[caption id="attachment_371901" align="aligncenter" width="567" caption="Arimbi Bimoseno, penyusun buku Jokowi Rapopo Jadi Presiden, dengan ilustrasi puisi tentang Jokowi pada Prakata buku. (Foto: Akun FB Arimbi Bimoseno)"]
Uniknya, apa yang melekat pada imajinasi penyusun buku ini tentang Jokowi, pernah pula disampaikan oleh Jokowi sendiri. Pada bab 5 yang menyuguhkan tajuk “Hidup Adalah Perjalanan”, Jokowi dikutip pernyataannya yang mengatakan, “Dengan tubuh cungkring, rambut gondrong dan wajah pas-pasan, saya menempatkan diri sebagai remaja galau yang ingin menyuarakan kegelisahan”. Secara detil dan cermat sekali, penyusun buku ini kemudian menampilkan foto Jokowi ketika masih muda---yang tengah menyandarkan dagu pada tangannya---, sekaligus mengungkap bagaimana Jokowi, anak dari pasangan almarhum Wijiatno Notomihardjo dan Sujiatmi ini, mengekspresikan diri melalui musik beraliran Rock yang hingar-bingar.
Musik Rock, tulis Arimbi Bimoseno di halaman 139, ternyata berefek dahsyat pada si sulung dari tiga adik perempuan, Iit Sriyantini, Ida Yati, dan Titik Relawati. Kepekaan Jokowi menjadi tajam. Kemiskinan dalam kehidupan masyarakat membuatnya berpikir kritis. Ketidakadilan yang jelas terlihat dalam kehidupan sehari-hari mengiris perasaan Jokowi. Sering ia berpikir, “Seharusnya tidak boleh seperti itu”.
Salah satu kekuatan buku yang tersusun dari sebaran referensi demi referensi di media massa ini boleh dibilang terletak pada bab 5 yang memaparkan kisah kesederhanaan hidup kedua orangtua Jokowi. Orangtua yang tidak ingin melihat keempat anaknya nestapa dalam kepapaan, sehingga harus banting tulang menjadi pedagang kayu yang ulet dan bersaing dengan para tetangga yang kebanyakan berprofesi sama. Menggambarkan masa-masa hidup susah itu, dengan pandainya penyusun buku ini mengutip pernyataan Jokowi, “Saya bisa melewati kehidupan yang cukup baik jika takarannya adalah bisa makan tiga kali sehari dan bersekolah. Orangtua saya adalah sosok luar biasa yang tahu bagaimana mengelola keluarga bahagia walau berada dalam kondisi serba terbatas,” tutur alumnus SDN 111 Tirtoyoso, SMPN 1 Surakarta, dan SMAN 6 Surakarta ini.
Lebih lanjut, Jokowi yang tercatat sebagai “tukang insinyur” jebolan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ini menambahkan, “Yang bisa saya simpulkan dari segala yang saya lihat, orang-orang kecil memiliki ketabahan dan hati kuat yang luar biasa. Sikap nrimo berpadu dengan semangat pantang menyerah untuk tidak kalah menghadapi hidup. Kesabaran menanti perbaikan nasib datang, ibarat doa yang diembuskan pada Yang Kuasa dan akan berbuah jawaban baik pada waktunya”.
Usai mengungkap ketabahan dan keikhlasan hati Jokowi dalam menjalani masa hidupnya yang jauh dari bermandikan harta kekayaan, penyusun buku ini kembali memperlihatkan kepiawaiannya dalam menggulirkan kalimat demi kalimat inspiratif yang menyentuh kalbu. Arimbi Bimoseno, Kompasianer kelahiran Tulungagung, 4 Desember 1975 ini misalnya, berhasil untuk menggaris-bawahi sebuah kesimpulan, bahwa pada satu momentum tertentu, Jokowi kemudian tak bisa pindah ke lain hati, tiada lain yaitu jatuh cinta pada kayu.
Termuat pada halaman 137, penyusun buku ini menulis, di depan rumah Jokowi juga bertumpuk-tumpuk kayu gergajian berukuran kecil dan sedang, serta ikatan-ikatan bambu. Jokowi tidak melihat kayu dan batu itu simbol kesengsaraan. Ia melihatnya sebagai semangat hidup yang meluap-luap dari orangtuanya. “Ibu ikut turun tangan membantu berjualan bambu dan dari wajahnya saya temukan semangat besar. Bapak cinta betul pada bisnis kecil yang ditekuninya. Kelihatan sekali ia menyerahkan seluruh hatinya pada pekerjaannya,” cerita Jokowi yang pada bagian lain buku ini menyebut dirinya sebagai pria yang tidak romantis.
[caption id="attachment_371903" align="aligncenter" width="567" caption="Foto Jokowi dan Iriana bersama ketiga adik perempuan Jokowi, ditampilkan pada halaman 136 buku. (Sumber foto: Buku Jokowi Rapopo Jadi Presiden)"]