Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Terjegalkah Jokowi Wujudkan Bank Tani?

5 September 2014   03:30 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:35 912
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_357235" align="aligncenter" width="539" caption="Setelah menyerap aspirasi dari para petani, Jokowi kemudian mencetuskan wacana pembentukan bank khusus untuk para petani, Bank Tani. (Foto: merdeka.com)"][/caption]

Keberpihakan Jokowi terhadap nasib dan kesejahteraan masyarakat kecil memang sudah tidak bisa diragukan lagi. Salah satunya, keberpihakan Jokowi pada nasib kaum petani. Ini tercermin dari niat Jokowi untuk membantu usaha dan permodalan para petani. Di antaranya, Jokowi mengusulkan untuk membangun Bank Tani, sebuah bank khusus yang akan menghimpun nasabah dari kalangan petani, dan tetap mengoperasionalkan prinsip-prinsip perbankan profesional demi kemaslahatan hajat hidup petani.

Memang, sewaktu menyempatkan diri berkunjung ke lahan milik para petani di Desa Tanjungrasa, Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Bogor, medio April lalu, Jokowi yang membaur dengan para petani, seperti dikutip merdeka.comberujar, “Bank Petani harus didirikan di sini untuk memberikan penghidupan bagi petani lokal. Ini juga untuk menambah permodalan yang mudah bagi petani.”

Jokowi paham, hasil panen pertanian yang bisa memproduksi 4 sampai 5 ton padi per tahun, masih bisa digenjot lebih banyak lagi. “Apalagi nilai impor bahan pangan seperti beras, daging, bawang masih tinggi, makanya dengan membentuk Bank Petani diharapkan bisa menekan hal itu. Sehingga, inflasi bahan pokok yang sering terjadi ke depan tidak akan terulang kembali,” ujar Jokowi yang waktu itu masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Wacana Bank Tani, kemudian memang jadi salah satu isu jualan dalam kampanye Pilpres kemarin. Rencana pendirian bank khusus itu pun bukan hanya milik Jokowi – Jusuf Kalla saja, tapi juga pasangan Prabowo – Hatta pun termasuk yang menggoreng isu ini.

[caption id="attachment_357236" align="aligncenter" width="567" caption="Hasil Sensus Pertanian 2013 Badan Pusat Statistik menunjukkan, ada sebanyak 26,1 juta rumah tangga usaha pertanian di Indonesia. (Sumber: ST 2013 BPS)"]

1409836859146686247
1409836859146686247
[/caption]

Dari sisi potensi bakal raihan kuantitas nasabah, andaikata ide cemerlang Bank Tani dapat diwujudkan, maka sudah terbayang akan memiliki jumlah customeryang cukup menggurita hingga puluhan juta orang. Betapa tidak, data dari hasil Sensus Pertanian (ST) 2013 yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, jumlah usaha pertanian di Indonesia didominasi oleh kegiatan usaha pertanian di rumah tangga. Hal ini ditunjukkan oleh besarnya jumlah rumah tangga usaha pertanian di Indonesia ST 2013 tercatat sebanyak 26,1 juta rumah tangga, menurun sebesar 16,32 persen dari hasil ST 2003 yang sebanyak 31,2 juta rumah tangga. Sedangkan jumlah perusahaan pertanian berbadan hukum sebanyak 4,2 ribu perusahaan dan usaha pertanian lainnya sebanyak 5,9 ribu unit.

Pulau Jawa masih mendominasi sebagai wilayah dengan jumlah rumah tangga usaha pertanian sebesar 13,4 juta rumah tangga. Jika dibandingkan dengan hasil ST 2003, jumlah perusahaan pertanian berbadan hukum pada 2013 kemarin mengalami peningkatan sebesar 4,96 persen. Peningkatan jumlah perusahaan pertanian ini terbesar terjadi di Kalimantan sebesar 61,51 persen atau bertambah sebanyak 0,3 ribu perusahaan dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir.

Data hasil survei tahun 2013 tentang adanya 26,1 juta rumah tangga usaha pertanian ini, masih dapat dibeslah lagi berdasarkan ST 2013. Yaitu, terdapat 14,1 juta rumah tangga usaha tanaman padi. Sebagian besar dari mereka, lagi-lagi ada di Pulau Jawa dengan 8,7 juta rumah tangga, disusul Sumatera dengan 2,6 juta rumah tangga. Bila dibandingkan dengan hasil ST 2003, memang terdapat penurunan jumlah rumah tangga usaha tanaman padi hingga 0,41 persen atau sebanyak 58,4 ribu rumah tangga. Akan tetapi tak usah terlalu risau, justru di Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara, dan Sulawesi, jumlah rumah tangga yang mengusahakan komoditas padi mengalami peningkatan. Tabel BPS tentang Jumlah Rumah Tangga Usaha Tanaman Pangan Menurut Jenis Komoditas juga memperlihatkan rumah tangga usaha tanaman jagung, dan kedelai.

Masih ada lagi, jumlah rumah tangga usaha tanaman hortikultura seperti bawang merah, cabai rawit, dan jeruk. Sayangnya, hasil survei ST 2013 memperlihatkan kelesuan selama kurun waktu sepuluh tahun terakhir. Pada tahun 2013, jumlah rumah tangga yang mengusahakan komoditas bawang merah, tercatat 101,9 ribu rumah tangga. Untuk komoditas jeruk, ada sebanyak 418,8 ribu rumah tangga yang mengusahakannya. Hanya rumah tangga pembudidaya cabai rawit yang jumlahnya melonjak hingga 711,9 ribu rumah tangga, atau naik 175,98 persen dibandingkan tahun 2003.

[caption id="attachment_357237" align="aligncenter" width="567" caption="Hasil Sensus Pertanian 2013 Badan Pusat Statistik menunjukkan, ada sebanyak 14,1 juta rumah tangga usaha tanaman pangan khususnya komoditas padi di Indonesia. (Sumber: ST 2013 BPS)"]

14098369101771165693
14098369101771165693
[/caption]

Selain itu, kelompok tanaman buah-buahan tahunan merupakan tanaman yang paling banyak diusahakan oleh rumah tangga hortikultura, yaitu sebanyak 8,3 juta rumah tangga, dengan didominasi oleh rumah tangga yang mengusahakan tanaman pisang, disusul kelompok tanaman sayuran semusim (3,0 juta rumah tangga), dan kelompok tanaman sayuran tahunan (1,2 juta rumah tangga). Lainnya lagi, rumah tangga usaha kelompok tanaman obat-obatan semusim (0,6 juta), dan kelompok tanaman lainnya seperti buah-buahan semusim, tanaman obat-obatan tahunan, dan tanaman hias baik tahunan maupun semusim sebanyak 0,5 juta rumah tangga.

Boleh jadi, ide pembentukan Bank Tani telah memiliki modal databasepaling aktual dan menyeluruh, melalui hasil ST 2013 yang dirilis BPS ini. Karena, selain rumah tangga usaha pertanian, tanaman pangan, dan hortikultura, survei ini juga membeberkan jumlah rumah tangga usaha perkebunan (kelapa sawit, karet, dan kakao) yang terus meningkat. Selain itu, ada pula paparan jumlah rumah tangga usaha peternakan (ayam lokal, ayam ras pedaging, dan petelur), serta jumlah rumah tangga usaha perikanan, dan kehutanan. Paparan hasil survey ST 2013 ini, tersaji komplit semuanya, di sini!

Lantas bagaimana teorinya mendirikan Bank Tani? Apakah sulit? Kalau tidak sepenuh hati untuk merealisasikan berdirinya bank khusus, tentu jalan mudah dan terang sekalipun, akan berubah menjadi susah dan payah. Di antara usulan implementatif dalam upaya pendirian Bank Tani, muncul dari opini Krisna Wijaya yang dimuat Kompas(23/8). Praktisi sekaligus pengamat perbankan ini menawarkan dua gagasan “jalan pintas” atau “solusi antara”, untuk dikaji lebih lanjut.

Pertama, cara paling mudah mendirikan Bank Tani adalah dengan menyatukan portofolio kredit pertanian dengan kolektabilitas lancar di semua bank pemerintah untuk kemudian dikelola oleh salah satu bank milik pemerintah lainnya yang paling banyak berpengalaman di sektor pertanian. Penyatuan pengelolaan kredit sektor pertanian tersebut mencakup kredit mikro, usaha kecil dan menengah, serta kredit korporasi.

