leluhur di lereng Barat Gunung Lawu, merah putih gagah terpasang, membanggakan!
[caption id="attachment_344434" align="aligncenter" width="614" caption="TERTINGGI. Area bangunan candi di teras tertinggi. (Foto: Gapey Sandy) "]