[caption id="attachment_364750" align="aligncenter" width="567" caption="Salah satu rumah produksi Tahu Susu Lembang di Bandung. (Foto: khairunnisakhaleda.blogspot.com)"][/caption]
Ini kerja jurnalistik saya di dapur, menjelang siang tadi. Lho, kerja jurnalistik kok di dapur? Bukankah reportase jurnalistik itu harus ke lapangan? Kalau cuma kerja jurnalistiknya di dapur, apa enggak takut “dimarahin” begawan Kompasiana, Kang Pepih Nugraha? Hahahaaaa… saya percaya, sama dengan saya, Kang Pepih pun pasti meyakini salah satu kredo jurnalistik berikut ini: “Tulis, apa yang dekat dengan kita”. Ya, segala sesuatu yang dekat (proximity) dengan kita, biasanya adalah hal-hal yang paling kita ketahui. Bahkan mungkin, yang paling kita sukai. Nah, jadi, kalau kemudian saya melakukan jurnalistik dari dapur, ya itu berkaitan dengan segala hal yang (sedang) dekat dengan saya, sekaligus memang sedang saya gandrungi.
Begini ceritanya. Sewaktu sedang asyik berbalas komentar di media sosial, tadi pagi, lewatlah di depan rumah, penjaja tahu dengan sepeda motornya. Motornya dilengkapi dengan audio dan rekaman suara yang secara otomatis meneriakkan dagangannya: “Tahu, Tahu. Tahu Susu, Tahu Bandung… Tahu, Tahu. Tahu Susu, Tahu Bandung”. Sontak saya berdiri, meninggalkan komputer sejenak, dan bergegas ke teras rumah memanggil si Tukang Tahu. Kebetulan, karena keluarga saya sudah sering membeli tahu ini, maka si Tukang Tahu selalu agak memacu motornya secara perlahan, apabila sedang melintas di depan rumah saya.
[caption id="attachment_364752" align="aligncenter" width="567" caption="Inilah Tahu Susu yang gurih dan lembut, siap saya goreng. (Foto: Gapey Sandy)"]
Sepeda motor si Tukang Tahu ini dimodifikasi sesuai kebutuhan. Di bagian kiri dan kanan jok belakang, dipasangi dua kotak aluminium dengan kerangka kayu ringan. Ukuran kotaknya sebesar kaleng kerupuk yang biasa dipajang di warung-warung. Segera saja saya membeli apa yang selama ini sudah menjadi langganan keluarga. Sebungkus Tahu Susu! Satu bungkusnya, isi 10 biji Tahu Susu, yang tiap bijinya berbentuk kotak ukuran sekitar 5 x 5 cm, dengan ketebalan 2 – 3 cm. Untuk sebungkus Tahu Susu berwarna putih susu, dengan isi 10 biji ini, saya merogoh kocek Rp 13.000,-
Tahu Susu? Ya, ini Tahu yang proses pembuatannya menggunakan susu sapi segar. Makanya, wajar kalau dinamakan Tahu Susu. Pada plastik kemasannya tertulis alamat produsennya, Rumah Tahu Spesial “Lembang” Jalan Mutiara I Blok PPI RT 7 RW 5 Desa Lembang, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Ada pula, dua nomor telepon seluler, yaitu 085314544**4, dan 087821952**6. Sayangnya, untuk nomor seluler yang kedua, ketika saya coba hubungi, operator malah menyebutnya sebagai nomor yang salah.
[caption id="attachment_364753" align="aligncenter" width="567" caption="Seperti inilah Basreng alias Bakso Goreng yang komposisinya terdiri dari ikan tenggiri, tepung tapioka, MSG, bawang putih, dan garam. Mirip Pempek tapi teksturnya agak lebih lunak. (Foto: Gapey Sandy)"]
Pada plastik kemasan Tahu Susu, tercantum juga tulisan “Lembut dan Gurih”. Dilengkapi dengan pernyataan produsen bahwa Tahu Susu ini “Non Formalin” dan “Tanpa Bahan Pengawet”. Tertulis pula pada plastik kemasan ini, saran bagi konusmen untuk memasaknya: “Untuk mengurangi rasa asin, terlebih dahulu direndam kurang lebih 15 menit dengan air hangat”. Sayangnya, tidak tercantum apa saja komposisi bahan-bahan pembuatnya.
Selain Tahu Susu, sebenarnya ada tahu jenis lain. Namanya, disebutnya Tahu Kunyit. Ini sebenarnya tahu biasa, tapi berwarna kuning karena diproses dengan menggunakan kunyit. Tahu kunyit, atau tahu kuning ini tidak menggunakan campuran susu sama sekali. Saya sendiri kurang tertarik dengan tahu kunyit ini, alasannya sederhana, ini tahu biasa yang sudah sangat mainstream.
[caption id="attachment_364754" align="aligncenter" width="567" caption="Tahu Susu yang sedang saya goreng. (Foto: Gapey Sandy)"]
Masih ada satu produk lagi yang saya beli dari si Tukang Tahu ini, yaitu Basreng. Dari namanya saja sudah rada-rada sangar ‘gitu. Padahal sebenarnya, Basreng adalah kependekan dari Bakso Goreng. Sebungkus Basreng isinya 10 biji. Bentuknya padat, hampir bulat, dengan ukuran sekitar 4 cm. Selain tercantum logo LPPOM Majelis Ulama Indonesia sebagai pertanda produk “Halal”, tertulis juga dua kata yang mewakili produk mirip-mirip Pempek ini, yaitu “Gurih dan Nikmat”. Ada ilustrasi gambar ikan tenggiri yang sedang “meloncat”, dan kode nomor izin produksi dari Dinas Kesehatan. Di bawahnya, termuat komposisi bahan-bahan pembuatnya, yakni ikan, tepung tapioka, bawang putih, MSG, dan garam. Tanpa alamat yang jelas, produsen Basreng ini menuliskan “Produksi: Sumber Barokah Bandung” saja. Sebungkus Basreng ini, saya bayar kontan Rp 15.000,-.
Senyum si Tukang Tahu pun tersungging menerima uang bayaran Rp 50.000,-, dengan cekatan ia menyodorkan Rp 22.000,- uang kembalian. Gantian, giliran saya yang kemudian menyunggingkan senyum. Alhamdulillah, bukankah senyum itu ibadah yang paling ringan? Asal enggak senyam-senyum aja terus sama si Tukang Tahu. Bahaya, kalau begitu sih!
[caption id="attachment_364755" align="aligncenter" width="567" caption="Menggoreng Basreng alias Bakso Goreng yang mirip Pempek. (Foto: Gapey Sandy)"]
Menggoreng Tahu Susu dan Basreng
Setelah berkenalan dengan Tahu Susu, Tahu Kunyit, dan Basreng, sekarang saatnya kita olah dengan menggorengnya di dapur “amateur chef” saya. Saya biasa mencuci Tahu Susu, dengan cara direndam sebentar dengan air bersih. Jangan terlalu lama merendamnya, karena saya justru lebih suka kalau ada tekstur rasa asin pada hasil matangnya. Perlakukan Tahu Susu ini dengan penuh kelembutan, dan kehati-hatian, maklum tidak seperti tahu biasanya, Tahu Susu sangat halus, kenyal tapi tidak padat, sehingga mudah hancur.
Saya lebih suka memotong Tahu Susu menjadi dua bagian berbentuk segitiga. Menggoreng Tahu Susu, sebaiknya dengan minyak yang cukup, dan menggunakan wajan penggorengan yang berkualitas baik, agar Tahu Susu sewaktu digoreng tidak lengket di dasar wajan. Kalau belum mengering permukaannya yang ditandai dengan perubahan warna menjadi kuning bersih, jangan dulu dibolak-balik, agar supaya tidak hancur bentuk Tahu Susu segitiganya.
[caption id="attachment_364756" align="aligncenter" width="567" caption="Gorengan Tahu Susu sudah hampir matang. (Foto: Gapey Sandy)"]
Perhatikan, sewaktu digoreng, Tahu Susu akan mengembang bentuknya. Mirip seperti Tahu Pong yang dalamnya kopong tiada isi sama sekali. Bentuknya yang mengembang karena hasil gorengan ini saja sejujurnya sudah membangkitkan selera makan. Jangan terlalu lama menggorengnya, cukuplah apabila sudah mulai berubah kekuningan pada permukaannya, maka angkat dari wajan penggorengan. Hati-hati pada saat mengangkatnya, karena bisa jadi, Tahu Susu yang sudah matang justru malah hancur terbelah. Nantinya, kalau pada saat sedang ditiriskan sisa minyak gorengnya, dan Tahu Susu semakin dingin, maka bentuk Tahu Susu akan mengempis, tapi bukan berarti kepadatannya susut.