[caption id="attachment_357238" align="aligncenter" width="567" caption="Rumah tangga pembudidaya cabai rawit yang jumlahnya melonjak hingga 711,9 ribu rumah tangga, atau naik 175,98 persen dibandingkan tahun 2003. (Sumber: ST 2013 BPS)"]

1409836991421989469
1409836991421989469
[/caption]

Karena tidak semua kredit sektor pertanian berkolektabilitas lancar, di semua bank pemerintah dibentuk unit khusus untuk menampung kredit-kredit bermasalah di sektor pertanian. Tugas utama unit kerja tersebut adalah melakukan penyehatan kredit sehingga apabila sudah kembali lancar, sisanya akan tetap dikelola bank yang bersangkutan.

Kedua, melakukan penggabungan semua bank syariah milik bank pemerintah dalam sebuah bank syariah, katakanlah namanya Bank Syariah Nasional Indonesia (BSNI). Bersamaan dengan penggabungan itu, secara bertahap dilakukan reorientasi fokus bisnis karena BSNI harus fokus ke sektor pertanian. Adanya BSNI jelas memberikan fleksibilitas bagi nasabah; apakah akan memilih bank konvensional atau syariah.

Rencana pendirian bank khusus ini disoroti pula secara optimis oleh Ketua Umum Perhimpunan Bank-bank Umum Nasional (Perbanas) Sigit Pramono. Indonesia memang memerlukan bank khusus untuk mempercepat pembangunan infrastruktur dan pertanian yang menjadi tulang punggung perekonomian nasional. Ukuran kinerja menyebabkan bank umum sulit masuk ke sektor infrastruktur dan pertanian. Seperti dikutip Kompas(1/9), Sigit berpendapat, “Kedua sektor ini memerlukan durasi pinjaman yang panjang. Tidak sinkronnya sumber dana jangka pendek dan tenor panjang kredit menyebabkan bank umum sulit masuk ke sektor infrastruktur dan pertanian. Karena itu, bank khusus sangat dibutuhkan.”

Seperti diketahui, sumber dana utama bank umum di Indonesia berasal dari Dana Pihak Ketiga (DPK) yang terdiri dari tabungan, giro, dan deposito. Sumber dana itu didominasi oleh deposito yang secara statistik lebih banyak jatuh tempo dalam waktu tiga bulan. Maka wajar, bila kemudian Sigit Pramono menekankan pentingnya kehadiran bank khusus!

Penulis pernah mengirimkan sejumlah pertanyaan melalui fitur kotak pesan di Kompasianakepada pengamat ekonomi dari UI, Faisal Basri, yang juga merupakan salah seorang Kompasianer. Intinya, meminta pendapat mengenai rencana Jokowi mendirikan bank khusus, seperti Bank Tani dan Nelayan. Dalam pesan balasannya, Faisal Basri menulis, "Yang terpenting adalah akses kredit untuk petani dan UMKM. Kalau ada keleluasaan, baik juga dihadirkan, terutama bank pertanian, termasuk untuk nelayan," tuturnya.

Lantas, bagaimana dengan jangkauan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang sebenarnya bisa lebih merangkul kalangan petani dan nelayan? Serta, bagaimana pula dengan kiprah Bank Rakyat Indonesia (BRI), yang sebenarnya menyasar pula targetnya ke pelosok pedesaan? Jawab Faisal Basri kepada penulis, "BPR itu kebanyakan menyalurkan kredit konsumsi. Sementara BRI memang basisnya di desa, tetapi masih jauh untuk menyentuh mayoritas petani. Apalagi belakangan ini, BRI lebih intensif menggarap perkotaan dan korporasi."

[caption id="attachment_357239" align="aligncenter" width="549" caption="Penolakan pembentukan bank khusus diantaranya karena khawatir struktur perbankan menjadi gemuk sehingga terabaikan. Belum lagi, kehadiran bank khusus hanya akan menambah beban pengawasan. (Foto: kompas.com)"]

14098370421925947817
14098370421925947817
[/caption]

Membaca wacana pembentukan bank khusus ditingkahi sejumlah pendapat dan tanggapan yang positif, kiranya angan-angan Presiden dan Wakil Presiden terpilih Joko Widodo dan Jusuf Kalla, untuk mendirikan Bank Tani, optimis bakal terwujud. Harapannya, Tim Transisi yang dibentuk untuk mem-back up, merumuskan, dan mempersiapkan jalannya roda amanat pemerintahan Jokowi-JK, memilih sosok profesional yang tepat, capable dan acceptable demi mewujudkan gagasan mulia bank khusus ini.

