[caption id="attachment_360309" align="aligncenter" width="510" caption="Edukasi elpiji seri pertama. (Sumber: Pertamina)"]
“Kita sudah beberapa kali survei, dan mendeteksi tentang siapa sebenarnya pengguna elpiji 12 kilogram. Ternyata, pengguna elpiji 12 kilogram itu hanya 17 persen dari total pengguna elpiji lainnya. Kita mendeteksi ini antara lain dengan melihat kepada indeks tingkat pengeluaran mereka, tingkat pendidikan, dan sebagainya. Begitu dilihat dari survei, ternyata menunjukkan bahwa dana yang mereka pergunakan untuk membeli elpiji 12 kilogram itu lebih rendah bila dibandingkan dengan biaya untuk makan-makan di luar rumah, biaya pulsa handphone, dan lainnya. Kalau kita lihat, pada penyesuaian harga elpiji 12 kilogram, pada bulan Januari 2014 kemarin, berdasarkan penelitian, memang sempat terjadi bahwa konsumen menahan diri dulu dari melakukan pembelanjaan, pada bulan pertama ketika harga elpiji 12 kilogram diputuskan untuk dilakukan penyesuaian. Tapi, pada bulan kedua dan ketiga, aktivitas pembelanjaan konsumen kembali normal. Dari sini dapat kita lihat bahwa ternyata, elpiji 12 kilogram yang sudah ada sejak dua atau tiga dasawarsa terakhir, memiliki segmen tertentu, berbeda atau tidak sama seperti segmen masyarakat pengguna elpiji 3 kilogram bersubsidi,” urai Adiatma mengutip sebuah survei tentang segmen masyarakat pengguna elpiji 12 kilogram.
Memang, berdasarkan hasil rinci survei Nielsen tahun 2014, tentang Demografi dan Gaya Hidup Pengguna Elpiji 12 kilogram menunjukkan bahwa, Belanja Bulanan Profil Masyarakat Pengguna Elpiji 12 Kg adalah sebagai berikut: Membelanjakan uangnya untuk membeli elpiji 12 kilogram sebesar Rp 90 – 100 ribu; Membayar listrik (Rp 215 – 254 ribu), Berbelanja bahan makanan (Rp 233 – 257 ribu); Telekomunikasi (Rp 274 – 313 ribu); Makan di luar rumah (Rp 312 – 416 ribu); Belanja bulanan (Rp 410 - 440 ribu); Transportasi (Rp 524 – 565 ribu); Tabungan (Rp 766 – 817 ribu); Asuransi (Rp 597 – 858 ribu); Hiburan atau Rekreasi (Rp 622 – 1.284 ribu); dan, Mengeluarkan Dana Pendidikan (Rp 703 – 1.316 ribu).
Survei tersebut juga menunjukkan, konsumsi elpiji 12 kg hanya sebesar 17 persen dari konsumsi elpiji total dengan penggunanya hanya 16 persen rumah tangga perkotaan, serta 6 persen dari pedesaan. Alhasil, tak aneh bila ada seorang kawan perempuan di dunia maya, yang memahami roadmap kenaikan berkala harga elpiji 12 kilogram, dan menuliskan komentarnya melalui media sosial Facebook. Katanya, “Kalau memang memilih untuk menggunakan elpiji 12 kilogram yang nonsubsidi, ya harus siap dengan segala resiko komersialnya. Kalau tidak mau menggunakan elpiji 12 kilogram, silakan pergunakan alternatif energi lainnya”.
[caption id="attachment_360311" align="aligncenter" width="510" caption="Edukasi elpiji seri kedua. (Sumber: Pertamina)"]
Teringat juga, sekali lagi, pernyataan koki kondang Farah Quinn sewaktu acara Kompasiana Nangkring Bareng Pertamina, yang menyebutkan bahwa, menggunakan elpiji 12 kilogram itu pas panasnya, pas isinya, dan pasti ada dimana-mana. “Sedangkan kalau kita menggunakan elpiji 3 kilogram subsidi, maka itu bukan merupakan hak kita,” ujarnya dengan penuh kerendahan hati.
