Mohon tunggu...
dini agista
dini agista Mohon Tunggu... -

Hanya saya...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Wanita Berwajah tua

29 Mei 2010   14:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:53 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Wanita Berwajah Tua

Wanita itu terlahir dari sebuah keluarga yang jauh dari kata kaya. Ibunya hanya seorang buruh tani yang memiliki beberapa petak tanah, sedang pekerjaan bapaknya tak berbeda jauh dari ibunya, ia seorang petani yang kesehariannya bekerja di sawah orang lain ataupun sawah keluarganya yang hanya beberapa petak. Wanita itu bukan anak sulung melainkan anak ketiga dari sepuluh bersaudara, cukup tua untuk dijadikan tulang punggung bagi adik-adiknya. Sedari kecil dia telah terbiasa dengan pekerjaan menjahit dengan tangan, menjahit baju orang lain bukan bajunya. Dia harus membantu ibunya mengerjakan segala pekerjaan rumah karena dia termasuk anak tertua. Ditambah lagi ayahnya yang memiliki istri muda di desa sebelah membuatnya harus lebih bekerja keras membantu ibunya. Ia adalah lukisan wanita jaman dulu yang “rumangsa” terhadap keadaan ibunya. Ia tak mau membiarkan ibunya mengurus segala sesuatunya sendiri. Adiknya banyak, belum lagi beban hatinya setelah di madu oleh seorang laki-laki yang sungguh ia cintai. Ibunya adalah wanita berperawakan kecil yang tetap terlihat tegar ditengah gegap gempita ikatan kemelaratan. Ibunya memberi nama wanita itu “Tumpuk.” Sebuah doa agar anaknya kelak memperoleh rejeki yang bertumpuk-tumpuk.

Sudah menjadi hal lumrah jika anak seusianya pada jaman itu telah dinikahkan dengan laki-laki pilihan keluarganya. Ia menikah pada usia yang masih muda 13 tahun, mungkin ibunya berpikir pernikahan anaknya dengan anak seorang tuan tanah akan sedikit mengurangi bebannya untuk menanggung jatah makanan yang harus disediakannya. Pernikahannya dengan laki-laki anak tuan tanah itu tak bertahan cukup lama, hal yang lumrah pada trah keluarganya. Suaminya pergi ke Sumatera dan menikah lagi disana.  Pernikahan tak mengubah nasibnya sebagai seorang wanita pekerja keras, ia harus bekerja keras menghidupi ketiga anaknya, karna mantan suaminya tak pernah lagi mengiriminya. Ke tiga anaknya juga wanita, wanita yang kelak akan menuruni nasib ketururnannya.

Umurnya semakin menua dan wanita bernama tumpuk itu seakan tak hentinya mendaki sebuah bukit kehidupan yang sungguh terjal. Kehidupan keras seakan  terus menempanya, menempa untuk menjadi wanita yang hidup dengan sebuah perjuangan. Tak selang lama ia menikah lagi dengan seorang duda beranak tiga, ketiga anaknya telah menikah semua. Duda itu cukup kaya bagi seorang tumpuk yang hanya membawa sepetak tanah sebagai simpanan dari ibunya. Terbukti selang berapa bulan menikahi laki-laki itu, laki-laki itu menjual beberapa luas tanahnya untuk berangkat haji. Sebuah keberuntungan bagi wanita yang telah tersakiti oleh hidup berkali-kali. Ia juga memperoleh bantuan untuk menyekolahkan ketiga anaknya sampai SPG (sekolah setingkat SMA kejuruan untuk dijadikan calon guru).

Dari ketiga anaknya yang dia sekolahkan di sekolah keguruan itu hanya anak bungsunya yang sampai saat ini berhasil menjadi seorang pegawai, ya pegawai dengan profesi guru. Anak pertamanya memutuskan untuk bekerja di luar negeri setelah suaminya juga berselingkuh dan meninggalkan segunung hutang yang membuatnya hampir gila. Anak keduanya hidup tenang dengan suaminya yang juga petani dan memiliki cukup luas tanah. Dan si bungsu, seorang guru telah menikah dengan seorang laki-laki setelah sebelumnya bercerai dengan suaminya yang sebelumnya. Sebuah karma keturunan yang tidak bisa terelakan, Tumpuk dan anak-anaknya seakan mendapatkan kutukan untuk disakiti makhluk berkelamin laki-laki.

Selang berapa lama pernikahan, lahirlah anak keempat Tumpuk dan suaminya yang baru, anak ke empat itu ia beri nama “Fatma” sebuah nama yang indah dibandingkan dengan ketiga anaknya sebelumnya. Seorang anak yang dilahirkan dengan segunung harapan dari orang tuanya. Tumpuk tak lagi sengsara, satu petak tanah bawaannya, dan lahan luas milik suaminya cukup untuk membuatnya memenuhi kebutuhan anak-anaknnya. Apapun diberikan kepada Fatma, seorang wanita yang mulai beranjak dewasa. Ia disekolahkan di STM, tempat dimana kebanyakan siswanya adalah laki-laki. Hampir setiap minggu ia meminta ijin untuk mengadakan pembelajaran perbandingan ke Semarang, dan kota-kota besar lainnya tentunya dengan uang saku yang cukup membiyayainya selama disana. Tumpuk yang sangat mengidolakan anak kebanggaannya Fatma sanagt mendukung sepak terjang anaknya. Baginya anaknya adalah anak maju yang lebih berpengalaman dibandingkan anak-anak lain di kampungnya. Dan tanpa terasa satu petak tanah miliknya telah dijualnya untuk menyekolahkan anaknya itu pada jenjang SMA, sesuatu yang mungkin terlalu berlebihan karna seharusnya cukup dibiyayainya dari hasil sawahnya.

Tapi Fatma beda, ia anak kesayangan ke dua orang tuanya, Ia lah anak bungsu yang kelak diharapkan mampu “Njunjung dhuwur, mendhem jero” . Orang tuanya tak peduli berapa biyaya yang harus dikeluarkannya untuk membiyayanyi Fatma. Hingga pada saatnya Fatma mengajak guru STM’nya ke rumahnya, ia kenalkan sebagai pacarnya. Ibu dan bapaknya yang hanya seorang petani desa pastilah bangga bahwa menantunya adalah seorang guru setara Sekolan Menengah Atas. Dijamunya baik-baik tamu itu, bahkan semenjak itu Tumpuk dan suaminya makin sayang terhadap anaknya. Keyakinan akan kemampuan Fatma untuk bisa “Njunjung dhuwur mendhem jero” semakin terlihat nyata.

Kecerdasan Fatma memang tak begitu terlihat, bahkan untuk siswa sekelas dia yang mengambil jurusan listrik, ia tak bisa membenarkan lampu bohlam di rumahnya. Malahan anak ketiganyalah yang selalu dimintai tolong membenarkan saklar-saklar putus di rumahnya, anaknya yang seorang guru SD kini merangkap sebagai tukang listrik di rumah orang tuanya jika dibutuhkan. Lulus dari sekolahnya, Fatma tak nampak lagi sering berjalan dengan gurunya, Ia sering pergi dengan seorang aparat kota. Hingga puncaknya ia menuturkan kehamilannya pada ibunya. Kehamilan yang tak dibertanggungjawabkan oleh sang penanam benih. Fatma, anak kebanggaannya hamil dan tak tahu siapa ayah dari si jabang bayi yang dikandungnya. Kebanggaanya tak pernah luntur terhadap anaknya, dengan susah payah Tumpuk mencarikan laki-laki yang mau menikah dengan seorang gadis yang telah hamil tua delapan bulan. Sebuah pernikahan megah diadakan, baju panjang dengan balutan jilbab menjulur membantu menyamarkan kebuncitan sang mempelai. Tumpuk dan sang suami tersenyum bangga dapat mengadakan sebuah pernikahan megah di kampungnya, pernikahan anak kesayangannya, Fatma, sang penyandang nama nan indah.

Tak sampai dua bulan seorang gadis mungil keluar dari rahim Fatma. Suami dadakan dan keluarganya menyambut bahagia bayi jadi-jadian yang lahir hanya selang sebulan lebih dari ikrar pernikahan. Bayi itu kemudian diberi nama “Kartika Sekar Fatmaya”. Nama yang indah untuk seorang bayi mungil nan cantik. Garis kecantikan bayi itu mulai nampak jelas sejak kehadirannya menyusul cairan ketuban yang pecah dari perut ibunya.

Wajah yang semakin menua itu menangis, meringkuk pada kedinginan malam yang terguyur hujan, ketiga cucunya tertidur pulas dibelakang punggungnya. Sebuah kesalahan besar telah membiarkan seorang anak menjadi sebuah kebanggaan. Kesalahan besar itu seakan mencekiknya, kesalahan moral, kesalahan yang selama hidupnya akan membuatnya dihantui rasa berdosa. Masih terngiang-ngiang di telinganya ketika siang tadi cucu bungsunya menangis minta sepatu bola. Bagaimana ia bisa membelikan sepatu bola sedangakan ia dan suaminya kini telah berusia tujuh puluh tahun, renta tanpa pekerjaan dan hasil sawah seperti dulu kala. Sesenggukan ia meratapi kesalahannya, wanita berwajah tua yang selalu merasa berdosa atas didikannya terhadap anaknya, terhadap kebanggaannya, terhadap Fatma,  terhadap ibu Kartika. Nafasnya tercekat membayangkan saat ketika kematian mendekatinya, lalu bagaimana nasib ketiga anak tanpa induk di belakangnya?

Tumpuk, sebuah harapan akan kebaikan yang bertumpuk, rupanya juga membawanya pada perjuangan yang terus menerus sampai usia senjanya. Sebuah perjuangan hidup yang baginya bertumpuk pula. Sebuah perjuangan untuk tetap berpura-pura tegar melihat cucunya Kartika mencuci baju-baju adiknya, memasak, dan mengurus rumahnya pada usia yang masih sangat muda. Perjuangan untuk tidak menampakan raut tuanya ketika nyatanya ia harus meminta uang kepada ketiga anaknya  ketika cucunya menyodorkan lembaran bayaran sekolah. Rintik hujan mengguyur sedihnya, mengguyur sesalnya, sedikit memberinya ruang nafas untuk memohon ampun pada sang Kuasa atas cara hidupnya. Atas ketidakadilannya pada keempat anaknya yang sama-sama keluar dari rahimnya dan memanggil dirinya ibu.

Semarang
120510
Kamar kosan
9:29

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun