[caption id="attachment_344417" align="aligncenter" width="614" caption="MENEMBUS KABUT. Komunitas bikers sukses menembus kabut dan mencapai ujung pendakian Candi Ceto. (Foto: Gapey Sandy)"]
[caption id="attachment_344418" align="aligncenter" width="410" caption="BIRU NAN GAGAH. Kompasianer Ngesti Setyo Moerni tak mau kalah, menjajal medan terjal dari atas jok sepeda motor. (Foto: Gapey Sandy)"]
Jawaban belum kunjung kami peroleh. Malah serombongan komunitas penggemar sepeda motor yang justru tiba di akhir pendakian bagi kendaraan bermotor. Para bikers ini mengendarai sepeda motor berukuran besar, dengan lampu besar yang menyala terang guna menembus kabut di lereng Gunung Lawu yang terus menebal.
Syukurlah, tak berapa lama kemudian, rombongan ketiga yang menumpang mobil putih ini sampai juga ke tempat kami menunggu di dekat loket penjualan tiket masuk. Tapi yang mengherankan, nampak anggota rombongan ini yaitu Mbak Ika Pramono selaku group head di sebuah agency terkemuka nasional, dan Mbak Agatha Nirbanawati sebagai Asisten Direktur PT Deltomed Laboratories justru terlihat berjalan kaki, dan nampak bernapas agak tersengal, lantaran harus mendaki. TERUS, KEMANA MOBILNYA? Jawaban meluncur dari Mbak Ika sambil ngos-ngosan, “Mobilnya enggak kuat nanjak. Terpaksa, untuk ngurangi beban, kita-kita turun dari mobil, dan jalan kaki”.
[caption id="attachment_344419" align="aligncenter" width="614" caption="LHO, MOBILNYA MANA? Karena mobilnya tak kuat menanjak, terpaksa Mbak Ika dan Mbak Agatha turun dari mobil dan melanjutkan pendakian, menembus kabut dengan berjalan kaki, tentu saja sambil ngos-ngosan. Nasiiibbbb ... (Foto: Gapey Sandy)"]
Meski akhirnya mobil berwarna putih itu sampai juga ke ujung pendakian, untuk kemudian parkir bersama dua minibus yang sudah lebih dahulu tiba, tapi salah seorang supir minibus rombongan kami memang mengatakan, mobil dengan tipe transmisi automatic kurang dapat diandalkan untuk melakukan perjalanan mendaki dengan tanjakan yang berkelok tajam dan curam, seperti pendakian menuju ke Candi Ceto ini.
Setelah rombongan lengkap, tiket masuk pun diborong Mbak Agatha. Di kaca layanan tiket tertera harga Rp 3.000 untuk pengunjung asal domestik, dan Rp 10.000 bagi pengunjung asal mancanegara. Rombongan kemudian mulai mendaki anak tangga menuju gapura Candi Ceto yang menjulang dan terbuat dari susunan serta pahatan batu hitam. Cukup tinggi juga tangga pada undakan awal ini, meski begitu, semangat untuk melihat apa saja yang ada di ‘atas’, tepatnya di dalam area Candi Ceto mampu mengalahkan lelah dan pegalnya kedua kaki.
[caption id="attachment_344420" align="aligncenter" width="614" caption="BERSELIMUT KABUT. Informasi sekaligus papan peringatan bahwa Candi Ceto adalah Cagar Budaya yang dilindungi. (Foto: Gapey Sandy)"]
[caption id="attachment_344421" align="aligncenter" width="410" caption="MAGNET WISATA. Sepasang turis mancanegara didampingi guide menaiki anak tangga melewati gapura Candi Ceto. (Foto: Gapey Sandy)"]
Menjelang masuk gapura, di sisi kiri terdapat papan peringatan bagi pengunjung. Tepatnya, informasi sekaligus peringatan dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah, yang intinya menegaskan bahwa, Candi Ceto adalah salah satu cagar budaya yang dilindungi. Sehingga, berdasarkan UU RI No.11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, “Setiap orang dilarang untuk merusak, mencuri, memindahkan dan / atau memisahkan Cagar Budaya, baik seluruh maupun bagian-bagiannya dari kesatuan, kelompok dan / atau letak asal (pasal 66 dan 67). Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenakan pidana penjara dan / atau denda (pasal 105, 106 107, dan 108)”.
[caption id="attachment_344422" align="aligncenter" width="426" caption="SAAT PENGGALIAN. Beginilah kondisi saat penggalian Candi Ceto pada tahun 1928. (Repro: Papan informasi di Candi Ceto)"]