Berhubungan dengan pernyataan Farah Quinn yang memilih untuk tidak menggunakan elpiji 3 kilogram bersubsidi, sempat muncul kekhawatiran bahwa, akan terjadi migrasi atau perpindahan pembelian masyarakat dari elpiji 12 kilogram nonsubsidi ke elpiji 3 kilogram yang disubsidi dan tidak mengalami penyesuaian harga. Kekhawatiran ini, menurut Adiatma, memang tidak dapat dipungkiri, akan tetapi, Pertamina memiliki kemampuan untuk mengendalikan sekaligus melakukan pengawasan terhadap kekhawatiran praktik curang dan tidak adil ini melalui Sistem Monitoring yang dinamakan SIMOL3K (biasa disebut, SI MOLEK). Program SIMOL3K yang berbasis teknologi informasi ini dibangun untuk memastikan penyaluran elpiji 3 kilogram bersubsidi tepat sasaran. Dengan SIMOL3K, maka Pertamina dapat melakukan pemantauan pendistribusian elpiji 3 kilogram bersubsidi bahkan hingga ke tingkat pangkalan.
Teknisnya, pangkalan elpiji 3 kilogram bersubsidi akan dibekali dengan log book yang berisikan identitas konsumen dan pola pembeliannya. Para pengelola pangkalan akan mencatat secara manual seluruh record dan traffic pembelian untuk kemudian datanya di-input ke sistem SIMOL3K. Dengan system ini, maka tingkat kebutuhan dan konsumsi elpiji 3 kilogram bersubsidi di suatu wilayah dapat tercatat, dan termonitor dengan sempurna. Kondisi ini sudah barang tentu akan sangat bermanfaat dalam perencanaan dan pengawasan sehingga penggunaan elpiji 3 kilogram bersubsidi akan semakin tepat kepada masyarakat penerima subsidi yang memang menjadi target sasaran.
[caption id="attachment_360314" align="aligncenter" width="510" caption="Edukasi elpiji seri ketiga. (Sumber: Pertamina)"]
“Sistem monitoring SIMOL3K sekarang sudah berjalan. Jadi, dari SIMOL3K ini kita bisa melakukan monitoring dari Pertamina hingga ke agen, sampai ke pangkalan,” yakin Adiatma sembari menambahkan bahwa, tak perlu pula ada kekhawatiran kelangkaan elpiji, karena memang stok nasional hingga kini dalam kondisi aman.
“Tidak perlu khawatir ada kelangkaan elpiji 3 kilogram bersubsidi, dan kemudian kami menghimbau kepada masyarakat yang mampu, yang memang menggunakan elpiji 12 kilogram nonsubsidi jangan beralih menggunakan elpiji 3 kilogram bersubsidi, karena itu bukan haknya. Kalau yang sudah biasa merasakan enaknya menggunakan elpiji 12 kilogram, maka pasti akan dapat merasakan bahwa elpiji 12 kilogram itu pas nyamannya, pas panasnya, pasti ada dimana-mana dan mudah diperoleh. Selain itu, dilihat dari stok elpiji secara nasional, saat ini stok elpiji secara nasional adalah untuk 16 hari, dan itu artinya aman serta normal,” tutur Adiatma penuh optimisme.
Kampanye Edukasi yang Berhasil
Patut diacungi jempol, langkah-langkah manajemen Pertamina dalam melakukan sosialisasi roadmap penyesuaian harga secara berkala untuk elpiji 12 kilogram. Salah satu kunci keberhasilan Pertamina dalam memperoleh kepercayaan dari masyarakat pengguna elpiji 12 kilogram nonsubsidi adalah, kampanye edukasi melalui media massa, termasuk melalui Kompasiana, dan jejaring media sosial lainnya. Diantara kiatnya yang unik dan mengena kepada sasaran adalah diluncurkannya serangkaian ilustrasi kartun yang mengkampanyekan sekaligus mengedukasi tentang ‘peta jalan’ penyesuaian harga berkala elpiji 12 kilogram.
[caption id="attachment_360315" align="aligncenter" width="510" caption="Edukasi elpiji seri keempat. (Sumber: Pertamina)"]
Setidaknya, ada empat serial edukasi elpiji. Seri pertama, menggambarkan tentang target sasaran dari masing-masing pengguna elpiji. Dalam seri ini, elpiji 12 kilogram digambarkan tengah dipergunakan oleh seorang ibu rumah tangga bertubuh gemuk---dari kalangan masyarakat kelas menengah ke atas---lengkap dengan perhiasan gelang dan kalung. Terdapat tulisan penjelasan yang berbunyi: “Kalangan rumah tangga menengah/golongan mampu menggunakan elpiji 12 kilogram". Masih dalam ilustrasi kartun tersebut, elpiji 3 kilogram bersubsidi tampak dipergunakan oleh masyarakat golongan tidak mampu. Sedangkan elpiji 50 kilogram, tampak tengah dikonsumsi oleh pengelola restoran dan perhotelan.
Seri kedua, ilustrasi kartunnya cukup menggelikan. Seorang ibu rumah tangga dari kalangan the have, golongan mampu, yang digambarkan menggunakan smartphone seharga Rp 10 juta, dan memiliki tas eksotis seharga Rp 35 juta, tapi begitu tahu bahwa harga elpiji 12 kilogram nonsubsidi dinaikkan, sang ibu justru meratapi kenaikan tersebut, kontras dengan benda-benda konsumtif nan mahal yang dimilikinya. Disini, terdapat naskah yang bertuliskan dengan tipikal edukasi yang ‘menenteramkan’. Bunyinya, “Jangan lebay, Bu … Kenaikan elpiji 12 kilogram dilakukan secara bertahap dan berkala! Naiknya setiap 6 bulan sekali … Tidak berat, kan?”
Seri ketiga, kartun kampanye edukasinya lagi-lagi berpesan dan mengingatkan agar masyarakat golongan mampu tidak menggunakan elpiji 3 kilogram yang bersubsidi. Gambarnya, ada seorang ibu rumah tangga dari kalangan masyarakat berpunya, yang membeli sekaligus tujuh tabung elpiji 3 kilogram. Tetangganya yang berasal dari kalangan tidak mampu menjadi heran, dan coba menasehati perilaku yang dianggap tidak terpuji itu, dengan nasehat yang jelas-jelas terbaca: “Heran, deh … katanya kaya, tapi masih minta disubsidi juga!”
[caption id="attachment_360317" align="aligncenter" width="567" caption="Suasana Kompasiana Nangkring Bareng Pertamina yang seru. (Foto: Gapey Sandy)"]
Seri keempat, adalah ilustrasi gambar kartun yang menerjemahkan fakta dan data mengenai harga elpiji 12 kilogram nonsubsidi di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan Asia. Seorang ibu rumah tangga bertubuh subur itu akhirnya memahami bahwa, ternyata harga jual elpiji 12 kilogram di Indonesia masih lebih rendah bila dibandingkan Negara-negara seperti India, Jepang, China, Korea, dan Filipina. Pada naskah tersebut tertulis pernyataan si ibu tersebut, “Berarti harga gas di Indonesia paling murah, yaaa?”
Keempat seri edukasi elpiji dengan menggunakan ilustrasi kartun ini semuanya mengusung tagline iklan yang sama yaitu Elpiji 12 kilo, Pas isinya, Pas panasnya, Pas nyamannya, dan pasti ada dimana-mana. Kalau semua pas, pasti nyaman. Jelas, semua ilustrasi kartun ada benang merahnya dengan kondisi dan situasi yang dihadapi Pertamina, juga tentu saja, pihak konsumen. Disinilah kecerdasan kampanye edukasi elpiji terlihat mudah dicerna, mudah dipahami, dan akhirnya mudah untuk diterima secara akal sehat oleh mayoritas konsumen, khususnya pengguna elpiji 12 koligram nonsubsidi.
Akhirnya, kitab berharap harga keekonomian elpiji 12 kilogram akan segera terpenuhi hingga 2016 mendatang. Sambil berharap, agar tata laksana pemenuhan kebutuhan energi di negeri ini semakin hari semakin bertambah baik.
Insya Allah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H