[caption id="attachment_381725" align="aligncenter" width="567" caption="Najwa Shihab, news anchor talkshow Mata Najwa di Metro TV. (Foto: biofotoprofil.blogspot.com)"][/caption]
Kehadiran buku Berguru News Anchor pada Najwa Shihab patut diapresiasi. Alasannya, jarang sekali buku berkategori Ilmu Komunikasi, yang terbit dengan bahasan spesifik seperti profesi news anchor ini. Meskipun publik sudah memiliki anchor-anchor pujaan yang diidolakan, tetapi bahasan mengenai news anchor itu sendiri belum banyak diterbitkan dalam bentuk karya tertulis. Andai saja ada, ulasannya pasti menjadi bahagian dari buku-buku mengenai Media dan Jurnalisme Elektronik, khususnya televisi.
Membaca buku yang ditulis oleh Kompasianer Brillianto K. Jaya---empunya akun Ombrill di media sosial Kompasiana---ini, rasanya sanggup memuaskan dahaga untuk mengenal lebih jauh sosok news anchor idola, Najwa Shihab. Karena, meski buku ini diposisikan menjadi salah satu seri dari rencana serial buku lain yang mengangkat tema ‘Berguru pada Ahlinya’, tetapi Ombrill tak ketinggalan menulis bab khusus yang mengungkap jati diri Najwa Shihab. Termasuk, menyisipkan Daftar Riwayat Hidup milik Nana, panggilan sayang Najwa Shihab.
Di naskah curriculum vitae dua halaman yang tanpa dilengkapi foto asli itu, tercantum sederet prestasi Nana terhitung sejak 2005 hingga 2014. Sepanjang tahun ini misalnya, Nana menambah koleksi penghargaan untuk Program Talkshow Terbaik – Komisi Penyiaran Indonesia Award; “Inspiring Woman” versi Indonesia Digital Home Woman Awards, PT Telekomunikasi Indonesia Tbk; dan, “Talkshow of The Year” versi Majalah Rolling Stone Indonesia.
Melalui kedekatan profesi, penulis cukup lugas memaparkan kisah hidup Nana. Maklum, penulis buku ini pernah sama-sama bekerja di Metro TV. Ombril bekerja pada Divisi Newstainment sebagai Executive Producer, sementara Nana terus berkibar menjadi news anchor papan atas, dan kini menjabat Wakil Pemimpin Redaksi di stasiun televisi milik taipan media, Surya Paloh itu. Karenanya tak berlebihan, kalau tulisan untuk bab pembuka yang berjudul “Jadi Jurnalis Itu Asyik”, benar-benar mencerminkan keakraban keduanya. Sekaligus, mempertunjukkan kepakaran Ombrill dan Nana dalam bidang penyiaran televisi.
Dengan latarbelakang Ombrill yang memahami serba-serbi profesi news anchor, maka tak sulit bagi penulis buku ini untuk mengulik tips and trick menjadi anchor dari Nana. Melalui buku ini, pembaca bakal memperoleh gambaran secara umum tentang apa, bagaimana, dan bekal apa saja yang dibutuhkan untuk menjadi news anchor. “Karena, news anchor tidak hanya membacakan berita, perannya lebih dari itu. Karena level-nya lebih tinggi dari news presenter, jadi dibutuhkan kemampuan ekstra, yaitu kepandaian dalam melakukan interview dengan narasumber. Kebayang dong, kalau News Anchor tidak bisa interview? Bisa-bisa ia malah dibuat skakmat oleh narasumber,” tulis Ombrill pada bab Opening Segmen (hal. VI).
