Mohon tunggu...
ganyong
ganyong Mohon Tunggu... -

Orang yang telah mencapai batas rata-rata usia harapan hidup, namun tetap sehat dan bugar karena praktek 'pola hidup sehat'

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Black September

11 September 2013   14:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:02 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penghujung bulan ini, yaitu 30 September, merupakan tanggal yang menjadi catatan hitam sejarah Negeri tercinta kita ini.Betapa tidak, karena pada tanggal itu pada tahun 1965, 48 tahun lalu, dimulai ‘pembantaian’ anak-anak bangsa ini yang dilakukan oleh sesamanya, yang berawal dari mereka yang menamakan diri GERAKAN 30 SEPTEMBER.

Sampai sekarang, kisah sebenar-benarnya tidak pernah jelas. Pada awalnya dimulai dengan penculikan dan pembunuhan beberapa petinggi militer Angkatan Darat oleh anggota Angkatan darat lainnya, namun kemudian berkembang dan meluas dengan pembantaian rakyat biasa lainnya yang justru menjadi korban terbanyak.Berbagai Ensiklopedi asing mencatat korban pembunuhan mencapai 800 ribu - 1 juta orang dalam beberapa bulan saja, sedangkan sejarahwan Indonesia mencatat sekitar 500 jiwa menjadi korbannya. Berapapun angka itu, namun angka tersebut adalah jumlah yang mengerikan untuk korban ‘pembantaianmanusia’. Kemarahan Tuhan dengan tsunami di Aceh beberapa tahun lalu, ‘hanya’ membawa korban sekitar 200.000 orang.

Bagi generasi sekarang, katakanlah yang sekarang berumur 50 tahun, saya yakin tidak akan dapat gambaran jelas dan sebenarnya, bagaimana bangsa yang dikatakan ramah tamah, toleran, (sampai Presidennya saja dapat penghargaan sebagai tokoh dunia yang jago dalam menjaga toleransi !), pada tahun 1965 dapat ‘membantai’ sesama bangsanya sendiri sampai sejumlah itu.Sampai sekarang belum disusun buku atau penjelasan apapun yang dipublikasikan , tentang apa yang sebenarnya terjadi. Kalau ada ‘buku putih’ yang dulu diterbitkan penguasa waktu itu yang didominir oleh militer/Angkatan Darat sampai 30 tahun kemudian, karena banyaknya sanggahan dan fakta lain yang kemudian diungkap, maka buku itu tidak lagi dianggap ‘putih’, sehingga validitasnya sulit untuk diterima. Tokoh kunci yang dianggap / katanya ‘biang kerok’ G30S, yaitu Ketua Umum PKI waktu itu : DN AIDIT, memang beberapa bulan setelah 30 September tertangkap oleh Angkatan Darat, tetapi tidak pernah diajukan ke Pengadilan terbuka, karena setelah di interogasi tidak terdengar kabarnya, untuk tidak menyebut bahwa sudah langsung di exekusi mati. Karena itu kita tidak pernah tahu apa kesaksian versi dia.

Saya tidak akan berkepanjangan dengan G 30 S itu, tetapi disini saya ingin menulis pengalaman yang saya alami 13 tahun setelah 30 September, yaitu antara tahun 1977-1978. Sebagai PNS di salah satu Kantor Wilayah Propinsi di Jawa ini, saya bersama beberapa teman lain mendapat tugas sebagai anggota Team screening, untuk menyaring pegawai dibawah instansi tersebut dan mengelompokkan mereka yang terindikasi ada keterlibatan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), maupun organisasi yang berafiliasi dengan Partai itu. Sesuai ketentuan Penguasa militer waktu itu, penggolongan dan sanksinya, pada garis besarnya ada 3, yaitu : Golongan C : mereka yang menjadi anggota biasa, dan sebagai PNS harus diberhentikan. Golongan B : mereka yang menjadi anggota pengurus organisasi itu, harus diserahkan ke penguasa yaitu Kopkamtib daerah, yang ada disetiap Komando Daerah Militer untuk kemudian ditahan entah sampai kapan, karena mereka tidak dapat diadili, sebab tidak ada pasal Hukum Pidana yang dilanggar ! Mereka yang diasingkan di Pulau Buru dan berbagai Rutan lain, itu adalah yang masuk golongan ini.Golongan A : mereka yang disamping memang anggota/pengurus organisasi tetapi juga terdapat bukti melakukan tindakan pidana (makar) yang dapat diajukan tuntutan ke Pengadilan.

Nah disinilah pangalaman saya mencatat kejadian yang sampai umur saya mendekati ujung ini sangat membekas dan menjadikan trauma batin saya.

Waktu kami meneliti berkas salah satu pegawai yang sudah diskors atau diberhentikan sekitar 10 tahun sebelumnya, ada foto copy keterangan dari Kepala desa bahwa pegawai itu Anggota salah satu organisasi afiliasi Partai PKI. Tetapi tulisan ‘anggota’ itu dicoret ( entah siapa yang mencoret ) tanpa ada parap, dan diganti tulisan tangan : ‘Pengurus’. Kami Team screening Kantor, sepakat menetapkan (mantan) pegawai tersebut masuk golongan C, karena coretan tadi kami anggap tidak ada dasarnya. Inilah yang kami ajukan kepada Team screening Kopkamtib di KODAM, yang terdiri dari 7 orang perwira menengah dengan Kepalanya berpangkat Brigadir Jendral. Ketika disidangkan oleh Team Kopkamtib tadi, saya didingar argumentasi penggolongan pegawai tersebut, dan saya kemukakan alasan kami seperti kesepakatan yang sudah kami lakukan.Ternyata argumen kami tidak di terima, bagaimanapun pegawai itu harus masuk golongan B, karena itu dia harus diserahkan ke Kopkamtib untuk ditahan ! Selanjutnya, setelah ditetapkan Kopkamtib masuk golongan B, ternyata kami yang harus menjemput pegawai tersebut, untuk kemudian ditahan.Pegawai tersebut selama sekian tahun setelah diskors, sudah dapat hidup bahagia dengan anak istrinya di desa, kurang lebih 120 km dari Kantor kami. Ketika akan menjemput pegawai itu , saya katakan pada teman-teman Team, bahwa saya tidak sanggup ikut menjemput dia kerumahnya, silahkan teman-teman lain menjemput, karena saya sudah mengurus segala proses itu sebelumnya.

Pukulan hebat yang sampai saya menulis posting ini masih membekas dibenak saya, adalah pengalaman saya ketika mengantar dia kepintu penjara. Menyaksikan dia membawa selembar tikar tipis,piring dan cangkir kaleng yang baru saya belikan, kemudian dia pamit menyalami tangan saya dan teman teman anggota Team yang hanya bisa termangu membisu,......kemudian..... dddduuuuaaaarrrrr.... pintu geser penjara dari besi tebal setinggi lebih 3 meter berdentam menutup.Dentam suara itu masih sering saya ingat sampai saat ini, dan menyadarkan bahwa saya telah turut berdosa, karena merenggut kebahagiaan satu keluarga, tanpa dasar yang bisa diterima akal sehat.Semoga bangsa ini tak akan pernah mengulangi episode BLACK SEPTEMBERlagi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun