Sebenarnya, masih banyak minuman lain yang namanya cukup asing di telinga. Sebut saja misalnya, Mesem Dremboko (beras kencur, gula asam, dan sedikit garam), Es Goela Asem Koriwetan (asam dan gula kelapa), dan Tape Jeruk Gandhek Tangen (jus jeruk dengan tape fermentasi). Mungkin juga, karena tampilan Es Maruk Jenar yang paling mencolok bak primadona, lengkap dengan satu butir buah cherry merah di bibir gelas, tak salah kalau sebagian besar Kompasianers sepakat untuk memesannya.
Gandheng sampun tuwuk (lantaran sudah kenyang), tak ada alasan bagi Kompasianers untuk berlama-lama di lokasi dinner. Rombongan sepakat untuk segera kembali ke penginapan. Apalagi, sejak siang hari sudah tersiar kabar, kalau sejumlah Kompasianers yang bermukim di Solo, akan berjumpa wajah, kopi darat. Sesampainya di penginapan, benar saja, sejumlah Kompasianers lokal Solo sudah menunggu. Ada Mbak Niken Satyawati, Mas Stefanus Toni alias Tante Paku, Mbak Sugiastuti Sri, dan lainnya. Suasana gayeng (senang, gembira) terpancar dalam pertemuan malam itu di lobby penginapan. Foto bersama pun, tidak ketinggalan, ceklik! Alhamdulillah, senang sekali bisa kopdar dan berjabat tangan erat bersama Kompasianers asal Solo. Semoga persahabatan ini lestari adanya.
[caption id="attachment_344414" align="aligncenter" width="614" caption="SOLO BARU. Salah satu area di kawasan Soba, alias Solo Baru. (Foto: Gapey Sandy)"]
Keesokan pagi, usai sarapan ala kadarnya, rombongan bersiap menuju Candi Ceto di Karanganyar. Dua kendaraan mini bus tanggung, dan satu city car berangkat beriringan. Sepanjang perjalanan, tak ada kemacetan sama sekali. Pembangunan fisik kota batik ini memang cukup bergeliat, ada fly over yang belum kelar pembuatannya, banyak tugu/patung dibangun sebagai tenger (penanda) area, pusat perbelanjaan bonafide bermunculan, ruko-ruko semakin berjajar, lengkap dengan tempat-tempat makan dan lokasi-lokasi hiburannya. Pemandangan seperti ini, utamanya terlihat di kawasan Solo Baru (Soba). Kalau coba dibayangkan, Soba dikembangkan mirip-mirip dengan Kota Mandiri Bumi Serpong Damai (BSD) City di Kota Tangerang Selatan, Banten.
Tak hanya itu, bahkan Soba juga mengusung tagline sebagai Kawasan Mandiri atau Kota Satelit, yang sudah barang tentu memanjakan seluruh warganya dengan beragam fasilitas. Mulai dari dealer kendaraan bermotor, pusat perbelanjaan, rumah sakit, hotel, tempat rekreasi, sekolah, perkantoran dan perbankan, juga kuliner. Dengan kelengkapan fasilitas seperti ini, pihak pengembang Soba tentu saja menawarkan pula bermacam pilihan tempat hunian.
[caption id="attachment_344415" align="aligncenter" width="614" caption="KEBUN TEH. Pemandangan seperti ini mendominasi perjalanan mendaki ke Candi Ceto. (Foto: Gapey Sandy)"]
Seperti yang termuat dalam situs solobaru.com, sejumlah perumahan yang dimaksud misalnya, Olive Residence (yang terdiri dari tipe bangunan dua lantai dengan luas bangunan 165 m2, 235 m2, dan 295 m2), Brooklyn Residence, New Orchid, Jasmine, dan Cendana Square (yang disebut-sebut sebagai Malioboro-nya Solo). Soba sendiri dibangun di areal seluas 200 hingga 250 hektar, dan ke depan, pengembangan Soba akan semakin menarik karena telah terdapat rencana pengembangan Solo Raya yang akan menyambungkan antara Kota Solo dengan kota-kota lain di sekelilingnya dalam satu kesatuan.
Usai melintasi Kawasan Mandiri Solo Baru, tepatnya di Jalan Ir Soekarno (Jalan Solo Wonogiri), rombongan terus menuju ke arah Karanganyar dengan melintasi kawasan Palur, Karangpandan, Jalan Lawu, Terminal Wisata Ngargoyoso, dan selanjutnya mendaki jalan beraspal di kaki dan lereng Gunung Lawu. Kalau ditilik dari googlemap, jarak dari lokasi penginapan Griya Teratai di Mangkubumen (Solo), ke Candi Ceto (Karanganyar) adalah kurang dari 60 km, atau bila menggunakan mobil, perjalanan hanya membutuhkan waktu satu jam lebih sembilan menit. Tapi nyatanya, karena medan perjalanan mendaki kaki dan lereng Barat Gunung Lawu cukup ekstrem dengan kelokannya yang mengular tajam, dan sudut kemiringan yang curam, rasanya perjalanan menjadi lebih lama lagi.
[caption id="attachment_344416" align="aligncenter" width="538" caption="DUSUN CETO. Kabut yang menggelayuti Dusun Ceto. (Foto: Gapey Sandy)"]
Di kiri kanan perjalanan menuju Candi Ceto, Karanganyar, kebun-kebun teh menghampar bak karpet alam dengan gradasi warna hijau muda kepada hijau tua. Saat melintas dapat dijumpai pula lahan perkebunan milik warga. Aneka tanaman sayur terlihat subur, seperti lobak, cabai, tomat, dan bawang. Sesekali nampak para wanita pemetik daun teh yang tengah bekerja dengan tangan terampilnya di balik rerimbunan pohon teh yang kerdil. “Perjalanan mendaki terus, sedangkan suhu udara di luar sudah terasa sejuk. Lebih baik AC mobil dimatikan saja, jendela dibuka, sekaligus untuk menambah power mobilnya karena jalanan makin menanjak,” saran Thamrin Sonata, Kompasianer yang punya banyak pengalaman dan cerita mengenai Solo beserta gemerlapnya.
Butuh skill yang memadai bagi sang supir untuk mendaki lereng Gunung Lawu menuju Candi Ceto. Meskipun, begitu sampai pada ujung pendakian, hati terasa plong, lega. Mobil mini bus kedua, yang berisi rombongan di belakang kami pun menyusul tiba di pelataran parkir yang letaknya tak jauh dari loket penjualan tiket masuk dan gapura Candi Ceto. TAPI, KEMANA MOBIL WARNA PUTIH YANG MEMBAWA ROMBONGAN KAMI LAINNYA? Butuh waktu juga untuk menunggu rombongan ini sampai di ujung puncak pendakian ini. Apa yang terjadi?