[caption id="attachment_381730" align="aligncenter" width="567" caption="Buku yang mengulas secara spesifik profesi News Anchor, seperti yang dilakoni Najwa Shihab secara profesional. (Foto: Gapey Sandy)"]
Keunggulan buku
Buku setebal 119 halaman yang didalamnya memuat sembilan pelajaran menjadi news anchor ini ditulis dengan gaya bahasa yang jauh dari kesan formal. Mungkin, ini bisa jadi keunggulan pertama buku ini, karena dengan bahasa tutur yang digunakan Ombrill, setidaknya mampu menghilangkan sekat ‘ruang kelas’ antara pembaca---yang dikesankan tengah berguru---, dengan Nana, sang guru yang kelahiran Makassar, 16 September 1977. Contoh, Ombrill lebih memilih untuk menggunakan kata “enggak” dalam bukunya ini ketimbang kata “tidak”. Juga, mengganti kata “pembaca” dengan “kamu”. Misalnya, paragraf berikut, “Kalau kamu perhatikan, enggak ada satu pun acara yang dibawakan Nana, termasuk Mata Najwa, yang memperlihatkan pakaian minim. Itu karena Nana lebih mementingkan kecerdasan atau intelektualitas. Ini lebih jadi bahan pelajaran bagi calon-calon news anchor yang ingin sesukses Nana”. (hal. 74)
Kedua, meski pada judul buku ini ada kata “Berguru”, tapi yakinlah bahwa tutur bahasa dalam buku ini tidak menggurui. Mengapa? Karena pelajaran demi pelajaran yang dijabarkan Nana, ditulis apa adanya dalam format penulisan Wawancara (Ombrill bertanya, dan Nana menjawab). Rasanya, ini sebuah suguhan anti-mainstream dalam menulis buku yang bermaterikan hal-hal spesifik dan teknis terkait pembelajaran menjadi news anchor. Penulisan dalam bentuk Wawancara (berformat Tanya – Jawab), memang membuat paparan ‘Guru’ Nana mengalir tanpa distorsi imbuhan, sisipan, maupun persepsi dari penulis buku. Ini juga merupakan bentuk tanggung-jawab Ombrill selaku penulis buku sekaligus pewawancara Nana, untuk menyampaikan luncuran jawaban narasumber secara utuh tanpa banyak polesan editing.
Ketiga, dengan gaya bahasa informal yang bertutur, dan penulisan berformat Wawancara (Tanya – Jawab), membuat setiap “pelajaran” yang disampaikan sang ‘Guru’ Nana menjadi langsung kepada pokok pembahasan atau to the point. Misalnya pada Pelajaran #2 yang diberi judul “Tak Kenal Maka Tak Sayang” (hal. 33). Ombrill yang mengajukan pertanyaan: Seberapa perlu mengenal diri (untuk menjadi news anchor), langsung dijawab Nana dengan lugas dan penuh bobot. “Perlu banget! Dengan mengenal diri sendiri, kita jadi tahu akan kekurangan dan kekuatan kita. Dengan begitu, kita bakal lebih mudah memperbaiki setiap kekurangan diri kita, sekaligus mengoptimalkan kekuatan kita. Ingat! Dalam diri kita punya kekuatan dan kelebihan yang kadang belum kita kenal dengan baik. Orang yang enggak kenal dirinya sendiri dengan baik, akan sulit mengetahui kekurangan dan kelebihannya. Nah, dengan mengetahui kekurangan dan kelebihan itu, kita jadi tahu apa yang harus dilakukan setiap kali melangkah. Hingga pada akhirnya, cita-cita kita buat jadi News Anchor bisa tercapai,” urai Nana.
Begitu pula ketika Ombrill melanjutkan dengan pertanyaan: Apa saja yang perlu digali untuk tahu diri kita layak atau tidak menjadi news anchor? Dijawab Nana, “Syarat mutlaknya adalah punya passion atau hasrat di dunia jurnalistik. Tanpa hasrat di dunia jurnalistik, mustahil bisa jadi news anchor. Setelah punya hasrat itu, hal yang perlu kamu gali lagi dari dalam diri, yaitu apakah suka baca Koran, buku, dan peka terhadap lingkungan sekitar? Apakah berpikiran terbuka? Seorang anews anchor harus mampu berpikiran terbuka terhadap perubahan, pendapat, serta isu yang tengah terjadi di masyarakat. Lalu, apakah mudah bergaul? Sebab, news anchor harus berkenalan dengan banyak orang, membuka dan memperlaus jaringan. Dengan punya banyak kenalan, kamu jadi mudah buat mengundang dan mewawancarai narasumber”.
[caption id="attachment_381732" align="aligncenter" width="367" caption="Sang penulis buku, Brilianto K Jaya (tengah) diapit sesama Kompasianer. (Foto: Rahab Ganendra)"]
Kelemahan Buku
Tak ada gading yang tak retak. Meski buku ini terlalu ‘tipis’ untuk ukuran membahas kerja, kinerja, dan profil seorang news anchor sekaliber Najwa Shihab, tetapi bukan berarti buku ini telah sempurna. Sejumlah catatan kelemahan muncul dari buku yang dicetak oleh Republika Penerbit ini. Pertama, beberapa kesalahan penulisan yang cukup mengganggu, misalnya terutama karena menyangkut nama seseorang. Seperti yang ditemukan pada halaman 40, dimana tertulis nama mantan pembawa acara dan pembaca berita TVRI, Yan Partawidjaja (atau biasa ditulis Yan Partawijaya), tetapi Ombrill menulisnya Yan Patrawijaya. Begitu pula ketika Najwa Shihab ditanya Ombrill: Siapa news anchor yang berpengaruh dalam perjalanan karier Nana? Tertulis nama Rachel Maddo, news anchor di jam prime time MSNBC, Amerika Serikat. Padahal nama sebenarnya, Rachel Anne Maddow, atau biasa disingkat Rachel Maddow. Memang sih, hanya satu-dua huruf tertukar dan kurang, tapi karena kesalahan typo ini menyangkut nama seseorang, rasanya sebagai pembaca menjadi kurang nyaman menemukan typographical error seperti ini. Terkait Rachel Maddow, silakan baca tulisan Najwa Shihab Mengidolakan Orang Ini yang menjadi headline di Kompasiana edisi 6 Februari 2014.
Kedua, tidak seperti buku para tokoh news anchor lainnya---seperti Larry King dengan bukunya berjudul “Master Mic” (2009), dan Wimar Witoelar dengan karyanya “Mencuri Kejernihan dari Kerancuan” (1999)---, buku “Berguru News Anchor pada Najwa Shihab” ini terlalu ringkas materinya, bila ingin disebut sebagai “buku hasil berguru” pada Nana. Boleh dibilang, Sembilan materi pelajaran yang diulas, hanya menyentuh bahagian content kulit luarnya saja, atau secara teknis kurang mendalam apalagi rinci.
Hal ini sebenarnya dapat dimaklumi, karena buku ini berpihak pada hasil wawancara ekskusif dengan Nana terkait beberapa tips, trik, dan teknik menjadi news anchor. Sehingga, pelajaran yang disampaikan buku ini, tak lain dan tak bukan hanya semata untaian jawaban dari Nana saja. Kadang, jawaban itu memuaskan bagi pembaca yang berguru, tapi kadangkala justru menimbulkan kesan tidak tuntas pembahasannya, alias menggantung.
Misalnya, ketika Ombrill bertanya kepada Nana: Bagaimana menghadapi narasumber yang doyan ngomong? Nana menjawab, “Narasumber yang doyan ngomong memang kerap menjadi isu pas kita sedang mewawancarai. Karena kita tampil di televisi yang berdurasi, biasanya news ancor kerap memotong pembicaraan. Itu tips yang selama ini dilakukan news anchor. Namun, terkait degan memotong pembicaraan narasumber ini penonton seringkali enggak begitu suka. Penonton tahu kenapa news anchor memotong, misalnya karena narasumber berbicara berbelit-belit---sengaja atau tidak---sehingga narasumber lain tidak punya kesempatan berbicara. Penjelasan yang berbelit-belit itu pun terkadang enggak menjawab inti permasalahan, makanya dipotong. Lebih dari itu adalah soal durasi”. (hal. 65)
Nah, pelajaran ini terasa menggantung karena Ombrill terlalu terburu-buru beralih topik pertanyaan. Padahal sebaiknya bolehlah ditanyakan, bagaimana kiat news anchor memotong pembicaraan narasumber tanpa kehilangan kendali dan etika sopan santun? Atau mungkin, selanjutnya patut ditanyakan, bagaimana kiat Nana menghadapi narasumber dengan tipikal sebaliknya, atau yang justru pelit ngomong?
Ketiga, buku ini memuat kesalahan cukup fatal ketika memberikan sejumlah contoh bentuk pertanyaan terbuka, yang pernah dilontarkan Nana kepada narasumber talkshow Mata Najwa. Sebelumnya, Ombrill bertanya: Dengar-dengar kita harus membuat pertanyaan terbuka, ya? Maksudnya apa, sih? Nana lugas menjawab, “Betul. Seorang news anchor harus paham hal ini. Maksudnya, sebaiknya jangan pernah mengajukan pertanyaan yang bakal dijawab “iya” atau “tidak”. Kalau narasumber mengatakan “iya” atau “tidak”, maka news anchor terpaksa harus ekstra kerja keras buat menggali informasi lebih jauh lagi. Ubah format pertanyaan dengan pertanyaan terbuka. Dengan begitu, narasumber dapat memberi jawaban yang juga lebih terbuka. Selain itu, news anchor jadi bisa ngetes pengetahuan dan wawasan narasumber yang diajak bicara”.
[caption id="attachment_381734" align="aligncenter" width="547" caption="Kompasianer foto bersama dengan Najwa Shihab. (Foto: Rahab Ganendra)"]
Meski sudah dijelaskan Nana mengenai format pertanyaan terbuka itu seperti apa, namun penulis buku ini rupanya tidak menyeleksi lebih jauh, sejumlah format pertanyaan yang dijadikan contoh sebagai pertanyaan terbuka. Justru, beberapa contoh format pertanyaan yang dicantumkan adalah format pertanyaan tertutup, yang berpotensi hanya menghasilkan jawaban “iya” atau “tidak” dari narasumber.
Sebut saja misalnya, contoh pertanyaan Nana yang diajukan kepada Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, yang waktu itu masih sebagai calon Wakil Gubernur DKI Jakarta dalam episode “Sang Penantang”. Tanya Nana: “Anda risih enggak, sih, dengan berbagai isu SARA yang dilemparkan kepada Anda yang memang berlatar-belakang etnis Tionghoa dan beragama Kristen?” Jelas ini bukan contoh format pertanyaan terbuka, melainkan pertanyaan tertutup, karena bisa saja Ahok (hanya) menjawab, “Saya tidak risih”. Nah, kalau ini yang terjadi, maka seperti kata Nana, news anchor harus ekstra kerja keras menggali informasi lebih jauh lagi.
Contoh format pertanyaan lain yang juga kurang tepat dikategorikan sebagai pertanyaan terbuka adalah, ketika Nana mewawancarai Presiden RI ke-5 Megawati Soekarnoputri dalam episode “Apa Kata Mega” yang tayang di Mata Najwa edisi 22 Januari 2014. Pertanyaannya sebagai berikut: “Banyak yang bilang Megawati itu adalah sosok yang keras kepala. Apakah itu benar?” Ketika itu, seluruh pemirsa menyaksikan, Megawati menjawab: “Rasanya, kok enggak ya”.
Khusus untuk pertanyaan ke Megawati ini, penulis resensi ini pernah menyinggungnya melalui tulisan berjudul Mata Najwa Sukses Mainkan Emosi Megawati, dan menjadi headline di Kompasiana edisi 23 Januari 2014. Dalam headline itu, penulis resensi menulis, kekurangan lain dari Najwa pada episode “Apa Kata Mega” ini adalah, sesuatu yang sebenarnya sudah dipahami Najwa sebagai interviewer tapi nyatanya tidak diterapkan. Yakni, mengajukan bentuk pertanyaan yang seharusnya dihindari untuk dilontarkan, yaitu bentuk pertanyaan “ya dan tidak”, atau, “betul dan tidak”.
Kesalahan sama terjadi pada contoh pertanyaan Nana dalam episode “Habibie Hari Ini” yang tayang pada 5 Februari 2014, seperti berikut: “Saya ingat terakhir kali saya mewawancarai Bapak hampir empat tahun lalu. Kala itu tepat 40 hari pasca berpulangnya almarhum Ibu Ainun. Saya ingat, saya wartawan pertama yang diberi kesempatan wawancara. Saya ingat tahun itu, saya bertemu dengan orang yang sangat patah hati. Masih patah hatikah Habibie hari ini?” Jelas pertanyaan yang diawali dengan pernyataan ini adalah bukan pertanyaan terbuka. Karena, bisa saja Habibie menjawab, “Tidak!”.
Adapun contoh pertanyaan terbuka Nana yang terbaik, adalah ketika ia bertanya, “Apa janji Anda untuk masyarakat?” Pertanyaan terbuka ini disampaikan kepada Angel Lelga dalam Mata Najwa episode “Gengsi Berebut Kursi”, yang ditayangkan 15 Januari 2014.
Keempat, secara tampilan fisik, buku ini di-lay out dengan lumayan baik. Pemilihan font untuk naskah, judul, dan suplemen cukup memudahkan mata pembaca sehingga tidak kesulitan membacanya. Hanya saja, cukup mengherankan, kenapa buku ini emoh memajang foto Nana? Mulai dari cover depan yang tidak memuat foto Nana sesuai aslinya, hingga foto yang semestinya muncul pada halaman Daftar Riwayat Hidup, juga foto-foto pendukung naskah lainnya. Entah, mungkin saja ada semacam deal antara Nana dengan pihak penerbit untuk tidak memuat foto asli dirinya? Atau, karena alasan lain. Selain foto asli Nana yang tidak ditampilkan, beberapa gambar ilustrasi yang menghiasi halaman demi halaman buku, tampilannya agak kurang menarik. Akan lebih baik ditampilkan foto yang menggambarkan contoh setting panggung acara Mata Najwa, juga foto mengenai body language yang biasa diperagakan Nana ketika tengah memandu talkhsow.
[caption id="attachment_381736" align="aligncenter" width="400" caption="Najwa Shihab dan mata indahnya yang selalu mempesona. (Foto: goodhousekeeping.co.id)"]
* * *
Pada bab Pelajaran #4, yang oleh penulis buku ini diberi judul “Let’s Get Started”, Nana ditanya oleh Ombrill tentang perlu tidaknya melakukan latihan pernapasan, teknik vokal, pengucapan intonasi, dan artikulasi. Jawaban Nana adalah, “Suara yang enggak terkontrol, begitu juga cara bernapas, bisa jadi penyebab suara jadi enggak enak. Dengan mengerti control suara, kamu jadi tahu kapan mengeluarkan nada suara naik, kapan mengeluarkan suara lembut. Oleh karena itu, dibutuhkan latihan pernapasan. Sangat dianjurkan berbicara pakai napas yang dikeluarkan dari dada. Cobalah untuk berbicara degan membiasakan menarik napas melalui hidung dan mengeluarkannya melalui mulut. Lakukan ini setiap hari sebagai latihan”.
Apa yang diutarakan Nana tentang latihan pernapasan, memang tepat. Dalam buku “Jurnalistik Radio – Menata Profesionalisme Reporter dan Penyiar” karya Masduki (2001) dijelaskan, untuk memperkuat pernapasan, cara yang biasa dilakukan misalnya dengan mendongakkan kepala, tarik napas sedalam-dalamnya melalui hidung kemudian keluarkan udara dari mulut yang terbuka sepelan mungkin tanpa mengeluarkan hembusan angin. Apabila udara sudah mulai habis dan dada terasa sesak, bungkukkan badan dengan cepat untuk mengeluarkan udara yang tersisa. Hitungan 10 kali.
Tetapi di sisi lain, jawaban Nana tentang membiasakan berlatih pakai napas yang dikeluarkan dari dada, sebenarnya justru tidak disarankan untuk diterapkan oleh mereka yang berprofesi sebagai penyiar, atau pewawancara di stasiun radio. Mengapa? Karena, bukan pernapasan dada yang sebaiknya dilakukan, melainkan pernapasan perut. Andy Rustam, instruktur Radio Prambors Jakarta, bahkan pernah menyebut bahwa contoh napas perut adalah seperti yang biasa dilakukan bayi. Lantas mengapa musti napas perut (dan bukan napas dada)? Menciptakan diafragma suara, itulah tujuan utamanya. Suara yang memiliki diafragma bukan berarti mengubah karakter suara asli, tetapi membuat bunyi suara lebih kuat, berirama, dan fasih dalam mengucapkan abjad. Diafragma adalah sekat suara yang muncul dari ranah dada, jantung, dan perut.
Akhirnya, kehadiran buku ini dengan segala keunggulan dan kelemahannya tetap menarik untuk menjadi pegangan bagi mereka yang bercita-cita menjadi news anchor, maupun pewawancara. Meskipun, untuk lebih memperluas keilmuan dan wawasan tentang news anchor dan pewawancara, harus membaca buku-buku sejenis yang lain juga. Apalagi, buku yang menjadi obyek resensi kali ini, sebenarnya lebih merupakan Buku Hasil Wawancara dengan Najwa Shihab, ketimbang Buku Terampil Menjadi News Anchor secara an sich.
By the way, selamat atas terbitnya buku ini Ombrill, maaf lahir batin 'bro ... sukses selalu, aamiin.
* * *
[caption id="attachment_381711" align="aligncenter" width="295" caption="Buku Berguru News Anchor pada Najwa Shihab karya salah seorang Kompasianer, Ombril alias Brilianto K. Jaya. (Foto: Gapey Sandy)"]
Judul buku: Berguru News Anchor pada Najwa Shihab
Penulis: Brilianto K. Jaya
Editor: Andriyati
Penerbit: Republika Penerbit, Jakarta
Halaman: viii + 119 halaman
Tahun: Oktober 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H