Apakah rasa susunya terasa di lidah sewaktu kita menyantap Tahu Susu? Jelas saja tidak. Tahu Susu rasanya lebih gurih dibandingkan dengan Tahu biasa. Teksturnya pun lebih lembut, dan “mudah cair” sewaktu dikunyah. Maklum, campuran bahan pembuatnya adalah susu sapi asli.
[caption id="attachment_364757" align="aligncenter" width="567" caption="Basreng yang sudah matang sedang ditiriskan minyaknya. (Foto: Gapey Sandy)"]
Selesai menggoreng Tahu Susu, saya lanjutkan dengan Basreng. Sebelum menggorengnya, saya menyayat agak ke dalam bulatan-bulatan Basreng ini. Tujuannya supaya minyak panas meresap masuk, dan bahagian dalam Basreng menjadi matang. Seperti saya sebutkan sebelumnya, Basreng itu mirip Pempek asal Palembang. Hanya saja, tidak sepadat Pempek, ketika saya menggoreng Basreng hasilnya “mekar”, atau menjadi agak membesar. Sewaktu menggorengnya, jangan terlalu sering dibolak-balik, cukup apabila sudah berubah warna menjadi kekuningan, maka segera balik, dan bila sudah merata “keringnya”, segera angkat dari wajan penggorengan untuk ditiriskan. Sebaiknya, pada saat menggoreng, jumlah minyak goreng harus cukup, serta wajan penggorengan yang berkualitas baik, sehingga menjadi tidak lengket di dasar wajan.
Basreng yang garing ketika disantap, sangat terasa cita rasa ikan tenggirinya. Hampir “11 dan 12” dengan Pempek, meskipun standar kepadatannya lebih ringan ketika saya mengunyahnya dalam keadaan hangat. Dalam keadaan matang seusai digoreng, warna asal dan bentuk Basreng yang tadinya mirip bakso, seketika berubah. Berganti seperti Pempek dengan teksturnya yang garing tapi liat.
[caption id="attachment_364758" align="aligncenter" width="567" caption="Basreng, Tahu Susu, dan Telor Dadar hasil olahan amateur chef ala saya, sudah siap disantap dengan menggunakan sambal kecap, atau Sambal Bu Rudy asal Surabaya. (Foto: Gapey Sandy)"]
Untuk melengkapi santapan Tahu Susu dan Basreng, saya buatkan sambal kecap. Terbukti, dicocol sambal kecap, rasanya justru semakin nampol. Kalau disantap dengan nasi putih panas yang masih ngebul-ngebul, jelas saya lebih memilih untuk menyantap Tahu Susu dan Basreng ini dengan Sambal Bu Rudy asli Surabaya. Sambal yang sangat kondang ini sudah tersedia dalam bentuk kemasan botol kecil, dan sebenarnya adalah sambal bawang, atau sambal dadak, yang rasa pedasnya sanggup membuat keringat bercucuran dari setiap helai rambut.
Menelepon Produsen Tahu Susu
Sebenarnya, informasi tentang Tahu Susu yang bahan pembuatnya menggunakan susu sapi segar, sekadar berasal dari si Tukang Tahu keliling itu sendiri. Dengan kata lain, saya belum mendengar pernyataan tersebut, langsung dari si produsen Tahu Susu. Apakah saya musti ke Lembang, Bandung? Idealnya sih begitu, langsung melakukan reportase tentang industri Tahu di lokasi. Tapi, wawancara dengan narasumber terkait ‘toh bisa dilakukan melalui sambungan telepon, apalagi kalau sambil mengunyah Tahu Susu yang masih hangat plus dicocol sedikit sambal kecap.
[caption id="attachment_364759" align="aligncenter" width="448" caption="Kacang kedelai hasil penggilingan dicampur dengan susu sapi segar untuk dijadikan Tahu Susu. (Foto: khairunnisakhaleda.blogspot.com)"]
Begitulah, tergelitik untuk cari informasi lebih jauh tentang pembuatan dan bisnis Tahu Susu, saya pun berusaha untuk menelepon produsennya melalui nomor telepon seluler yang ada di plastik kemasan. Setelah beberapa kali menelepon dan tak kunjung direspon, akhirnya tersambung jualah saya di ujung telepon, dengan Sudisna (45 tahun), empunya Perusahaan Dagang (PD) Utie’s, selaku produsen Tahu Susu asal Lembang, Bandung.
Berikut kutipan wawancara dengan Bapak dari empat anak ini:
oooooOooooo
Assalamu’alaikum, Pak. Ini Gapey Sandy dari Kompasiana. Saya ingin tahu tentang Tahu Susu produksi perusahaan Bapak. Sehubungan saya baru saja membelinya pagi ini, dan memang sudah langganan. Kalau produsen Tahu Susu ini, alamatnya dimana ya Pak (Saya pura-pura bertanya, padahal sudah tahu di Lembang, tujuannya sekadar untuk mencairkan suasana kaku atau ice breaking)?
Saya di Lembang, Bandung.
Oh ya, maaf, ini dengan Bapak siapa ya?
Saya, namanya, Sudisna.
Pak Sudisna, untuk Tahu Susu ini, kenapa dinamakan Tahu Susu?
Ya karena memang memakai susu sapi. Makanya dinamakan Tahu Susu. Kan ada 2 macam, yang Tahu kunyit ya pake kunyit, bukan pakai zat pewarna. Tahu kunyit itu yang kuning, dan pembuatannya tidak memakai susu sapi. Tapi, sebagian orang bilang, Tahu kunyit produksi saya seperti menggunakan susu, lebih enak, kata mereka.
Kalau Tahu Susu menggunakan susu sapi. Berapa komposisi susu yang dipergunakannya?
Untuk satu jurangan dengan jumlah 450 biji tahu, saya menggunakan 4 liter susu sapi.
Terus bahan baku Tahu Susu lainnya, kedelai?
Ya, kedelai. Kedelai ini impor, asli dari Amerika Serikat. Memang kebanyakan kalau kacang kedelai di sini adalah impor. Kalau kacang kedelai dari Indonesia ‘mah jelek, kecil-kecil.
Pak Sudisna sudah lama memproduksi Tahu Susu seperti ini?
Kalau Tahu Susu ‘mah sudah hampir dua tahunan. Tapi kalau Tahu kunyit ‘mah ya udah lama, lebih dari 20 tahunan.
Kalau Tahu Susu itu awal mulanya ‘gimana bikinnya?
Awalnya ya dari denger-denger kemauan orang aja yang minta tolong untuk dibuatkan Tahu dengan bahan pembuatannya mengguanakan susu sapi. Akhirnya ya saya coba bikinlah itu Tahu Susu. Apalagi, di Lembang ini adalah pusat produksi susu sapi. Hahahaaa … ya kalau Lembang ‘mah, ‘kan memang tempatnya susu sapi.
Karena Tahu Susu menggunakan bahan pembuatan adalah susu sapi, berapa lama Tahu Susu ini tetap bisa aman untuk dikonsumsi?
Ya, karena Tahu Susu ini menggunakan susu sapi, maka daya tahannya sebenarnya lebih bagus hanya untuk satu hari saja. Soalnya ‘kan tidak pakai pengawet, tidak pakai formalin. Jadi untuk satu hari. Kadang-kadang bisa sampai satu sampai dua hari, tapi itu khusus untuk yang berada di daerah Lembang, karena ‘kan di sini hawanya dingin.
Kalau ditaruh di kulkas?
Kalau ditaruh di kulkas, kuatnya bisa antara tiga sampai empat hari. Kalau di Lembang, disimpan di kulkas, bisa tahan sampai satu minggu.
Dalam satu hari, Pak Sudisna bisa produksi berapa banyak Tahu Susu?
Ooohh … bisa sampai sekitar 20.000 biji Tahu Susu.
Terus didistribusikan dengan agen-agen?
Ya, dengan agen-agen sampai ke seluruh wilayah Jabotabek. Saya belum bisa kirim ke Pulau Sumatera, karena perjalanannya jauh dan lama. Lagipula itu harus pakai peralatan pendingin lagi, kalau mau dikirim ke Pulau Sumatera.
Keuntungannya berapa dengan jualan Tahu Susu begini?
Untung bersihnya enggak terlalu gede, Pak. Paling Cuma Rp 40.000,- per jurangan atau per 450 biji Tahu. (Saya coba menghitung. Kalau sehari produksi Tahu Susu mencapai 20.000 biji, maka itu sama saja dengan sebanyak 44 jurangan. Kalau satu jurangan menghasilkan untung Rp.40.000,-, itu artinya, dengan 44 jurangan, keuntungan yang diperoleh Pak Sudisna per harinya, adalah sebesar Rp. 1.760.000,-).
Kalau harga susu sapi, berapa per liter?
Kalau di Lembang, harga susu sapi Rp. 6.000,- per liter.
Untuk 20.000 biji Tahu, Pak Sudisna perlu berapa liter susu sapi?
Saya perlu 200 liter susu sapi.
Kalau kacang kedelai impor dari Amerika Serikat itu berapa sekarang?
Harganya, sekarang, kacang kedelai impor itu Rp.8.500,- per kilogram.
Lantas, untuk membuat 20.000 biji tahu per hari, Pak Sudisna butuh berapa banyak kacang kedelai impor?
(Menghitung). Ya, sekitar 1 ton.
Jadi, satu hari, Bapak menggunakan 1 ton kacang kedelai impor? Hebat ya …
Ya … alhamdulillah.
Kalau penjualannya, harga dari Pak Sudisna berapa sampai ke agen?
Langsung sampai ke tempat para agen, saya menjualnya dengan harga sebesar Rp.8.000,-.Nah, para agen ini kemudian memasok ke Tukang Tahu keliling dengan harga Rp.9.000,-. Makanya, sampai ke tangan konsumen, harganya menjadi Rp.13.000,- per bungkus atau isi 10 biji Tahu Susu.
Berapa karyawan Pak Sudisna sekarang ini?
Sekarang, kurang lebih ada 30-an orang. Alhamdulillah, menyerap tenaga kerja lokal.
Kalau nama PD Utie’s artinya apa?
Kalau dibalik, Utie’s itu adalah Situ. Karena memang Tahu Susu ini dibuat di daerah Situ PPI. Situ PPI ini untuk seluruh kawasan Lembang adalah yang paling jernih sumber airnya.
Pak Sudisna, kenapa soal komposisi bahan-bahan untuk membuat Tahu Susu tidak ditulis di kemasan plastiknya?
Oh iya, waktu itu tidak ditulis oleh yang mencetak kemasan. Mustinya memang dicantumkan, tapi sudah keburu dicetak. Harusnya, komposisi pokok Tahu Susu adalah Kacang Kedelai, Susu Sapi, dan Garam.
Baiklah Pak Sudisna, sukses terus untuk usaha Tahu Susu ini. Nuhun pisan,Assalamu’alaikum Pak.
Ya, baik. Kalau mau coba menjadi agen, jualan Tahu Susu, atuh silakan. Sama-sama.Wa’alaikumussalam.
oooooOooooo
[caption id="attachment_364760" align="aligncenter" width="400" caption="Tahu Susu yang selesai dari proses pembuatannya, perlu didinginkan terlebih dahulu. (Foto: khairunnisakhaleda.blogspot.com)"]
Dari wawancara singkat ini, satu hal yang membanggakan adalah karya-karya usaha kuliner kreatif dari tanah lokal yang memiliki nilai jual dan menguntungkan. Menguntungkan bagi pelaku usahanya, juga bagi masyarakat sekitar karena berhasil membuka lapangan kerja. Begitu banyaknya pasokan susu sapi di kawasan Lembang, Bandung, ternyata juga berhasil direkayasa menjadi bahan campuran untuk membuat Tahu Susu yang sangat halus, lembut, gurih, nikmat, bergizi, dan sudah tentu sehat. Hanya saja, sayangnya, ternyata para pengusaha atau produsen Tahu di sana, masih harus terkendala dengan komoditas kacang kedelai berkualitas yang diimpor dari Amerika Serikat.
Miris akhirnya. Negara Indonesia yang tanahnya subur, ijo royo-royo, gemah ripah lohjinawi, akhirnya masih harus tergantung dengan kacang kedelai impor dari Negara Paman Sam.
Jangan-jangan, susunya pun berasal dari sapi-sapi yang juga impor?
Aaarrgghhh … Indonesiaku. Prihatin sekali!