[caption id="attachment_344423" align="aligncenter" width="614" caption="SAAT INI. Simbol Phallus, ditafsirkan sebagai simbol penciptaan manusia. (Foto: Gapey Sandy)"]
Candi Ceto, menurut literatur dan foto-foto yang terpampang pada sisi sebelah kanan gapura, disebut sebagai candi bercorak agama Hindu, dan pembangunannya diprediksi pada masa-masa akhir era Kerajaan Majapahit, sekitar abad ke-15 Masehi). Lokasi candi berada di lereng Gunung Lawu, pada ketinggian 1.496 m di atas permukaan laut, tepatnya secara administratif berada di Dusun Ceto, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar. Biasanya, candi ini selalu digunakan oleh penduduk sekitar dan peziarah yang beragama Hindu sebagai tempat pemujaan, juga tempat bersemedi bagi kalangan penganut kepercayaan asli Jawa, Kejawen.
[caption id="attachment_344424" align="aligncenter" width="614" caption="DI ATAS PERMUKAAN TANAH. Batu-batu yang tertata mirip seperti burung yang tengah mengepakkan sayap. Pada batu tersebut, banyak terpahat simbol binatang, sang surya Majapahit, dan sebagainya. (Foto: Gapey Sandy)"]
[caption id="attachment_344425" align="aligncenter" width="614" caption="SUKA GAJAH. Aku suka gajah, kata Mbak Agatha Nirbanawati sambil berpose dekat patung kecil berbentuk gajah itu. (Foto: Gapey Sandy)"]
Adalah van de Vlies, pada tahun 1824, yang pertama kali melaporkan secara ilmiah mengenai Candi Ceto. Lalu A.J.Bernet Kempers, kemudian juga melakukan penelitian. Akhirnya, pada 1928, Dinas Purbakala Hindia Belanda melakukan proses penggalian demi merekonstruksi dan menemukan lebih banyak lagi obyek-obyek yang terpendam.
[caption id="attachment_344426" align="aligncenter" width="614" caption="KURA-KURA. Simbol kura-kura ini, konon melambangkan penciptaan alam semesta. (Foto: Gapey Sandy)"]
[caption id="attachment_344427" align="aligncenter" width="614" caption="SURYA MAJAPAHIT. Diduga kuat, inilah lambang Kerajaan Majapahit. (Foto: Gapey Sandy)"]
Saat ini, kompleks Candi Ceto terdiri atas sembilan tingkatan berundak. Sebelum gapura yang berbentuk candi bentar, dan mirip tanduk besar, dapat dijumpai dua pasang arca penjaga. Aras (teras) pertama sesudah gapura masuk (yakni teras ketiga) adalah halaman candi. Teras kedua masih berupa halaman, dan pada teras ketiga terdapat petilasan leluhur masyarakat Dusun Ceto, Ki Ageng Krincingwesi.
[caption id="attachment_344437" align="aligncenter" width="410" caption="MEMPELAJARI SEJARAH. Arca tanpa kepala, dan Kompasianer Tubagus Encep yang gemar mempelajari lekukan pahatan batu arca. (Foto: Gapey Sandy)"]
[caption id="attachment_344438" align="aligncenter" width="614" caption="DUA ARCA. Kompasianer Thamrin Sonata diantara dua arca. (Foto: Gapey Sandy)"]
[caption id="attachment_344439" align="aligncenter" width="614" caption="KABUT. Diantara patung dan arca, serta kabut Candi Ceto yang selalu membuat kangen. (Foto: Gapey Sandy)"]