Penolakan Bank Khusus

Diakui, tidak semua orang setuju dengan ide pendirian bank khusus ini dengan berbagai macam alasan. Di antaranya, justru datang dari lembaga pemerintah yang tugasnya Mengatur, Mengawasi, dan Melindungi untuk industri keuangan yang sehat, yaitu Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Menurut Kepala Departemen Penelitian dan Pengaturan Perbankan OJK, Gandjar Mustika, pada prinsipnya, di masa mendatang perlu ada bank-bank yang khusus berkiprah di sektor-sektor tertentu, seperti bank perumahan, bank pertanian, bank nelayan, bank infrastruktur, dan bank umum yang sudah ada," katanya seperti dikutip Kontan.

Gandjar tak sependapat jika untuk mengoptimalkan layanan perbankan di sektor-sektor ekonomi yang selama ini dianggap kurang optimal tersentuh perbankan, harus secara formal dibentuk bank khusus. “Kalau harus menambah jumlah bank lagi, konsentrasi pengawasan jadi terlalu luas. Itu yang kita khawatirkan,” ujarnya lagi.

Penolakan senada juga datang dari ekonom UI, Anton Gunawan, yang justru menganggap ide pembentukan bank khusus, seperti Bank Tani dan Nelayan, Bank Infrastruktur, sebagai sesuatu yang tidak masuk akal. Alasannya tiada bukan, kebutuhan biaya yang besar, dan peran tersebut yang sebenarnya masih dapat dilakukan oleh bank yang sudah ada saat ini. Selain itu, pendirian bank-bank baru dan khusus itu, hanya akan mempergemuk struktur perbankan yang bisa berakibat pada sektor perbankan yang terabaikan.

[caption id="attachment_357240" align="aligncenter" width="552" caption="Jokowi berdialog bersama para nelayan. Kisah kegagalan bank khusus sebelumnya patut menjadi pembelajaran terbaik, bukan untuk menjegal ide pembentukan Bank Tani dan Nelayan, serta bank-bank khusus lainnya. (Foto: tribunnews.com)"]

14098370791228020440
14098370791228020440
[/caption]

“Contohnya, Bank Pembangunan Indonesia yang semula dikhususkan membantu pembangunan nasional melalui pembiayaan jangka menengah dan jangka panjang pada sektor manufaktur, transportasi, dan pariwisata. Selain itu, ada Bank Bumi Daya yang didirikan untuk membantu kredit petani. Ada pula Bank Dagang Negara yang membiayai sektor industri dan pertambangan. Lihat, kan, bagaimana ending-nya, tuh?” tanya Anton seperti dimuat tempo.co.

Pendapat yang menolak pendirian bank khusus tentunya menjadi masukan berharga bagi Jokowi-JK dan segenap Tim Transisi. Meskipun, perlahan-lahan kita semakin paham bagaimana cara Jokowi bekerja. Sosok Presiden terpilih ini tidak melulu memikirkan hambatan birokrasi. Baginya, proses adalah sesuatu hal yang harus dilaksanakan, dengan menempatkan sosok pengendali yang cakap dan dapat dipercaya untuk menunaikan amanat proses itu sendiri. Contoh kasus, ‘kekeras-kepalaan’ Jokowi dalam mempertahankan Lurah Susan di bilangan Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Sempat menjadi kontroversi termasuk penolakan warga, tapi kemudian dengan perjalanan proses yang matang, semua persoalan justru dapat terselesaikan dengan baik. Malah kini, tak sedikit warga yang berbalik memuji kinerja Lurah Susan.

Begitu pun dengan cetusan wacana bank khusus ini. Kiranya, seperti langgam kebiasaannya, Jokowi bakal lebih menekankan pada proses. Yaitu secara bertahap, niat yang kuat, profesional, dan terwujud. Adapun soal struktur perbankan yang dikhawatirkan menjadi gemuk, beban pengawasan yang makin berat, serta rentetan pengalaman kegagalan bank-bank khusus sebelumnya, cukuplah kiranya itu menjadi sinyal kehati-hatian saja, bukan malah sengaja untuk menakut-nakuti, apalagi untuk sengaja menjegal ide Jokowi untuk membentuk bank khusus, termasuk Bank Tani. Jangan sampai terjadi, kalangan petani dan nelayan, menjadianak tiriyang kurang sejahtera di negeri yang gemah ripah loh jinawiini.

Semoga!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun