Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Hikmah Batu Empedu Untuk Perencanaan Finansial

25 September 2014   17:59 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:33 6293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_361565" align="aligncenter" width="560" caption="BATU-BATU EMPEDU. Beginilah sesungguhnya bentuk, besar, warna yang dimaksud batu empedu. Batu-batu dalam jumlah banyak dan berukuran besar kecil ini berhasil diangkat bersama kantong empedu, melalui tindakan medis Operasi Laparoskopi, di salah satu Rumah Sakit di bilangan Cinere, perbatasan Jakarta Selatan dengan Depok. (Foto: Gapey Sandy)"][/caption]

Beberapa waktu lalu, istri saya mengalami sakit di perut kiri bagian atas. Acapkali muncul rasa sakit itu, kesakitan yang hebat melanda. “Rasanya seperti ditusuk-tusuk, nyeri!” keluhnya. Kalau sudah datang sakitnya ini, luar biasa mimik wajah istri menahan nyeri. Saya pun berusaha meredakannya dengan menyiapkan dan menempelkan alat kompres air panas yang terbuat dari karet tebal, di bagian perutnya yang sakit. Kadang manjur juga, karena kemudian ia menjadi agak terkendali.

Sekali waktu, karena nyeri di bagian atas perut sebelah kanan atas semakin sering kambuh, kami memutuskan untuk berobat ke dokter spesialis penyakit dalam, internis. Kebetulan, rumah sakit swata di bilangan Cinere---perbatasan antara Jakarta Selatan dengan Depok---ini adalah rumah sakit “langganan” keluarga kami. Bahkan, kedua anak saya, si Abang (15 tahun) dan si Dedek (13 tahun) terlahir di ruang persalinan rumah sakit ini.

Dari dokter internis inilah kami menjadi akrab dengan kata “kolik”. Kolik ini, anggap saja sebagai keluhan atau simptomatikrasa sakit nyeri yang hilang dan serta-merta timbul lagi di daerah ulu hati atau kanan atas perut. Rasa nyerinya, menjalar hingga ke bagian punggung, bahkan terkadang disertai mual, dan muntah. Saat paparan konsultasi medis, dokter internis mulai menduga-duga ada “sesuatu yang tidak beres” di bahagian dalam tubuh istri saya. Akhirnya, proses demi proses pemeriksaan medis kami lewati. Istri saya harus menjalani pengecekan di laboratorium darah, dan unit-unit medis internal lainnya. Sampai akhirnya, berdasarkan berbagai analisa pemeriksaan medis tadi, dokter berkesimpulan bahwa, terdapat butiran-butiran batu di kantong empedu istri saya. Paramedis biasa menyebutnya sebagai cholelithiasis, yang untuk lebih mudahnya seringkali disebut sebagai batu pada saluran empedu atau batu empedu.

Menurut dokter internis ini, kolik yang muncul dan rasanya nyeri begitu hebat, terjadi antara lain karena “pergerakan” dari butiran-butiran batu tersebut. Tanpa bermaksud menakut-nakuti, dokter internis ini menjelaskan, akan menjadi lebih fatal dampaknya apabila butiran-butiran batu di kantong empedu ini masuk ke “saluran pembuangan” air seni. Bisa dibayangkan, saluran kecil itu tersumbat atau terhambat oleh butiran batu. Betapa perihnya bila itu terjadi, terutama pada saat sedang membuang air kecil.

[caption id="attachment_361568" align="aligncenter" width="496" caption="Tindakan medis laparoskopi. (Foto: serdarkoc.net)"]

141161592188473915
141161592188473915
[/caption]

Setelah menjelaskan seluruh fakta “temuan” medis, dan resiko apa-apa yang dikhawatirkan dapat terjadi itu, dokter internis ini pun menyarankan, satu-satunya jalan adalah dilakukan pembedahan untuk mengambil butiran-butiran batu di kantong empedu tersebut. Dengan kata lain, harus dilakukan operasi!

Terus-terang, saran dokter internis yang memang berdasarkan fakta dan medical record ini bak petir di siang bolong. Saya terperangah, begitu pun istri saya. Tak menyangka bakal seperti ini kesimpulan medisnya. Bukan, bukan soal pelaksanaan operasi itu yang ditakutkan, karena kepasrahan kami sudah mencapai titik nadir. Kepasrahan kepada Sang Maha Pencipta, yang tiada mungkin menurunkan suatu penyakit tanpa menyertakan dengan obatnya, yaitu Tuhan Yang Maha Esa.

Lantas kekhawatiran apalagi yang membuat kami kecut? Sebagai bagian dari masyarakat kalangan biasa-biasa saja, terus-terang, sudah pasti kami langsung berpikir keras untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan rumah sakit, menyusul kesimpulan dokter internis untuk segera dilakukan operasi pengangkatan batu empedu. Jujur pula, selain biaya operasi itu, kami juga takut karena sudah terbayang, harus meninggalkan sementara anak-anak di rumah, tanpa ada seorang pun yang dapat mengasuh dan mengawasinya. Sungguh menjadi dilema besar yang tidak mudah kami temukan solusinya.

Akan tetapi, rupanya untuk kekhawatiran kami yang kedua, dapat segera terjawab. Karena, menurut dokter internis, operasi pengangkatan batu empedu ini tidak terlalu lama membutuhkan perawatan pasca operasi. Diprediksinya, maksimal dalam tiga hari, istri saya sudah boleh pulang. Tapi rupanya, jawaban dokter internis ini justru menambah beban pada kekhawatiran kami yang pertama, yaitu masalah pemenuhan pembiayaannya. Karena ternyata, operasi pengangkatan batu empedu yang akan dilaksanakan tersebut, adalah sebuah pelayanan kesehatan yang menggunakan teknologi serta peralatan medis yang terkini. Dampaknya, biaya yang dibutuhkan semakin mahal. Nama operasinya itu sendiri adalah laparoskopi. Kemudian, dokter internis tersebut menuliskan surat rujukan kepada dokter ahli pelaksana tindakan medis laparoskopi.

[caption id="attachment_361569" align="aligncenter" width="480" caption="Operasi laparoskopi. (Foto: vet.utk.edu)"]

14116160351704637978
14116160351704637978
[/caption]

Tindakan medis laparoskopi yang sedemikian canggih ini ternyata klop juga dengan biaya pelaksanaannya. Istri saya, tidak perlu menjalani penyayatan panjang yang konvensional pada bagian perut sebelah atas. Bayangkan, bila dilakukan penyayatan panjang, maka butuh dijahit kembali, lalu harus menunggu lama untuk proses penyembuhan luka sayatan dan “mengeringnya” jahitan. Merinding juga membayangkan itu semua. Nah, dengan laparoskopi, dokter ahli hanya butuh tiga sayatan kecil kira-kira 1 – 2 sentimeter. Posisi ketiga sayatan tidak sebidang, melainkan dalam posisi seperti masing-masing ujung titik segitiga. Tiga sayatan itu punya fungsi yang berbeda-beda, antara lain untuk memasukkan kamera/teropong sekaligus lampu penerang mini, gas untuk membuka ruang rongga sebidang bahagian tubuh dalam---hal ini perut---, pencapit atau semacam gunting sebagai “pengganti” tangan dokter dalam melakukan tindakan medis di dalam tubuh, dan lainnya. Nantinya, dokter ahli laparoskopi bersama tim khususnya “tinggal” melihat ke layar monitor untuk mengoperasikan alat-alat tersebut dengan kedua tangannya. Kira-kira, pemahaman seperti ini yang sempat kami tangkap, beberapa saat sebelum pelaksanaan tindakan medis laparoskopi.

Singkat cerita, tindakan medis laparoskopi akhirnya berlangsung, dengan sedikit kendala. Kendala? Ya, bila sebelumnya disebut-sebut tindakan medis laparoskopi hanya memakan waktu singkat, tapi ternyata, operasi terhadap istri saya berlangsung cukup lama juga. Hal ini rupanya diakibatkan oleh adanya penempelan-penempelan usus di bagian dalam perut, sebagai akibat dari istri saya yang pernah juga dahulu kala menjalani operasi usus buntu. Tapi bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, tindakan medis laparoskopi akhirnya selesai juga, tanpa ada sesuatu yang teramat mengkhawatirkan.

Waktu itu, kami sekeluarga menunggu berlangsungnya tindakan medis laparoskopi di luar kamar operasi. Tiba-tiba, terdengar suara kunci pintu dibuka dari dalam, ceklik-ceklik! Pintu kamar operasi pun terbuka. Dokter ahli laparoskopi yang masih mengenakan seragam operasi dan mengenakan masker penutup wajah yang hanya dikalungkan di lehernya berdiri di tengah pintu, seraya memanggil keluarga kami. Dokter masih mengenakan sarung tangan steril khusus untuk operasi. Tangannya memegang baki aluminium. Isinya, kantong empedu istri saya yang bentuk dan warnanya (maaf) mirip seperti hati, atau rempela ayam mentah. Ada darah segar hitam mengental. Dan dengan tenangnya, dokter ahli laparoskopi ini membuka sedikit bagian rongga kantong empedu tersebut.

Apa yang terlihat? Butiran-butiran batu dengan ukuran yang bermacam-macam. Jumlahnya banyak, puluhan batu! Paling besar, seukuran biji jagung, ada juga yang seukuran beras bahkan hingga lebih kecil lagi. Semuanya berwarna kuning terang seperti biji kedelai, dan bisa dilihat pada tampilan foto paling atas. Itulah foto batu-batu empedu sesungguhnya yang berhasil “diangkat” bersama kantong empedu istri saya.

Sambil masih memegang baki aluminium yang berisi “jeroan” istri saya itu, dokter ahli laparoskopi menyatakan, tindakan medis telah berhasil dilakukan meski dengan kendala ada penempelan usus-usus sehingga mengakibatkan prosesnya berjalan agak lama, karena beberapa kali harus “mengurai” penempelan usus-usus tersebut.

[caption id="attachment_361570" align="aligncenter" width="560" caption="Tindakan laparoskopi. Memantau melalui layar monitor. (Foto: towcester-vets.co.uk)"]

14116162371778022605
14116162371778022605
[/caption]

Usai tindakan medis laparoskopi, yang harus kami tindak-lanjuti kemudian adalah menyiapkan pemenuhan pembayaran atas seluruh tagihan dari bagian keuangan rumah sakit. Waktu itu, kami bersyukur, ada tiga pos finansial yang dapat “diberdayagunakan”. Pertama, uang tabungan keluarga. Kedua, tunjangan kesehatan dari perusahaan tempat istri saya bekerja. Dan ketiga, pembayaran terhadap klaim asuransi kesehatan yang dimiliki istri saya. Alhamdulillah, kami bersyukur, meski dengan kemampuan finansial yang “terengah-engah”, seluruh biaya pengobatan, tindakan operasi, biaya rawat inap, dan lain sebagainya dapat kami lunasi secara tuntas.

Separuh Penduduk Belum Memiliki Jamanan Kesehatan

Semua yang sudah disampaikan di atas, setidaknya memiliki hikmah yang dapat dipetik, minimal oleh keluarga kami sendiri, yaitu pentingnya merencanakan finansial keluarga untuk menjalani hidup dan kehidupan di masa mendatang. Melek finansial menjadi keharusan demi untuk menghadapi berbagai riak gelombang kehidupan yang tidak selamanya sesuai seperti yang diharapkan. Berhemat, menabung, dan “mewajibkan” diri untuk mengikuti program asuransi, adalah contoh wujud nyata dari upaya mempersiapkan finansial keluarga. Semua ini bukan hanya semata soal proteksi kesehatan saja, tapi juga menyangkut masa depan keberlangsungan pendidikan anak-anak tercinta, dan persiapan diri untuk menjalani masa pensiun nanti dengan perencanaan serta proteksi finansial yang ‘memayungi’.

Sebagai contoh, mari kita coba untuk lebih memusatkan perhatian dalam kaitan pelayanan, pembiayaan, termasuk jaminan kesehatan. Menurut adagium yang dipergunakan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sejak 2000 lalu, pembiayaan kesehatan dimaksudkan sebagai besarnya dana yang harus disediakan untuk menyelenggarakan dan atau memanfaatkan upaya kesehatan atau memperbaiki kesehatan yang diperlukan oleh perorangan, keluarga, kelompok, dan masyarakat. Sedangkan tujuan dari pembiayaan kesehatan itu sendiri adalah untuk menjamin dana yang cukup, tidak hanya untuk penyedia pelayanan kesehatan, tapi juga seluruh penduduk dapat memiliki akses kepada upaya pelayanan kesehatan masyarakat dan perorangan yang efektif dan berkualitas.

Sementara berdasarkan Perpres No.12 tahun 2013, penjabaran “pembiayaan” kesehatan, justru lebih rinci lagi penjabarannya. Karena, disebutkan bahwa, jaminan kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan, yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh Pemerintah.

[caption id="attachment_361571" align="aligncenter" width="560" caption="Berolahraga rutin dan teratur penting guna menjaga kesehatan dan kebugaran tubuh. (Foto: orkesnews.blogspot.com)"]

14116162961202891537
14116162961202891537
[/caption]

Bahkan, berkaca pada payung hukum sebelumnya, yaitu UU No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan, khususnya Pasal 130 dinyatakan bahwa, pembiayaan kesehatan bertujuan untuk penyediaan pembiayaan kesehatan yang berkesinambungan dengan jumlah yang mencukupi, teralokasi adil, dan termanfaatkan secara berhasil guna dan berdayaguna, untuk menjamin terselenggaranya pembangunan kesehatan agar meningkatkan derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya. Unsur-unsur pembiayaan itu sendiri terdiri dari sumber pembiayaan, alokasi, dan pemanfaatan. Sumber pembiayaan kesehatan berasal dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat, swasta, dan sumber lain.

Ironisnya, amanat Pasal 130 belum sepenuhnya terlaksana. Karena, berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 yang disigi Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan RI terungkap bahwa, secara nasional, ada sebanyak 50,5 persen penduduk Indonesia justru belum memiliki JAMINAN KESEHATAN (Jamkes).

Untuk kepesertaan terhadap Asuransi Kesehatan (Askes), maupun ASABRI, disebut-sebut hanya dimiliki oleh sekitar 6 persen penduduk; Jamsostek 4,4 persen; sedangkan asuransi kesehatan swasta, dan tunjangan kesehatan perusahaan, masing-masing 1,7 persen. Menariknya, kepemilikan jaminan kesehatan semakin didominasi oleh Jamkesmas (28,9 persen) dan Jamkesda (9,6 persen).

Diketahui pula, ternyata Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) menjadi provinsi yang paling tinggi cakupan kepemilikan Jaminan Kesehatan dibandingkan dengan provinsi lain, yakni sekitar 96,6 persen penduduk. Atau sama artinya dengan, hanya 3,4 persen saja penduduk NAD yang tidak memiliki Jaminan Kesehatan apapun. Sebaliknya, justru miris, ternyata DKI Jakarta menjadi provinsi dengan cakupan kepemilikan Jaminan Kesehatan paling rendah, yaitu sebanyak 69,1 persen penduduk.

[caption id="attachment_361572" align="aligncenter" width="560" caption="Tindakan medis laparoskopi di sebuah Rumah Sakit. (Foto: laparoscopy.blogs.com)"]

1411616363741169680
1411616363741169680
[/caption]

Dalam konteks pembiayaan kesehatan, Riskesdas tahun 2013 rupanya juga mengungkapkan bahwa, SUMBER BIAYA RAWAT JALAN secara keseluruhan untuk Indonesia masih didominasi (67,9 persen) pembiayaan yang dibayar oleh pasien sendiri atau keluarga (out of pocket), kemudian berturut-turut disusul pembiayaan oleh Jamkesmas (14,2 persen) dan Jamkesda (5,8 persen), sedangkan yang terendah adalah pembiayaan oleh asuransi swasta (0,7 persen). Sumber biaya rawat jalan dari Askes/ASABRI sebesar 3,2 persen, Jamsostek 2,0 persen, tunjangan kesehatan perusahaan 1,8 persen, sumber lainnya 3,3 persen dan sebanyak 1,1 persen dibiayai lebih dari satu sumber.

Riset ini juga menunjukkan bahwa, dalam satu tahun terakhir ini ada 2,3 persen penduduk Indonesia yang menjalani rawat inap dengan biaya rerata sebesar Rp.1.700.000. Penduduk DI Yogyakarta, ternyata selain tertinggi dalam pemanfaatan rawat jalan, juga tertinggi untuk pemanfaatan rawat inap, yaitu sebesar 4,4 persen, dengan biaya rerata dalam satu tahun terakhir sebesar Rp.2.000.000. Disusul oleh Sulawesi Selatan (3,4 persen) dengan biaya rerata sebesar Rp.800.000. Adapun Bengkulu, Lampung, dan Kalimantan Barat, merupakan tiga provinsi terendah bagi penduduknya untuk menjalani rawat inap, yaitu dengan besaran yang sama sebesar 0,9 persen. Sementara, besaran biaya diantara tiga provinsi tersebut berbeda-beda, Bengkulu sebesar Rp.1.000.000, Lampung Rp.2.000.000 dan Kalimantan Barat sebesar Rp.1.450.000. Pengeluaran untuk rawat inap terbesar adalah di DKI Jakarta, yaitu sebesar Rp.5.000.000.

Mengenai SUMBER BIAYA RAWAT INAP pada semua fasilitas kesehatan di Indonesia, ternyata masih didominasi pembiayaan sendiri (out of pocket), yaitu sekitar 53,5 persen. Kemudian, berturut-turut yaitu Jamkesmas 15,6 persen, Jamkesda 6,4 persen, Askes/ASABRI 5,4 persen, sebanyak 4,9 persen penduduk indonesia yang rawat inap menggunakan lebih dari satu sumber biaya dan 4,8 persen dari sumber lainnya. Sementara itu sumber biaya untuk rawat inap dari Jamsostek digunakan oleh 3,5 persen rumah tangga, 1,8 persen dari asuransi kesehatan swasta, dan 4,0 persen dari tunjangan kesehatan perusahaan.

[caption id="attachment_361573" align="aligncenter" width="560" caption="Ilustrasi perencanaan keuangan masa depan pada setiap fase kehidupan. (Sumber: Sun Life Financial)"]

14116164201310447480
14116164201310447480
[/caption]

Melek Finansial, Memilih Asuransi Kesehatan yang Tepat

Fakta bahwa Jaminan Kesehatan masih belum merata dan menjangkau hingga seluruh kalangan masyarakat, sudah tentu berimbas juga pada belum maksimalnya implementasi pelayanan kesehatan. Gambaran seperti ini praktis memunculkan konsekwensi kepada Pemerintah, kalangan Swasta, dan Masyarakat itu sendiri.

Bagi Pemerintah, fakta dan data yang disajikan dalam Riskesdas tahun 2013, memiliki korelasi dengan kinerja Pemerintah untuk semakin memperluas dan mempermudah program kepesertaan dari berbagai layanan Jaminan Sosial Nasional, termasuk Jaminan Kesehatan didalamnya.

Sedangkan bagi kalangan Swasta, realita masih belum meratanya kepemilikan Jaminan Kesehatan, dan masih dominannya sumber biaya rawat jalan serta rawat inap yang menggunakan pembiayaan sendiri (out of pocket), jelas membuka peluang ceruk pasar terhadap produk Asuransi Kesehatan, baik asuransi konvensional maupun syariah, untuk semakin digencarkan program promosinya.

Lantas, apa konsekwensinya bagi masyarakat itu sendiri? Tiada lain, harus semakin menyadari bahwa, sudah saatnya untuk semakin melek finansial, diantaranya dengan mengelola perencanaan keuangan yang matang demi untuk beragam keperluan di masa mendatang, termasuk dengan mengikutsertakan diri dalam program Jaminan Kesehatan, maupun Asuransi Kesehatan.

Masalahnya kemudian, ada begitu banyak produk Asuransi Kesehatan saling menyebut dirinya sebagai yang terbaik dan professional. Kalau sudah begini, bagaimana cara menyeleksi mana produk asuransi yang dimiliki oleh Perusahaan Asuransi bonafide, “sehat”, dan tidak akan mengecewakan?

[caption id="attachment_361574" align="aligncenter" width="560" caption="Ir Hj Srikandi Utami selaku Vice President and Head of Shariah PT Sun Life Financial Indonesia (SLFI), saat memaparkan tentang tiga indikator yang dapat menjadi acuan sebuah Perusahaan Asuransi dalam kondisi sehat atau tidak, beberapa waktu lalu di Jakarta. (Foto: Gapey Sandy)"]

14116164791399302532
14116164791399302532
[/caption]

Menurut Ir Hj. Srikandi Utami, MBA, LUTCF, ChFP, AAAIJ, AIIS, selaku Vice President and Head of Shariah PT Sun Life Financial Indonesia (SLFI), dalam memilih produk asuransi baik konvensional maupun syariah, sebaiknya dengan mencermati kondisi kesehatan keuangan perusahaannya. Ada tiga indikator yang dapat menjadi acuan untuk menentukan apakah perusahaan asuransi tersebut memiliki kondisi keuangan yang sehat atau malah sebaliknya.

Pertama, dengan melihat sisi keuangan yang bersandarkan pada cirinya, yaitu standar RBC (Risk Base Capital) yang merupakan solvabilitas atau standar kesehatannya. “Pada kuartal I 2014, RBC SLFI adalah sebesar 603 persen. Sementara, RBC yang dipersyaratkan oleh Pemerintah adalah minimal 120 persen. Alhamdulillah, RBC SLFI jauh di atas dari RBC yang ditetapkan oleh Pemerintah. Artinya, bahwa kondisi keuangan SLFI termasuk kemampuan untuk membayar klaim di kemudian hari, kemudian bagaimana me-manage investasi, me-manage currency antara Rupiah dengan Dolar dan mata uang lainnya, sudah memenuhi ketentuan Pemerintah, bahkan di atas persyaratan minimum yang ditetapkan,” terangnya ketika menjadi pembicara utama pada saat acara Kompasiana Nangkring Bareng PT Sun Life Financial Indonesia, Sabtu (30/8) lalu, di Jakarta.

Dikatakan Aan, indikator tingkat kesehatan asuransi syariah berbeda dengan unit konvensional. “Untuk unit syariah, Pemerintah mensyaratkan RBC per Desember 2014 harus sudah sebesar 30 persen. Alhamdulillah, per kuartal I 2014, RBC khusus unit syariah (atau RBC Tabarru’ Syariah) kita sudah sebesar 106 persen, atau sudah di atas dari persyaratan minimum yang ditetapkan oleh Pemerintah. Artinya, dana peserta yang kita kelola dibandingkan dengan kewajiban membayar klaim, jauh lebih besar. Maksudnya, kalau punya kewajiban ke depan bila terjadi klaim, maka SLFI mampu membayarkan klaim nasabah tersebut,” tutur wanita yang telah memimpin unit syariah selama lebih dari delapan tahun ini.

Kedua, salah satu kewajiban perusahaan asuransi adalah membayar santunan kepada pesertanya. “Dalam konteks ini, pada kuartal I 2014, klaim yang sudah dibayarkan oleh SLFI adalah sebesar Rp 81,8 miliar. Sejak saya bergabung dengan SLFI, atau sejak unit syariah dibuka pertama kali, alhamdulillah tidak pernah ada klaim nasabah yang tidak dibayarkan. SL di Indonesia dan di Kanada terkenal sebagai perusahaan yang compliance, sangat patuh terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh regulator, maupun peraturan yang dikeluarkan oleh internal perusahaan itu sendiri,” ungkap Aan yang telah bekerja lebih dari 20 tahun di perusahaan asuransi jiwa lokal dan multi nasional ini.

[caption id="attachment_361575" align="aligncenter" width="448" caption="Ir Hj Srikandi Utami ketika menerima penghargaan untuk Sun Life Financial Syariah dari Karim Business Consulting, beberapa waktu lalu. (Foto: wartapena.blogspot.com)"]

14116165271620854806
14116165271620854806
[/caption]

Dan ketiga, penghargaan dari pihak eksternal juga menjadi ciri apakah perusahaan tersebut bagus atau tidak. “Alhamdulillah, pada tahun 2013 SLFI unit syariah memperoleh penghargaan dari Karim Business Consulting dengan meraih ranking pertama untuk The Best Risk Management, dan ranking ketiga untuk The Best Islamic Life Insurance. Lalu pada 2014, SLFI unit syariah kembali meraih penghargaan dari Karim Business Consulting untuk ranking pertama untuk The Best Risk Management, dan ranking ketiga untuk The Most Profitable Insurance,” jelasnya.

Lantas apa saja produk yang ditawarkan SLF Syariah? Setidaknya ada tiga produk inovatif tersebut, pertama, Brilliance Hasanah Sejahtera yang merupakan produk asuransi jiwa dan investasi dengan pembayaran berkala untuk membantu keluarga para nasabah mencapai kebutuhan keuangan masa depan, seperti misalnya biaya pendidikan, modal usaha, ibadah, pernikahan anak, dana hari tua, dan lainnya, yang dikelola berdasarkan prinsip-prinsip syariah.

Kedua, Brilliance Hasanah Protection Plus, yaitu produk asuransi unit linked kontribusi tunggal yang dirancang khusus untuk memenuhi kebutuhan perlindungan jiwa dan investasi yang dikelola berdasarkan prinsip-prinsip syariah.

Dan ketiga, Sun Medical Executive Syariah yakni asuransi tambahan yang dapat ditambahkan pada produk unit link syariah. Produk ini menyediakan manfaat pelayanan medis yang lengkap dan memberikan penggantian biaya sesuai tagihan berdasarkan paket manfaat yang menjadi pilihan nasabah. Manfaat yang lengkap itu adalah biaya kamar, biaya pembedahan yang komprehensif, biaya layanan medis, biaya rawat jalan dental darurat akibat kecelakaan, biaya perawatan sebelum dan sesudah rawat inap, biaya rawat jalan cuci darah, kanker dan fisioterapi setelah rawat inap, dan santunan kematian karena kecelakaan.

[caption id="attachment_361576" align="aligncenter" width="544" caption="Brosur tiga produk Sun Life Financial Syariah. (Sumber: Sun Life Financial)"]

14116166081945966376
14116166081945966376
[/caption]

[caption id="attachment_361577" align="aligncenter" width="288" caption="Brosur produk Sun Medicash. (Sumber: Sun Life Financial)"]

1411616692733826852
1411616692733826852
[/caption]

Selain itu, ada pula produk Asuransi Kesehatan Konvensional yakni Sun Medicash. Produk ini adalah merupakan program asuransi yang memberikan sejumlah santunan dana tunai sewaktu Tertanggung/Nasabah menjalani rawat inap di Rumah Sakit, baik disebabkan oleh penyakit maupun kecelakaan. Produk ini menawarkan empat manfaat, mulai dari manfaat rawat inap, manfaat ICU atau perawatan intensif, manfaat kematian, dan manfaat akhir kontrak.

Akhirnya mari bersama-sama menularkan seruan melek finansial ini kepada banyak orang. Demi memberikan perlindungan yang terbaik bagi diri kita, mereka, dan keluarga kita masing-masing. Menjadi peserta asuransi hanya salah satu contoh yang dapat diwujudkan sebagai bentuk perencanaan finansial. Sekaligus menjawab paradigma keliru sebagian orang yang beranggapan bahwa, asuransi adalah merupakan kebutuhan terakhir yang tidak teramat penting. Padahal, seperti diingatkan motivator kondang Mario Teguh tentang Asuransi, “Uang kecil beli uang besar, itulah Asuransi. Jika kita tidak paksa diri bayar uang kecil, maka kita akan dipaksa bayar uang besar. Simple!”

Mari melek finansial, merencanakan investasi dan keuangan, untuk masa depan yang lebih baik.

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun